Selesai melaksanakan salat Subuh, aku bergegas merapikan tempat tidur. Walaupun aku adalah anak semata wayang yang selalu menerima curahan kasih sayang dari Bunda, tetapi sejak kecil aku diajarkan untuk bisa mandiri dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Hanya kegiatan yang berhubungan dengan api dan yang belum cocok dengan ukuran tubuh mungilku saja yang masih harus mendapat bantuan dari Bunda.
Lamat-lamat aku mendengar suara Bunda sedang berbincang. Sepertinya Kak Rideh dan Kak Ros sudah datang. Mereka adalah murid-murid Bunda yang biasa ikut membantu di rumah ini.
Segera setelah menyelesaikan melipat selimut, aku melangkahkan kaki menuju dapur. Ingin ikut bergabung dengan Bunda, Kak Rideh, dan Kak Ros. Rumahku yang sepi, selalu menjadi lebih ramai dan seru jika ada kedua kakak itu.
Aroma asap yang berasal dari kayu bakar yang sedang ditumpangi panci, berbaur dengan harum masakan yang sangat menggoda selera. Perpaduannya mampu membangkitkan rasa laparku. Di rumahku ini tidak seperti di rumah Kakek dan Nenek yang sudah memasak dengan menggunakan kompor. Kami selayaknya penduduk desa yang lainnya, masih memasak dengan menggunakan kayu bakar.
Minyak tanah, solar, dan bensin digunakan untuk bahan bakar kebutuhan selain memasak. Seperti untuk menyalakan genset sebagai pembangkit listrik atau untuk menyalakan lampu petromak. PLN belum menjangkau sampai di wilayah Desa Sungai Ampar. Untuk mencukupi kebutuhan penerangan dan peralatan listrik, kami memanfaatkan genset dan aki.
"Sedang masak apa, Kakak-kakak? Baunya membuatku lapar."
"Eh, udah bangun kau rupanya, Dek. Ini, Kak Ros lagi bantu Bu Guru masak. Kakak buat paceri nanas dan goreng ikan."
"Wow, pacri nanas!" Liurku rasanya langsung keluar begitu melihat potongan buah nanas yang dimasak dengan bumbu kuning itu. Akan tetapi, kuahnya baru saja mendidih. Berarti masih butuh waktu agak lama untuk bisa aku santap.
"Endit, ayo, mandi! Jam setengah enam kita akan berangkat ke kota Pontianak. Kak Rideh, tolong bantu Endit mengambil air untuk mandi dari drum, ya."
"Ya, Bu Guru. Ayo, Dek! Jangan sampai ketinggalan motor air." Kak Rideh berucap sambil bergegas menuju belakang rumah.
Aku menoleh ke arah Bunda. MasyaAllah, aku tertegun melihat Bunda semakin tampak cantik dan anggun dalam balutan pakaian seragam batik biru khas pegawai negeri. Beberapa saat kemudian, baru aku teringat perintahnya.
"Ya Allah, Endit baru ingat kalau kita akan ke Pontianak hari ini. Apa kita jadi menginap di rumah kakek dan nenek, Bun?"
Bunda tersenyum dan menjawab dengan anggukan kepala. Aku menghambur ke dalam pelukannya. Hatiku sangat bahagia. Doaku sebelum tidur agar hati Ayah dilunakkan dan memberikan izin untuk kami menginap di rumah Kakek dan Nenek, telah Allah kabulkan.
"Jadi, Nak. Alhamdulillah, Ayah memberi izin untuk kita menginap. Kalau kamu sudah selesai mandi, segeralah masukkan pakaian dan barang yang ingin dibawa ke dalam tas merah. Sudah bunda siapkan tasnya di dekat kasurmu."
"Hore!" Aku bersorak kegirangan sambil bergegas menyusul Kak Rideh yang sedang mengambil air dari dalam drum. Setelah air dalam ember penuh, segera kututup pintu kamar mandi. Tak lupa mengucapkan terima kasih pada Kak Rideh yang telah membantuku mengisikan air.
Selepas mandi dan sarapan, aku diajak Bunda untuk berpamitan pada Ayah. Dia masih tidur pulas di dalam kamar. Aku hanya berdiri di ambang pintu.
Sungguh agak enggan rasanya berpamitan dengan Ayah saat sedang tertidur. Aku takut dia akan marah jika dipaksa terjaga dari lelapnya. Lalu berlaku kasar lagi.
Aku masih merasa khawatir kejadian buruk yang dulu akan terulang. Peristiwa yang kulihat sepulang dari mushola, yaitu saat Ayah menjambak dan mencekik Bunda. Semua kejadian itu masih tergambar jelas dalam ingatan. Akan tetapi, aku harus menjaga perasaan Bunda dengan menuruti perintahnya.
Bunda menepuk pundakku, sebagai isyarat agar aku mengikuti langkahnya mendekat ke tempat Ayah berbaring. Dengan berat hati, aku pun mengekor di belakang Bunda. Ayah menggeliat saat mendengar suara derit lantai kayu yang timbul saat diinjak oleh kakiku dan Bunda.
"Ayah, Bunda pamit dulu, ya. Makanan sudah siap di ruang makan, Ayah jangan lupa sarapan. Bunda juga sudah minta tolong murid-murid untuk memasak selama Bunda di Pontianak."
Setelah ayah selesai mengucek matanya, Bunda menarik telapak tangan Ayah dan mencium punggung tangannya. Aku mengikuti apa yang dilakukan Bunda. Aku merasa kepalaku diusap dengan lembut oleh ayah.
"Iya, hati-hati di jalan. Bunda dan Endit berapa lama akan menginap di Pontianak? Sampaikan salam Ayah untuk Bapak dan Ibu. Nanti kalau urusan tetangga Pak Saerah udah beres, Ayah akan menyusul ke sana."
Ayah berkata sambil menarikku ke pangkuannya. Suaranya terdengar lembut dan penuh rasa sayang. Sungguh berbeda dengan yang tadi ada dalam bayanganku.
"Kalau tak ada acara lain di Dinas, kami mungkin pulang besok, Yah."
"Kasihan Endit kalau cuma menginap semalam. Kalian pasti belum puas melepas rindu jika hanya bertemu semalam dengan Bapak dan Ibu. Tak apa kalau ingin lebih dari semalam di sana. Tunggu saja sampai Ayah menjemput, ya. Mumpung Endit sedang libur sekolahnya."
"Ya, Yah." Senyum di wajah Bunda tampak semakin mengembang. Aku pun bahagia mendengar ucapan Ayah.
"Yeay! Endit senang bisa menginap lama di rumah Kakek dan Nenek."
"Ayah ikut senang kalau anak ayah bahagia begini!"
Ayah mencium puncak kepalaku. Aku merasa agak risih dan segera turun dari pangkuan Ayah. Bersamaan dengan itu terdengar suara motor air terdengar mendekat. Bergegas aku berlari ke luar rumah sambil berteriak, "Ayo, Bun, motor airnya akan merapat!"
Ayah dan Bunda berjalan di belakang mengikuti langkahku. Kak Ros dan Kak Rideh sudah menunggu di pinggir sungai. Tas merahku sudah diletakkkan mereka di atas kayu steher, sebutan penduduk untuk dermaga kecil tempat alat transportasi air merapat.
Agar dapat tiba di kota Pontianak, satu-satunya alat transportasi hanyalah dengan menyusuri Sungai Kapuas. Jika mau cepat, kami bisa memakai speed boat. Tetapi aku takut, karena saat ada gelombang besar dan saat melaju dengan kecepatannya yang tinggi, penumpangnya akan terasa seperti sedang dibanting ke atas dan ke bawah. Mengerikan sekali menurutku.
Aku dan Bunda lebih suka memakai alat transportasi berupa motor air. Yaitu sebuah perahu yang menggunakan tenaga mesin dengan kapasitas penumpang sekitar duapuluhan orang. Memang lebih lambat untuk tiba di Kota Pontianak, tapi tak mengapa. Pemandangan sepanjang Sungai Kapuas mampu mengusir rasa bosan selama perjalanan.
Untuk naik ke atas motor air, Bunda harus melangkah lebar. Sedangkan aku yang lebih kecil dari Bunda harus melompat. Ada petugas dari motor air yang akan membantu kami naik dan membawakan barang bawaan. Tentu tidak semua penumpang akan dibantu, Bunda dan Ayahku adalah orang yang terkenal dan disegani di wilayah sekitar Desa Sungai Ampar.
Setelah kakiku berpindah dari steher ke lambung kapal, aku menoleh ke arah belakang. Ayah, Kak Rideh, dan Kak Ros sedang melambaikan tangan ke arahku. Aku dan Bunda membalas lambaian sambil tersenyum lebar. Hatiku bahagia tak terkira. Sebentar lagi aku akan berjumpa dengan Kakek dan Nenek. Bahkan bisa menginap beberapa hari di sana.
Aku tak sabar rasanya, ingin main game di komputer, menonton televisi, dan minum air es dari kulkas, tanpa terganggu oleh suara berisik genset. Di Kota Pontianak memang sudah sejak lama ada listrik. Entah kapan di Desa Sungai Ampar ini kami pun dapat menikmati listrik dari PLN. Entah kapan pula kami dapat berangkat ke Kota Pontianak dengan memakai alat transportasi darat seperti mobil atau motor. Hanya waktu yang akan menjawab.