Pelukan Penenang

1565 Kata
“Aaarrgghh!” Naraya memekik saat suara petir terdengar dekat sekali seolah menyambar atap rumah. Gadis itu langsung menutup mulut berharap Ghazanvar tidak datang mengecek keadaannya. Detik berikutnya dia mendengar suara langkah kaki Ghazanvar menderap dengan cepat. “Kamu enggak apa-apa, Nay?” Ghazanvar bertanya cemas. “Eng-enggak.” Naraya menjawab terbata, jantungnya juga masih belum berdetak normal setelah terkejut oleh suara petir tadi. “Kamu lagi apa?” Pria itu bertanya sembari mengikis jarak dan berdiri di belakang Naraya. “Buat teh manis anget.” Naraya melirik sedikit ke belakang. Satu tangan Ghazanvar memegang pundak Naraya sedangkan yang satunya lagi melewati tubuh ramping gadis itu diletakan di atas meja kitchen set. Kepala Ghazanvar menunduk sehingga napasnya menerpa leher Naraya membuat sekujur tubuhnya meremang. Ghazanvar bisa menghirup aroma mawar dari leher Naraya. Berlama-lama dia mematung, sedang berpikir apakah boleh mengendus leher Naraya kemudian mengecupnya sedikit saja atau mungkin memberikan sebuah tanda merah sebagai bukti kepemilikannya terhadap gadis itu agar tidak ada yang berani mendekati apalagi menyentuhnya? Naraya sampai menahan napas menunggu apa yang akan dilakukan Ghazanvar selanjutnya tapi sentuhan yang dia rasakan hanya di bagian pundak dari tangan pria itu yang meremat pelan. Selesai mengaduk gula di dalam gelas berisi air teh hangat, Naraya memperlihatkan gesture tubuh hendak membalikan badan sehingga Ghazanvar mundur perlahan. “Abang basah banget bajunya, sebentar ya Nay bawain handuk sama baju … ada kaos bapak yang pernah Nay beliin kalau enggak salah tertinggal di sini.” Naraya mengatakannya sembari mempercepat langkah ke ruang tamu untuk menyimpan dulu dua mug berisi teh manis panas sebelum akhirnya dia pergi ke kamar mengambil handuk dan kaos yang dimaksud tadi. “Abang keringin dulu rambutnya,” kata Naraya memberikan handuk saat berjalan mendekat keluar dari kamar. Ghazanvar meraihnya lalu dia gunakan untuk mengeringkan rambut. “Ini kaosnya, mudah-mudahan cukup.” Ghazanvar meraih kaos tersebut yang kemudian dia tukar dengan handuk. Pria itu duduk sedikit menyerong dengan melipat satu kakinya sehingga dia dan Naraya bisa saling bersitatap. Satu persatu kancing di kemeja Ghazanvar dibuka oleh tangan berurat pria itu sembari menatap Naraya lekat. Tanpa sadar Naraya menahan napas lagi tatkala kancing di d**a Ghazanvar semakin banyak terbuka menunjukkan otot-otot indah yang terpatri di sana. Naraya mengerjap gugup, dia menelan salivanya kemudian membalikan badan begitu Ghazanvar menanggalkan kemejanya karena kancing telah terbuka semua. Hawa panas menyeruak dari dalam tubuh Naraya padahal udara cukup dingin saat ini karena hujan yang turun sangat deras. Ghazanvar terkekeh melihat Naraya salah tingkah. “Kamu kenapa Nay?” Ghazanvar bertanya tanpa dosa. “Abang pake dulu bajunya.” “Enggak ah … gerah.” “Abaaaang.” Naraya mengerang. “Kenapa sih? Kamu coba liat ke sini.” Ghazanvar menarik pundak Naraya. “Enggak mau!” Naraya mengendikan pundak yang tadi Ghazanvar tarik. “Kenapa?” Ghazanvar menarik pundak Naraya yang satunya lagi. “Enggak boleh, Bang.” Dan Naraya melakukan hal yang sama dengan pundak satunya. Ghazanvar tertawa geli. “Nanti setelah kita nikah, kamu juga akan liat tiap hari d**a aku … sini, kamu boleh pegang malah.” Lebih ekstrim lagi, Ghazanvar menarik tangan Naraya. “Enggaaaak ….” Naraya menarik tangannya lagi membuat tawa Ghazanvar semakin kencang. Dengan satu gerakan mudah Ghazanvar merengkuh tubuh Naraya lalu membalikannya menghadap pria itu. Naraya menjerit histeris karena terkejut sembari menutup wajahnya menggunakan kedua tangan dan Ghazanvar semakin terpingkal. “Aku udah pakai baju, Nay …,” kata Ghazanvar yang cukup puas mengerjai Naraya. Perlahan Naraya menurunkan kedua tangannya, indra penglihatan Naraya langsung menangkap wajah tampan yang sedang tersenyum dan benar saja, Ghazanvar telah memakai kaos bapak. Naraya mengembuskan napas lega, tawa Ghazanvar tercetus kembali. Tangannya terulur mengusap kepala Naraya yang kemudian mendelik sebal. Tangan Naraya terulur meraih remot untuk menyalakan televisi, wajahnya memberengut sedangkan tangan Ghazanvar masih berada di puncak kepala Naraya memijat-mijat lembut. “Minum tehnya, Bang … keburu dingin.” Naraya bermaksud menyingkirkan tangan Ghazanvar dari kepalanya sebab debar jantung Naraya tidak bisa menjadi normal kembali bila disentuh Ghazanvar. Ghazanvar pun meraih gelas dari atas meja dan menghabiskan teh manis hangat buatan Naraya. “Abang enggak dicariin cewek-ceweknya Abang yang banyak itu ‘kan kalau nunggu hujan reda di sini agak lama?” Ghazanvar mengesah di dalam hati, perkara ucapan Radeva tadi ternyata belum selesai. Tangannya kembali ke atas kepala Naraya mengusap-ngusap, terkadang memainkan rambut Naraya yang menjuntai menutupi wajah. “Radeva itu becanda Nay … kalau aku punya pacar pasti mami juga enggak akan jodohin kamu sama aku, bisa aja mami jodohin kamunya sama Nawa atau Nara yang bener-bener jomblo.” Ghazanvar mencoba membuka pikiran Naraya dan menurut Naraya cukup masuk akal. “Iya ya … kenapa Abang enggak nikah sama salah satu di antara cewek-cewek itu aja?” Satu pertanyaan menjebak Naraya lontarkan. Bukan Ghazanvar kalau bisa terpedaya, bahkan kecantikan seorang wanita saja dia tidak mudah terhipnotis … kecuali Naraya. “Karena memang enggak ada Naaaay.” Ghazanvar mencubit pipi Naraya pelan. “Masa seganteng dan semapan ini enggak ada yang mau?” Mata Naraya memicing skeptis. “Terimakasih atas pujiannya dan memang cewek yang mau banyak, tapi aku yang enggak mau.” Ghazanvar lantas tertegun, kenapa dia mau repot-repot klarifikasi dan membujuk Naraya agar berpikiran positif tentangnya? Seakan bagi Ghazanvar perasaan Naraya di atas segalanya. “Kenapa Abang mau nikah sama Nay?” Pertanyaan itu sudah pernah Naraya lontarkan dan sepertinya jawaban Ghazanvar sebelumnya tidak memuaskan. “Karena kamu cantik.” Ghazanvar menjawab cepat dan dia memang jujur. “Memangnya cewek-cewek Abang enggak ada yang cantik?” Naraya masih belum menyerah memancing Ghazanvar agar mengakui apa yang Radeva katakan. “Banyak lah, tapi kamu lebih cantik.” Dan Ghazanvar menjawab enteng. Jemari Ghazanvar kini menyisir rambut Naraya dari puncak kepalanya sementara netra mereka masih terpaut. Naraya sedang menyelami hati Ghazanvar tapi dia terdistraksi oleh ketampanan pria itu saat tersenyum ditambah usapan lembut tangan kekar di kepalanya. Naraya memutus tatap lantaran jantungnya mulai menggila, mengembalikan pandangan pada televisi yang tengah memutar sebuah acara pencarian bakat. Duar! Petir menyambar secara tiba-tiba sangat kencang dan nyaris memekakan telinga hingga Naraya terlonjak dan tanpa dia sadari masuk ke dalam pelukan Ghazanvar. Gadis itu sampai melesak di antara kaki Ghazanvar yang salah satunya dia tekuk agar bisa duduk menghadap Naraya. Tanpa menunggu detik berlalu, kedua tangan Ghazanvar memeluk Naraya, tidak lupa mengambil kesempatan membenamkan wajah di puncak kepala sang kekasih yang seharum bunga mawar. Hangatnya pelukan dan aroma parfum masculin di d**a Ghazanvar menyadarkan Naraya yang sempat terbuai sesaat, dengan sangat terpaksa Naraya menjauhkan tubuhnya. “Abaaaaang.” Naraya menunjukkan ekspresi protes. “Kan kamu yang masuk ke pelukan aku.” Ghazanvar mengingatkan. Pipi Naraya seketika bersemu, mengulum senyum mengalihkan pandangannya ke mana saja asal tidak menatap Ghazanvar. “Sini Nay, peluk lagi … siapa tahu nanti ada petir lagi.” Naraya tahu kalau Ghazanvar sedang berkelakar karena pria itu bicara sembari tertawa. “Pegangan tangan aja gimana?” cetus Naraya memberikan tangannya. Ghazanvar langsung meraih tangan Naraya dan membawanya ke atas pangkuan untuk dia genggam. Pandangannya kini sudah fokus pada televisi jadi Naraya juga mengembalikan pandangannya ke sana. Tapi sepertinya Ghazanvar tidak akan berhenti membuat Naraya berhasrat sampai gadis itu meminta sendiri untuk disentuh karena buktinya ibu jari Ghazanvar mengusap punggung tangan Naraya dengan gerakan paling sensual sampai bulu kuduk Naraya meremang. Cukup lama Naraya membiarkan Ghazanvar menggenggam tangannya dengan cara seperti itu meski dia harus menahan segala desiran di sekujur tubuh. Dan Ghazanvar tidak pernah berhenti, Naraya akui kalau pria itu sungguh pandai memancing hasratnya padahal hanya dengan sebuah genggaman tangan saja. Kepala Naraya sampai pening dibuatnya. “Bang ….” “Hem?” Ghazanvar menyahut. “Mau pindah ke kamar?” sambungnya dalam hati. “Hujannya udah reda.” Tangan Naraya yang bebas menunjuk ke arah luar. “Oh ….” Ghazanvar tampak kecewa. “Makasih ya udah ajakin makan malam, udah begitu anterin pulang.” Naraya mencoba mengalihkan kekecewaan Ghazanvar. “Aku ‘kan cowok kamu, Nay… enggak usah bilang makasih segala,” kata Ghazanvar meraih kemejanya yang tersampir di lengan kursi. “Aku yang cuci ya, Bang … nanti aku kembaliin setelah dicuci.” Naraya merebut kemeja dari tangan Ghazanvar. “Ya udah, aku pulang ya.” Ghazanvar pamit dibalas anggukan kepala Naraya. Gadis berambut panjang itu mengantar Ghazanvar hingga teras sembari mendekap kemeja Ghazanvar di d**a. “Kamu enggak mau peluk aku dulu?” Ghazanvar merentangkan kedua tangannya. “Tadi ‘kan udah waktu ada petir.” Keduanya lantas tertawa kecil. “Jangan lupa kunci pintu ya, Nay.” Ghazanvar pamit, dia tidak akan memaksa. “Iya Bang … hati-hati ya.” “Bye Nay.” Langkah Ghazanvar diiringi lambaian tangan Naraya, dia masuk setelah Ghazanvar sudah tidak bisa dijangkau oleh pandangannya lagi. Naraya menutup pintu tidak lupa menguncinya, dia dekap lebih erat kemeja Ghazanvar di d**a dengan wajah tersipu mengulum senyum. Mungkin kemeja Ghazanvar yang lembab itu akan menemani Naraya tidur dulu sebelum dia cuci besok. Sementara itu di dalam mobilnya, berulang kali Ghazanvar menghela napas panjang. Sulit sekali bisa menyentuh Naraya lebih intim meskipun dia tahu kalau Naraya telah menyukainya. Perempuan mana yang tidak? Akan tetapi perempuan lain akan langsung menanggalkan pakaiannya bila berada dalam sebuah ruangan hanya berdua dengan Ghazanvar. “Nay … Nay ….” Ghazanvar bergumam lantas terkekeh. Hanya Naraya satu-satunya perempuan yang berhasil membuat Ghazanvar menikmati sakitnya menahan hasrat tanpa bisa dia lampiaskan. Ghazanvar mungkin bisa menuntaskannya dengan perempuan lain tapi entah kenapa dia tidak ingin, otaknya tidak bisa berpikir sampai ke sana. Pria itu sedang ter-Nay-Nay saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN