“Kenapa kamu ke sini?” tanya Bela tajam saat Tristan kembali ke ruangannya setelah mengantar Prabu keluar dari butik.
Tristan tersenyum, melangkah santai mendekati Bela. Ia bahkan mengabaikan ekspresi Bela yang terlihat waspada, seperti kelinci yang berada di bawah pengawasan seekor predator.
“Menyelamatkanmu dari ayahmu.” sahut Tristan masih santai. Ia terus memangkas jarak, hingga berdiri di depan meja Bela.
Meja di tengah-tengah mereka bukan satu-satunya hal yang menghalangi keduanya. Tapi luka masa lalu, pengkhianatan tanpa maaf juga menjadi jurang dalam yang memisahkan dua insan yang kini justru terikat takdir oleh janin di dalam kandungan Bela.
“Jangan sok peduli,” desis Bela dengan mata memicing curiga.
Tristan meletakkan tangannya di atas d**a, pura-pura tersinggung. “Ah, kamu menyakitiku, Bel. Aku sudah datang jauh-jauh ke sini dan menyelamatkanmu dari ayahmu yang tempramen itu, tapi begini sambutanmu?” Ia menggeleng-gelengkan kepala, memasang muka sedih yang dilebih-lebihkan.
Bela menggertakkan giginya. “Apa maumu, Tristan? Kalau kamu ke sini cuma buat minta hak asuh anak ini, percuma. Aku nggak akan pernah berubah pikiran.”
“Aku tahu kamu keras kepala,” ucap Tristan, ekspresinya sudah kembali dingin seperti sebelumnya.
“Dan itu yang bikin kamu selingkuh dariku dulu?” imbuh Bela sinis.
Tristan menegang sesaat, terkejut karena Bela tiba-tiba membawa kisah masa lalu mereka. Tapi dengan cepat, ia kembali menguasai diri.
“Tapi sifat keras kepalamu itu nggak membantu di situasi seperti ini, Bel. Kamu harus memikirkan anak yang ada di kandunganmu. Dan sebagai ayah biologis dari anak itu, aku mau yang terbaik buat dia.”
Bela mendengus, sama sekali tak percaya dengan ucapan Tristan. Ia memiringkan kepalanya, tersenyum mengejek. “Memangnya apa yang mau kamu lakukan buat memberikan yang terbaik untuk anak ini?”
“Pertama, aku bisa memberikan apa yang kamu nggak bisa berikan. Aku punya uang, koneksi, lingkungan yang baik—”
“Intinya kamu mau mengambil anak ini dariku?” potong Bela cepat. Lantas, ia menggeleng. “Aku sudah bilang, aku nggak akan berubah pikiran.”
Tristan nyaris kehilangan kesabaran, tapi ia hanya menghela nafas pelan dan memutar otak. Ia harus mengubah caranya mendekati Bela. Namun, sebelum ia bicara, Bela sudah lebih dulu angkat suara.
“Keluar dari sini dan jangan temui aku lagi. Camkan di kepalamu, Tristan, apapun yang kamu lakukan, aku nggak akan pernah berubah pikiran. Aku yang mengandung anak ini, aku yang akan melahirkannya nanti, aku juga yang akan membesarkannya. Persetan soal siapa ayahnya, yang pasti aku ibunya,” ucap Bela penuh keyakinan.
Bara api di mata Bela yang menjadi wujud dari tekadnya untuk melindungi bayi di kandungannya membuat sesuatu di dalam diri Tristan menggeliat. Ia mencengkram pinggiran meja kuat-kuat, menahan agar geliat sesuatu yang hangat dan berbahaya itu segera padam.
Tristan tidak mau lagi hidupnya jadi berantakan gara-gara sebuah perasaan lemah bernama cinta.
“Baiklah,” ucap Tristan dengan senyum tipis, ekspresinya masih sama. “Kamu memang ibunya, Bel, kamu berhak melakukan apapun. Dan aku ayahnya kan? Aku juga berhak melakukan apapun.”
Bela mengernyit, bingung bercampur waspada. “Apa yang mau kamu lakukan?”
Tristan hanya mengedikkan bahu dan berbalik, berjalan keluar dari kantor Bela tanpa sepatah kata pun. Namun sebelum ia benar-benar menutup pintu ruang kerja Bela, ia menyadari bahwa ruangan itu tampak menjadi tempat tinggal Bela sementara.
Dan fakta itu terus mengikuti Tristan hingga ke tempat tidurnya dan membuatnya kesulitan memejamkan mata malam ini.
***
“Makasih banyak udah mau kerjasama denganku, Kak.” Alya—adik kandung Tristan itu berkata dengan mata berbinar senang.
“Justru aku yang berterima kasih banget karena kamu mau memilihku, Al. Di kondisiku sekarang, kerjasama yang kamu tawarkan ini berarti banget buatku.” Bela berkata tulus.
Sejak dulu, ia sudah menganggap Alya seperti adik kandungnya sendiri. Mungkin karena ia adalah anak tunggal, jadi terkadang rindu memiliki seorang saudara. Terlepas dari rumitnya hubungan Bela dengan Tristan, Bela tetap menyambut baik kedatangan Alya ke butiknya. Ia tahu betul Alya tidak akan menjadi kaki tangan Tristan hanya karena Tristan kakaknya.
Wajah Alya berubah sendu. “Kamu yang kuat ya, Kak. Aku cuma bisa bantu ini.”
“Jadi kamu ngajak aku kerjasama cuma karena kasihan?”
“Enggak kok!” sergah Alya cepat. “Aku kan udah bilang, aku tertarik buat kerjasama dengan butik Kakak udah lama. Cuma baru kesampean sekarang karena sebelum-sebelumnya aku masih pemulihan.”
Bela tersenyum dan mengangguk, ia paham betul sifat Alya. Bisa dibilang, jika Tristan seperti iblis, Alya lebih seperti malaikat. Meski ambisius dalam pekerjaannya, Alya tak pernah punya niat jahat dengan orang lain.
“Tapi gimana sekarang? Udah sehat? Udah baikan sama suami kamu?” Bela bertanya perhatian.
Satu hal yang Alya suka dari Bela adalah wanita itu punya sifat keibuan yang alami. Rasanya seperti punya kakak perempuan.
“Aku malah udah hamil sekarang, Kak,” jawab Alya malu-malu.
Wajah Bela berbinar, matanya melebar antusias. “Wah, selamat!” Ia memeluk adik mantannya itu, ikut terharu bahagia. “Udah berapa bulan sekarang?” tanyanya setelah ia melepas pelukan.
“Baru masuk empat bulan, baru bisa bebas bedrest.”
Dua wanita itu terus mengobrol banyak hal, bercengkrama seperti sebelum Bela dan Tristan putus.
Alya memiliki sebuah bisnis wedding organizer. Dan saat ini, bisnisnya itu sedang berkembang pesat. Ia butuh kerjasama dengan butik khusus gaun pengantin. Dan kebetulan, Bela memang memilih fokus untuk mendesain baju pengantin untuk memulihkan nama butiknya yang sempat hancur saat ia mendekam di penjara dulu.
Tawaran Alya menjadi angin segar di tengah peliknya kehidupan Bela setelah dirinya dinyatakan mengandung anak Tristan. Atau bisa dibilang, mungkin ini rezeki si jabang bayi.
Hampir satu jam mereka mengobrol banyak hal, sampai akhirnya Bela mengantarkan Alya ke depan pintu.
“Kak, aku pulang, ya? Semoga semuanya lancar,” pamit Alya.
“Semoga aku juga nggak mengecewakan kamu, Al.” Bela berkata tulus. Karena sejujurnya dalam hati, ia agak takut menjadi beban untuk bisnis Alya.
“Aman. Nanti kalau ada yang kurang cocok, kita ngobrol lagi.”
Bela mengangguk, melambaikan tangan saat mobil Alya melesat pergi dari sana. Bersamaan dengan itu, sebuah motor berhenti di depan butik Bela.
“Permisi, ada paket untuk Bela Anika,” kata kurir yang tidak melepas helmnya itu.
Bela mengernyit. “Iya, itu saya. Paket dari mana ya, Mas?”
Kurir itu tidak menjawab dan hanya memberikan kotak paket pada Bela. “Ongkirnya sudah dibayar kok, Bu. Terima kasih.”
Belum sempat Bela mengejar si kurir untuk menanyakan siapa pengirim paketnya, kurir itu sudah melesat pergi dengan motor bebek miliknya. Ia hanya bisa menghela nafas dan membawa kotak paket itu naik ke ruang kerjanya.
Ia duduk di belakang meja, membuka kotak paket berukuran sedang itu. Begitu dibuka, hanya ada dua benda di sana. Pertama, brosur sebuah apartemen elit di kawasan Jakarta Selatan yang harga sewa per tahunnya lebih dari seratus juta. Lalu barang kedua adalah kartu akses.
Bela mengernyit. “Apa ini?”
Dan jawabannya hadir detik itu juga. Ponsel Bela berdering, nomor tak dikenal yang menelepon. Dan Bela tidak perlu menebak siapa orangnya, karena ia tahu pasti itu Tristan.
“Kamu yang mengirim ini?” tuduh Bela tanpa basa-basi.
Tristan tertawa puas di ujung telepon. “Itu kartu akses unit apartemen, sudah aku bayar untuk satu tahun penuh. Lalu aku sudah mengirimkan kontak sopir yang siap mengantarmu ke mana pun kamu pergi. Dan terakhir, cek rekeningmu. Sudah masuk?”
Bela menjauhkan ponselnya. Ada sebuah pesan masuk berisi nomor telepon seseorang bernama Pak Supri yang ia duga sebagai sopir yang disebutkan Tristan. Dan yang kedua ada sebuah notifikasi m-banking.
[Anda menerima transfer sebesar Rp 200.000.000,00 dari Tristan Ciptadi Wijaya]
Nafas Bela tertahan seketika. Matanya melebar kaget, menghitung jumlah nol yang ada di belakang angka dua itu. Lantas, suara Tristan kembali menginterupsi dengan nada penuh kemenangan.
“Aku nggak tahu berapa kebutuhanmu dan bayiku yang ada di kandunganmu dalam sebulan. Tapi kalau segitu nggak cukup, bilang aja.”