BAB 17

2130 Kata
"Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari sebuah perselingkuhan? Saat kamu berkata kita tapi di hatimu ada dia," - Valenci Anggraini Wijaya- Aku kesiangan. Kantong mataku bahkan sudah lebih parah dari mata panda. Semalaman aku nggak bisa tidur, pikiranku rumit dan kepalaku pusing. Hidup terasa sulit dan meski ini hanya soal cinta-cintaan, itu sudah cukup membuatku membenci kehidupan. Hari ini aku merasa kacau. Sempat dihukum lari lapangan, mengisi buku kasus di BK dan terakhir didamprat pak Gugun karena bengong di pelajaran Biologi. Tapi, semuanya nggak membuatku marah atau protes. Rasanya, sejak semalam, hatiku hilang. Semua jadi terasa kosong. Aku sudah mati. "Mikirin apa?" tanya Nagara sembari duduk di dekatku yang masih nggak beranjak dari kursiku bahkan setelah jam pelajaran TIK berakhir. Aku hanya menggelengkan kepala pelan. "Ada masalah? Cerita, dong!" bujuknya. Aku hanya memaksakan diri untuk tersenyum, sekadar berusaha semampunya untuk meyakinkan Nagara bahwa aku baik-baik saja. "Ada masalah sama Pascal?" tebaknya yang membuatku tersenyum kecut. Dia memang jenius, bahkan untuk urusan tebak-menebak urusan orang. Nagara menyentuh bagian belakang kepalaku lalu mengusapnya lembut membuatku menoleh ke arahnya. "Masalah harus dihadapi, jika di biarin nanti makin jadi," nasehatnya dengan tulus. "Aku bahkan nggak tahu, apa yang sedang aku hadapi, Ara," sahutku dengan suara serak. Tanpa aku menyadarinya, kini mataku mulai berair lagi. Padahal samalam aku sudah memerasnya hingga mataku nyaris hilang karena tertutup kelopak mata yang membengkak. "Kenapa?" tanya Nagara lagi. Aku menghela napas panjang. Walau butuh waktu lama dan dengan suara yang tersedat-sedat, pada akhirnya aku bisa bercerita pada Nagara tentang apa yang aku rasakan. Aku berhasil bercerita tentang bagaimana aku dicampakkan oleh pacarku demi seorang cewek berlabel mantan pacar. Tak lupa, aku juga menceritakan bagaimana aku melihat mereka bersama dengan kedua mataku sendiri. Untuk urusan nangis semalaman, aku nggak cerita. Karena tanpa dikatakan, aku tahu kalau Nagara sudah tahu tentang hal itu. "Kamu sudah konfirmasi sama Pascal soal itu?" tanya Nagara. Aku menggeleng. “Belum.” "Kenapa belum? Belum ketemu atau takut mendengar jawaban darinya?" tanya Nagara. "Bukan dua-duanya," jawabku. "Lantas, kenapa?" tanya Nagara penasaran. Aku mendesah pelan. "Aku ingin dia menjelaskan, bahkan tanpa perlu aku tanyakan," jawabku. "Hah?" Nagara terkikik membuatku merengut sebal kepadanya. "Kenapa ketawa Ara?" delikku sebal. "Kamu naif atau oon, Val?" ledek Nagara. "Hah? Maksudmu apa Ara?" tanyaku nggak ngerti maksud dari omongannya. "Cowok bukan dukun, Valenci. Kami nggak akan pernah tahu perasaan cewek jika nggak diomongin. Dari semua jenis kode, kode cewek yang paling susah buat diartikan. Makanya kami anti kode-kodean," jelasnya. Aku mengernyitkan alis. "Ah, jadi itu alasanmu nggak peka kalau banyak yang naksir kamu?" tanyaku. Nagara nyengir. "Kalau itu peka, cuma pura-pura nggak peka. Cowok akan pura-pura nggak peka buat cewek yang nggak disuka. Kalau udah kami incer, dia nggak suka pun kami pura-pura dia kode," sanggah Nagara lantas ketawa. "Lucnut amat kamu, Ara," umpatku. Nagara cuek. Teman sebangkuku itu masih menikmati tawanya. "Tapi, soal kamu sama Pascal, aku saranin kamu ngomong sama dia. Jangan lama-lama terluka, Val. Kalau seumpanya dia nggak seperti yang kamu lihat, kamu bakal nyesel karena kecewa padanya bahkan tanpa tahu kebenarannya lebih dulu," nasehat Nagara bijak. Aku menghela napas panjang. "Kalau seumpanya dia beneran masih mencintai mantannya, aku harus gimana Ara?" tanyaku dengan sendu. Nagara hanya menyunggingkan senyuman penuh arti. "Jika itu yang terjadi, melepaskannya adalah jalan yang terbaik, Val," jawab Nagara. Aku hanya diam, rasanya itu sangat berat dilakukan. Tiba-tiba Nagara menggenggam tanganku. "Itu kalau memang benar begitu. Jika dia hanya sebatas peduli tanpa berniat kembali, kamu layak memberinya kesempatan kedua!" kata Nagara. Sekali lagi, dia tersenyum. Bukan mengejek tapi memberikan kekuatan. Aku membalas senyuman Nagara. "Makasih, Ara," ucapku dengan tulus. Nagara melepas genggaman tangannya dariku. "Sama-sama," sahutnya. "Segera omongin, jangan uring-uringan sendiri ya," pesannya lagi. "Iya, nanti aku omongin sama kak Pascal, kok," janjiku. Nagara bangkit dari duduknya. "Ya udah, ayo ke kelas," ajaknya. "Duluan aja, aku masih mau ke toilet," "Mau aku temenin?" tanya Nagara ngawur. "Aku mau ke toilet cewek, Ara. Ngapain ikut?" dengusku. Nagara nyengir. "Ya kali aja butuh ditemenin ke sana, nggak akan masuk kok," katanya. “Ya gila aja kamu masuk Ara,” gerutuku. "Nggak usah ditemani, ke kelas aja duluan sana. Kasihan Sota, dia pasti udah nyari kita dari tadi." "Dia mah paling masih ke kantin, habis TIK kan jam istirahat! Aku berani bertaruh, pasti dia udah parkir beli bakso sekarang," sanggah Nagara dengan yakin. "Ya dah, pokoknya duluan aja," kataku tetep menolak tawaran Nagara untuk mengantarku ke toilet. "Yaudah, pokoknya jangan mikir macem-macem lagi, oke?" pesannya. "Iya, ah. Bawel, deh. Lagian aku mau ngapain coba sampe dikhawatirin berlebihan," gerutuku. "Ya kali aja cinta ngebuat kamu jadi ngelakuin hal gila," sergah Nagara. Aku mencebikkan bibirku. "Dramamu parah, Ara. Aku belum terlalu insine buat ngelakuin hal terlarang begitu," elakku. Nagara terkekeh. "Bagus deh, soalnya aku ogah temenan sama orang stress, apalagi gila," sahut Nagara lalu menoyor kepalaku. "Ish, apa sih Ara," dengusku merasa sebal dengan perlakuannya. Nagara ketawa kecil. "Duluan ya, Val," pamitnya lalu berjalan keluar dari lab TIK. Aku hanya mengangguk. Tak lama kemudian, aku juga keluar dari lab TIK, hendak ke toilet. Namun langkahku tercekat. Saat hendak menyebrang melewati lab Biologi dan tanpa berniat menguping, mendengar percakapan di antara dua orang yang suaranya aku kenal dengan pasti. "Jadi, kemarin Valenci ke rumahku?" tanya sebuah suara yang terdengar berat, serak tapi merdu itu. Itu suara kak Pascal, pacarku. "Iya, aku yang nganterin dia kesana," jawab suara lainnya yang aku kenali sebagai suara kak Milki. "Aneh, aku nggak ketemu dia kemarin," katanya. "Iya, dia langsung pulang saat ngeliat kamu sama Indira," jawab kak Milki. "Eh? Valenci lihat kami?" tanya kak Pascal, entah bagaimana ekspresinya saat ini. Aku ingin tahu. "Iya, dia lihat dan langsung balik badan. Kamu masih belum lupain dia Cal?" tanya Kak Milki dimana pertanyaan itu juga adalah pertanyaan yang ingin aku ajukan. Tak ada jawaban untuk beberapa saat. Rasanya jantungku nyaris meledak menunggu jawaban dari kak Pascal. Walau bukan aku sendiri yang bertanya. "Bagaimana bisa lupa, Milki. Dia cinta pertamaku," jawab kak Pascal dimana jawaban itu sukses membuat dadaku terasa sesak. "Tapi kamu udah punya Valenci sekarang," sergah kak Milki. "Aku tahu, sangat tahu itu," sahut kak Pascal. "Karena itu, aku belum mampu membahas apapun dengannya," Aku membeku. Maksud perkataannya itu apa? Dia mau ninggalin aku? "Jangan gila, Pascal! Valenci mencintaimu, kamu tahu itu," tegas kak Milki. "Aku nggak pernah minta dia untuk mencintaiku, Milki," elak kak Pascal. "Tapi kamu pacaran dengannya," sambar kak Milki lagi. "Karena aku pikir, saat dia menangis waktu itu, aku merasa dia sama sepertiku. Kami seolah dua kepingan yang memiliki nasib yang sama sehingga harus menyatu agar bisa saling menyembuhkan," jelas kak Pascal. "Sayangnya, semakin ingin bersamanya, aku tahu kalau kami nggak boleh bersama," lanjut kak Pascal. Air mataku jatuh. Tak perlu waktu banyak untukku melesat pergi dari sana. Aku nggak peduli lagi, tak ada penjelasan apapun yang layak dipertimbangkan setelah mendengar percakapan itu. Kak, tahukah kamu apa yang lebih menyakitkan dari perselingkuhan? Saat kamu berkata 'kita' tapi di hatimu hanya ada 'dia'. Indira, cewek yang bahkan tanpa aku tahu wajahnya dengan jelas itu, telah merebut hatimu secara sukarela dariku. Dan aku, tak bisa memaksamu bertahan di sarang yang memang nggak pernah ingin kamu tinggali. Pergilah! Jika itu membuatmu bahagia. *** Aku mengerang menatap papan tulis berisikan penjelasan mengenai Termokimia. Keterangan dari guru Kimiaku benar-benar membuat otakku yang sudah oon jadi makin buntu. Walau efek alergi belum nampak, aku yakin bentar lagi aku kena dampak. Otakku sakit, walau nggak sesakit hatiku. Aku mendesah, berulang kali dan membuat Nagara yang duduk di dekatku hanya berdecak pelan. Sembari mencoba melihat penjelasan guruku dari balik bulu mataku, aku menopang dagu dengan kedua tangan. Bibirku mengerucut, dahi berkerut, sungguh kimia mengubahku jadi curut. Nagara mengetukkan dua jarinya di atas meja membuatku menoleh pada jemarinya. Di sana, ada sepucuk kertas yang rupanya ada pesan tersembunyi dari Nagara untukku. Nagara : Ngapain? Fokus depan, lusa ulangan! Aku mengambil bulpenku lalu membalas pesan dari Nagara. Valenci : Ubanan. Ngapain sih kita ngitungin jumlah entalpi buat lelehen es? Nggak ada kerjaan banget! Aku pun menggeser kertas itu ke Nagara. Nagara pun membaca pesan dariku. Dia mengulas senyum geli lalu kembali menuliskan balasan. Setelahnya, dia geser lagi kertasnya padaku. Nagara : Ini belum seberapa. Ntar kita disuruh ngukur kecepatan ayunan bandul di Fisika. Belum lagi, kita harus mempelajari nama-nama animalia dan plantae di Biologi. Aku mendengus setelah membaca pesan dari Nagara. Valenci : kamu nggak botak belajar Fisika dan antek-anteknya, Ara? Rahasianya apa rambut masih lebat begitu? Nagara nyaris terkikik kalau saja dia nggak melipat bibirnya pasca membaca pesan dariku. Dia pun membalas ocehanku. Nagara : Kamu nggak tahu aja kalau kepalaku uda botak. Ini yang di kepalaku cuma Wig. Aku melotot. "Serius?" tanyaku dengan berbisik pelan agar guru kimiaku nggak dengar. Beliau galak. Kalau ketahuan ngobrol, aku pasti bakal diterkam hidup-hidup. Nagara tersenyum lebar. "Bohong, dong,” jawabnya dengan enteng. Aku berdecak pelan. "Dasar Ara nyebelin," dengusku. Nagara nyengir lagi. "Jangan stress, Val," katanya. "Valenci nggak cocok dengan wajah murung, jelek!" Aku mencibir. “Aku cantik,” sanggahku. Nagara tersenyum. “Iya, apalagi kalau senyum,” hibur Nagara. Aku tersenyum kecil, kali ini tanpa paksaan, tulus. Hatiku terhibur, bahkan dengan gurauan unfaedah yang nggak bisa dipercaya itu. "Valenci!" Teguran itu membuat senyumku memuai. Aku mendadak kaku saat melihat guru Kimiaku mulai memberikan tatapan mautnya. "Maju ke depan! Kerjakan soal nomer tiga!" suruhnya yang sukses membuatku garuk-garuk kepala. Aku melihat sekilas soal nomer tiga dan mendadak jadi puyeng. Itu soal apaan? "Sstt," bisik Nagara. Aku menoleh ke arah Nagara. "Cari dulu Molnya, massa bagi Mr-nya, habis itu kalikan entalpinya," kata Nagara yang berusaha memberiku solusi. Tapi kayaknya dia lupa, aku nggak kenal Mol itu apaan. Kecuali Molyadi, tetangga penjual sate, aku nggak kenal apa atau siapa itu Mol. "Valenci, cepat!" hardik guru kimiaku. Mau nggak mau aku berdiri dari kursiku. Rasanya pantatku juga sekujur tubuh bagian bawahku mendadak mati rasa. Aku kelebet pipis! "Bu, bisa izin ke toilet dulu nggak? Saya kebelet," kataku. Guru Kimiaku merengut. "Alasan! Cepat kerjakan, setelahnya baru ke toilet!" Aku berjalan dengan kaki yang gemetar. Rasanya aku beneran bisa pipis di seragam sekolah sekarang. "Bu, saya benar-benar harus ke toilet," mohonku. Guru kimiaku menggeleng tegas. Dengan susah payah walau nggak harus mendaki gunung, menuruni lembah, aku tiba di depan papan tulis. Sejumlah angka dan bahkan apapun yang tertulis di papan membuat perutku seakan ditendang. Rasanya kantong kemihku akan meledak sekarang. "Bisa kamu kerjakan, Valenci?" tanya guruku sinis. Aku hanya bisa memberikan senyuman termanisku. "Ke toilet, setelahnya lari lapangan dua kali putaran!" perintahnya. "Tapi Bu--." "Mau saya tambah hukumannya?" potong guru Kimiaku. Aku segera menggeleng cepat. "Nggak, Bu! Permisi," ujarku lalu segera mengambil langkah panjang untuk keluar. Aku sempat menoleh pada Nagara dan Sota, raut wajah mereka terlihat cemas tapi aku hanya memberikan senyuman. Aku baik-baik saja, begitu telepati yang aku kirimkan pada mereka sebelum keluar dari kelas. Aku berlari menuju toilet sekolah dan menuntaskan urusan 'alam'. Setelahnya aku berjalan santai menuju lapangan. "Ya, ini sudah biasa. Tadi aja lari tiga kali putaran, dua putaran lagi nggak apa-apa, Val! Anggap olahraga otot," gumamku pada diriku sendiri. "Ya, nggak apa-apa. Palingan ntar kamu berubah berotot kayak Thor," Celetukan itu membuatku menoleh dan menatap kak Galaksi yang sudah berdiri di sampingku.Aku memegangi dadaku, mulutku terbuka sedikit. Kaget. "Duh segitunya, lagian mikir apa sih sampai nggak nyadar aku ikuti?" godanya. "Kakak ngikutin aku dari toilet?" tanyaku. Kak Galaksi terkikik. "Ya nggaklah, kebetulan aku lihat kamu jalan barusan, trus karena penasaran, kamu nggak nyapa yaudah diikuti. Rupanya disuruh lari lapangantoh?" Aku hanya nyengir, malu. "Kenapa disuruh lari?" tanya kak Galaksi. "Nggak bisa jawab soal kimia, Kak," jawabku jujur. "Kakak sendiri jam segini kok di luar?" tanyaku heran. "Oh, yang lain lagi remidi. Aku disuruh keluar karena nggak remidi," jawabnya. "Wah, Kakak Galaksi pintar, dong," pujiku. "Kalau nggak pintar nggak mungkin jadi the most wanted, dong," jawabnya sambil mengedipkan satu matanya. "Ish, ngapain Kak? Matanya kelilipan?" gurauku. "Huum, kalau lihat cewek cantik suka ngedip sendiri. Kayak gini nih," kata kak Galaksi lalu ngedipin matanya beberapa kali. Aku tertawa kecil. "Dasar, ketahuan amat pura-puranya, Kak," ujarku. "Yang penting Valenci ketawa," katanya. Aku tergelak. "Receh deh, Kak," "Biarin," sahutnya. "Ayo!" ajaknya. "Mau kemana Kak?" tanyaku. "Katanya disuruh lari, ayo aku temani," jawabnya santai. "Kakak mau lari sama aku?" tanyaku nggak percaya dia mau lari. Kak Galaksi mengangguk. "Ayo, ntar aku berubah pikiran lho," katanya lalu mulai berlari. Aku pun mulai berlari mengikuti kak Galaksi yang sudah lari duluan. Kami pun mulai berlari bersama, walau kak Galaksi kemudian mengajakku mengobrol kesana-kemari. Kami berlari, mengobrol, ketawa dan bahkan saling menjerit seperti orang gila. Hatiku terasa terisi walau secuil. Masa bodoh soal Indira, soal kak Pascal, atau lainnya. Saat ini, meski egois, aku ingin melupakan segalanya dan tertawa seperti orang gila bersama kak Galaksi, kakak dari cewek yang memberiku luka secara nggak langsung. Kamu bisa Valenci. Kamu bisa! Semangat!! Begitu, batinku berteriak agar aku tetap kuat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN