Bab 2. Mendadak Dilamar

1642 Kata
Berdiri di depan pintu kamar hotel tempat mereka kena grebek papa Nay tadi, justru membuat otak Daren teringat lagi ciumannya ke Nay. Berduaan di kamar hotel, mana mungkin dia tidak tergoda untuk mencicipi lagi bibir mungil yang seperti candu membuatnya ketagihan itu. Yang tadi adalah ciuman kedua mereka. Sebelumnya Daren pernah nekat mencuri ciuman pertama Nay. Konyolnya lagi, dia melakukan itu di depan pria yang disukai Nay dan di tengah ramainya kafe rumah sakit. Sayangnya Daren lupa, kalau hari sial tidak pernah ada di kalender. Buktinya hanya gara-gara ponsel Nay jatuh saat menerima telepon dari papanya, justru berujung mereka kepergok sedang berpelukan karena mode panggilan berubah jadi video call. Dasar apes. “Nay mana, Tante?” tanya Daren saat Rena membukakan pintu. “Masuk! Nay lagi ke toilet,” sahutnya memberi jalan Daren. Senyum tersungging di bibir Rena melihat bunga pengantin yang dibawa pria tampan pacar anaknya. “Om …,” sapa Daren ke om Nay yang duduk di sofa bersama istrinya. Namun, pria itu hanya diam dan menggeleng dengan tatapan kesalnya. “Kalian kenal?” tanya Rena ke kakaknya, tapi iparnya malah tertawa geli. “Gimana nggak kenal, kalau kakakmu pernah memergoki dia mencium Nay di kafe rumah sakitku!” Mendengar itu mata mama dan kakek Nay melotot. Tidak menyangka kalau ternyata mereka benar-benar sudah kecolongan mengawasi Kanaya. Daren hanya meringis mendapat tatapan tajam dari Jonathan Lin. Saat mencuri ciuman Nay waktu itu, mereka juga ketiban sial kepergok omnya hingga kena damprat dan disidang di ruang kerjanya. “Kok kalian nggak bilang?!” Rena tentu saja protes. Dia ibunya, tapi malah tidak tahu apa-apa tentang kelakuan anaknya di luar. “Kalau bilang nanti kamu malah keceplosan ngomong ke Satria. Ujung-ujungnya Nay yang makin dikekang dan terus diawasi. Punya anak sampai dewasa diperlakukan seperti burung dalam sangkar. Kami tahu Satria ingin menjaga Nay, tapi dia terlalu overprotektif tanpa mempertimbangkan perasaan anaknya!” Mendengar perkataan kakaknya Rena langsung terdiam. Iya, nyatanya memang seperti itu. Sejak kejadian dulu Nay diculik ayah kandungnya dan nyaris celaka, suaminya jadi sangat berhati-hati mengawasi anak mereka. “Beb …,” panggil Daren melihat gadis kesayangannya itu keluar dari toilet. Nay meringis menahan sakit di ujung bibirnya, saat tersenyum disodori buket bunga pengantin dari pernikahan abang sepupunya. “Kok bisa dapat?” tanyanya menerima dengan senang hati bunga dari Daren, lalu duduk di sampingnya. Mereka yang disana hanya bisa diam melihat binar bahagia di wajah Nay saat bersama Daren. Kalau sudah begini mereka bisa apa. “Dapat ngeroyok dari papamu,” Daren terkekeh disuguhi muka cengo paling imut di depannya itu. “Ngeroyok dari papa? Kok bisa?” “Bunganya jatuh di depan meja papamu. Dia kan sudah nggak butuh jodoh lagi, jadi aku ambil saja untuk melamar anaknya!” Mereka tertawa mendengar jawaban konyol Daren. Pantas saja Satria bawaannya emosi terus kalau bertemu Daren, karena kelakuannya luar biasa tengil. “Orang tuamu mana? Bukannya mau kesini?” tanya Jonathan Lin. “Sebentar lagi naik. Mereka masih di tempat pesta cari Om Ibra,” jawab Daren mulai gugup. Khawatir pembicaraan orang tua mereka nanti akan menemui jalan buntu. Pintu dibuka dari luar. Nay menunduk, merapatkan duduknya ke Daren begitu sosok papanya muncul disana. Wajah masam Satria semakin menunjukkan rasa tidak sukanya melihat tangan anaknya yang berada di genggaman pria tengil itu. Belum lagi buket bunga yang sudah dimiliki Nay. Tidak, itu tidak akan merubah keputusannya. “Acaranya sudah selesai?” tanya Rena begitu suaminya duduk di sampingnya. “Sudah.” Menghela nafas panjang. Dada Satria berdenyut sakit melihat luka di ujung bibir anaknya. Seumur-umur dia tidak pernah memukul anaknya, semarah apapun itu. Tapi, demi bocah tengil yang katanya sekarang sudah jadi pacarnya justru Nay berani pasang badan membelanya. “Maksudmu apa memberikan bunga itu ke Nay? Jangan pernah berpikir kamu akan mengajaknya menikah muda! Aku tidak akan pernah membiarkan itu terjadi!” tolak Satria tegas. Kukuh pada pendiriannya untuk tidak memberikan restu, meski Nay sepertinya juga sudah lengket dan benar-benar cinta. “Kalau diizinkan, tentu saja saya ingin menikahi Nay secepatnya.” Bukan cuma Nay yang tegang mendengar jawaban tak terduga Daren. Mereka pun juga tidak menyangka dia akan seserius itu. Padahal juga baru saja pacarannya. “Tidak boleh! Aku justru ingin kamu menjauhi anakku. Kalian tidak seharusnya bersama. Nay terlalu lugu untuk jadi bagian dari keluarga kalian!” “Pa …,” cicit Nay tidak terima atas keputusan sepihak papanya. “Kuliahmu bahkan baru semester empat Nay. Fokus dulu kesitu. Jangan mikir yang aneh-aneh! Kamu belum siap untuk melangkah sejauh itu!” tegas Satria tidak ingin dibantah. “Sat, bukan seperti ini caranya menyelesaikan masalah. Setidaknya tanya juga apa yang anakmu inginkan. Nay sudah dewasa. Jangan perlakukan dia seperti anak kecil yang harus menuruti apapun perintahmu!” tegur Jonathan Lin ke anak laki-lakinya itu. Rena menyenggol lengan suaminya yang hendak menjawab ucapan papanya. Dalam masalah ini memang seharusnya mereka juga mendengarkan Nay. Dia tidak ingin anaknya merasa tertekan. Terlebih selama ini Nay sudah selalu menurut apapun yang papanya atur. “Kalian lupa, apa yang terjadi saat Nay ngotot diam-diam mengejar Sean dulu? Ujung-ujungnya dia yang terluka dan dijadikan mainan pria brengsek itu. Sekarang masih ingin menuruti kemauannya yang ngawur itu!” “Kamu tidak bisa samakan Sean dengan Daren! Sean terlalu pengecut tidak pernah berani datang menemuimu, sedang Daren sekarang meminta langsung Nay ke kita. Terus apalagi yang kamu permasalahkan?” sahut Om Nay mencoba menengahi perdebatan mereka. Bukan, lebih tepatnya mematahkan argumen iparnya yang keras kepala. Jujur, dia juga tidak begitu menyukai Daren. Mungkin karena awal pertemuan mereka yang sudah membuat om Nay senewen. Namun, bagi Aksa kebahagian keponakannya lebih utama. “Kalian tidak tahu apa-apa tentang Mateo Bastian, jadi berhenti menyudutkanku yang tidak ingin berurusan dengan keluarga mereka!” seru Satria dengan suara meninggi. Emosinya sedang carut-marut, tapi mereka justru terus memojokkan dirinya. “Siapa yang kamu bilang tidak tahu apa-apa? Ayolah, Sat! Kita sama-sama tahu dimana posisi kita masing-masing. Jangan buru-buru menghakimi orang lain. Kamu sepertinya lupa, kita juga tidak jauh beda dibanding mereka dengan versi yang berbeda. Iya, kan?!” sindir dokter cantik itu telak membungkam papa Nay. Jonathan Lin mengernyit, mencoba paham apa yang Sifa maksudkan. Kalau yang dipermasalahkan Satria adalah latar belakang keluarga Daren, lalu apa yang salah dengan Mateo Bastian sebenarnya? Karena setahu Jonathan, menantunya pun punya hubungan baik dengan papa Daren itu. Suara Bel pintu mengalihkan pandangan mereka. Daren segera beranjak membuka pintu, karena sepertinya orang yang mereka tunggu sudah datang. Benar saja, di depan sudah ada orang tua juga kakaknya, Ibra Abraham menantu Jonathan Lin, dan kedua sepupu Nay yang merupakan sahabat Daren. Mereka semua segera masuk dan duduk untuk menyelesaikan masalah ini. “Sebelumnya saya minta maaf atas apa yang sudah Daren lakukan. Sebagai orang tua, saya ada lalai mendidiknya hingga Daren berkelakuan seperti ini. Sekali lagi saya minta maaf,” ucap Mateo Bastian. Pria paruh baya yang punya garis wajah tegas itu. “Baguslah kalau kamu tahu kelakuan anakmu itu memang nggak benar. Jadi tolong, nasehati dia untuk menjauh dari anakku!” “Satria!” tegur Jonathan menatap anaknya kesal. Selalu saja emosinya yang didahulukan. Namun, Mateo justru menanggapi ucapan pedas papa Nay dengan senyuman. Matanya tertuju ke anaknya yang duduk bersama gadis cantik anak sambung Satria Lin. Tadi mereka sudah sempat bertemu di pesta pernikahan Liam. Dia dan istrinya langsung tahu, alasan kenapa anak mereka yang biasa slengean itu bisa tergila-gila ke Nay. “Sebenarnya jauh hari Daren sudah mengatakan perihal kedekatannya dengan Nay. Maksud dia ingin hubungan yang serius, bukan sekedar pacaran. Karena kejadiannya sudah seperti ini, jadi kalau Nay nya bersedia dan Pak Satria berkenan saya ingin melamarnya untuk menjadi menantu keluarga kami.” Nay tampak terkejut mendadak dilamar. Dia menoleh menatap Daren yang memberinya senyuman hangat. Benar-benar tidak menyangka pria yang biasa berkelakuan konyol ini justru bersikap serius untuk menikahinya. Padahal meski sudah beberapa bulan dekat, tapi mereka baru saja memutuskan pacaran. Sekarang tiba-tiba dia justru dilamar. Bagaimana Nay tidak syok coba! Sayangnya, papanya lagi-lagi memberi tanggapan pedas. “Aku baru saja memintamu untuk menjauhkan anakmu dari Nay, dan sekarang kamu malah melamarnya untuk jadi menantu. Sesulit itukah untuk memahami maksud ucapanku?!” Mereka menggeleng. Satria baik, cuma sulit mengontrol emosi dan bermulut tajam. “Tidak bisakah kamu bicara baik-baik, Satria! Papa Daren hanya menyampaikan maksud kedatangannya kesini. Apa harus seperti itu caramu menanggapinya!” Jonathan Lin tampak begitu kecewa dengan anaknya yang sulit diajak menyingkapi masalah ini dengan tenang dan kepala dingin. “Nay memang anakmu, tapi bukan berarti kamu bisa mengambil keputusan sepihak begini. Terlebih ini berhubungan dengan hati dan kebahagiaannya. Beri dia kesempatan bicara, Sat. Tanya juga apa maunya, bukan cuma minta dia mendengarmu!” lanjut Jonathan terpaksa menegur anaknya di depan tamu, karena memang sikapnya sudah kelewatan. “Masalahnya Nay terlalu polos, Pa. Dengan Sean saja dia bisa dibodohi, lalu bagaimana nanti Daren? Aku bahkan sangat yakin dia tidak tahu apa-apa tentang pria yang katanya pacarnya ini! Nay sama sekali tidak paham, seperti apa keluarga yang sedang melamarnya untuk jadi menantu ini!” Satria masih kukuh menolak. Tidak peduli semua orang yang sepertinya menyalahkan keputusannya. Dada Rena mencelos melihat wajah tertekan anaknya. Nay yang selalu menurut, kali ini pun juga hanya diam dengan air mata meleleh. “Sat, ayo kita bicarakan baik-baik dengan melibatkan Nay. Kita sedang membahas tentang masa depannya. Tentang perasaannya. Jadi jangan hanya mengambil keputusan sepihak, itu tidak adil untuk Nay. Dia memang polos, tapi bukan berarti tidak bisa bersikap dewasa!” ucap Rena akhirnya angkat bicara, karena tidak tega melihat putrinya tertekan seperti itu. “Tidak! Kalau pasangannya dari keluarga mereka, jawabanku tetap sama. Tidak boleh!” tegasnya. Sakit, iya. Kecewa, sangat. Nay terisak mendengar papanya yang seperti menutup rapat pintu bahagia yang ingin diraihnya. Tangan Nay mencengkram kuat bunga pengantin dari Daren. Berusaha mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan apa yang dihatinya. “Pa, untuk sekali ini saja. Bolehkah Nay mengambil keputusan sendiri? Nay sudah terlanjur cinta ke Bang Daren, Pa. Bolehkah Nay menerima lamarannya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN