"Kenapa bulan hanya indah kalau dilihat dari jauh? Karena jika dilihat dari dekat akan ketahuan, kalau terdiri dari kawah-kawah,"
- Affan Anggoro -
Saat bel tanda pulang sekolah berbunyi, aku masih berada di tempat dudukku sambil senyum-senyum melihat pesan dari kak Pascal yang kini sudah aku save nomernya dengan nama ‘My Orbital’.
"Yaelah, tadi aja malu-malu, sekarang senyum-senyum," goda Sota.
"Kamu kesambet, Val?" tanya Sota heran.
Aku menggelengkan pelan kepalaku lalu menyodorkan layar handphoneku kepadanya. Sota pun mendekat, menyimak apa yang aku perlihatkan padanya. Beberapa detik kemudian dia tersenyum lebar, paham mengapa aku senyum-senyum seperti orang gila.
"Ciyee yang di Wa pacar," goda Sota.
Aku hanya nyengir.
"Eh, karena kamu bareng kak Pascal, kenapa nggak sekalian aja kita double date hari ini?" usul Sota.
Aku terdiam, ragu.
"Ayolah," bujuk Sota lagi.
"Aku nggak tahu, takutnya kak Pascal nggak mau," kataku.
"Biar aku yang ajak," kata Sota sambil nepuk dadanya seolah mengatakan 'serahkan sama aku'.
Aku yang melihatnya begitu hanya bisa senyum.
"Yaudah, ayo," kata Sota sambil mengedikkan kepalanya.
Aku hanya mengangguk lalu berdiri dari dudukku.Kami pun berjalan berdampingan menuju keluar kelas. Aku tertegun menatap kak Pascal yang beneran sudah berdiri di depan kelasku, menungguku. Begitu melihatku kakak kelas sekaligus pacarku itu melambaikan tangan sambil tersenyum manis.
"Hai," sapanya ramah.
"Hai juga," balasku.
"Idih kaku amat," celetuk Sota yang membuatku segera memukul pelan lengannya.
"Aduh. Sakit, Val," keluhnya.
"Biarin," sahutku sambil manyunin bibir ke arahnya.
"Kejam," desis Sota pura-pura ngambek.
Aku hanya menjulurkan lidahku untuk mengejek Sota. Sota yang diejek merespon dengan membuat wajah jelek.
"Oh ya," kata Sota tiba-tiba.Sahabatku itu menoleh ke kak Pascal.
"Kak, hari ini sibuk nggak?" tanya Sota.
Kak Pascal menggelengkan kepalanya.
"Nggak, sih. Kenapa?"
"Mau double date nggak? Kebetulan hari ini aku ada janji buat traktir Valenci bakso. Hutangku dua mangkok bakso. Daripada dimakan Valenci semua dan bikin dia gendut, mending ngajak kakak kan?" kata Sota tanpa sungkan.
"Aish, Sot. Bongkar aib aja ih," protesku.
"Kak Pascal sibuk, bentar lagi dia binjar. Jadi pasti nggak bi-,"
"Bisa, kok. Hari ini aku nggak ada binjar," potong kak Pascal yang membuatku menoleh kaget padanya.
"Lah, kak? Kata kak Milki hari ini ada binjar Kimia," kataku heran sekaligus kaget.
"Oh iya, buat yang remidi UH Kimia. Aku sih nggak," jawab kak Pascal menjelaskan.
"Wah, jadi kak Milkita remidi, dong? Ish, ternyata dia payah," kata Sota sambil ketawa geli.
"Iya, dia emang lemah di Kimia. Tapi Biologinya keren, apalagi untuk sastra, dia pinter bikin cerpen dan novel," jelas kak Pascal.
"Eh, gitu ya? Hebat juga tuh dia," kata Sota yang awalnya ketawa sekarang jadi ngerasa takjub sama kak Milki.
"Makanya Sot jangan nilai orang dari satu sisi aja," tegurku pada Sota.
Sota hanya nyengir sambil garuk-garuk kepala.
"Maaf, deh," katanya merasa malu.
"Jadi, mau nggak kak sama tawaranku yang tadi?" tanya Sota, kembali pada fokus utama.
"Boleh aja sih, tapi sepeda motorku cuma bisa bonceng satu orang," kata kak Pascal.
"Oh tenang, Sota sudah taken kok, Kak. Jangan khawatir," kata Sota.
"Sudah bilang Anggoro belum? Ntar kak Pascal bisa, pacarmu malah yang nggak bisa," godaku pada Sota.
"Aish, jangan gitu dong doanya, Val. Yaudah, ketemuan di tempatnya aja ya. Di tempat biasa kita ngebakso itu, Val," usul Sota kemudian.
"Nggak ah, ntar aku dan kak Pascal udah disana, kamu dan Anggoro malah batal datang. Kalau gitu, siapa yang mau bayar?" kataku menolak usul Sota.
"Ya ampun, nggak percayaan amat sama temen sendiri," dengus Sota rada sebal.
"Jaga-jaga aja," elakku.
Sota merogoh saku seragamnya lalu meletakkan paksa uang lima puluh ribuan di tanganku.
"Nih! Jaminannya," katanya."Percaya sekarang?"
Aku tersenyum lebar.
"Iya, percaya," kataku sambil memasukkan uang itu ke dalam kantong seragamku.
"Kalau cuma bakso, aku mampu bayar kok, Ami," sahut kak Pascal.
"Maaf, Kak, Bukan maksud Valenci buat ngeremehin keuangan kakak, tapi si Sota ini udah janji! Janji itu adalah hutang dan harus ditepati!" kataku ngejelasin.
Kak Pascal hanya mengangguk mengerti.
"Yaudah, aku duluan ya. Mau jemput Sayang," pamit Sota.
"Hati-hati!" pesanku.
Sota mengangguk lalu pergi meninggalkan aku dan kak Pascal berdua. Aku menoleh ke arah kak Pascal, cowok ganteng itu tersenyum, manis. Untungnya kadarnya pas jadi nggak bikin obesitas.
"Jalan sekarang apa mau liat-liatan dulu nih?" goda kak Pascal.
Aku hanya tersenyum geli.
"Sambil jalan aja, Kak. Ke parkiran dulu kan ngambil sepeda motor?" tanyaku.
Kak Pascal mengangguk mengiyakan.
"Iya, kayaknya sih udah sepi. Parkiran suka rame, malas desak-desakan," sahut kak Pascal.
"Kakak nggak suka rame?" tanyaku.
Kak Pascal mengangguk.
"Iya, bikin gerah! Kayak sempit gitu jadinya," jawab kak Pascal.
"Oh gitu,"
Kak Pascal mengangguk.
"Oh ya, Ami kalau kamu suka sama seseorang bilang ya," katanya kemudian.
"Eh? Kamu tahu kan, kita pacaran karena kupikir patah hatimu akan hilang jika kamu sama aku. Tapi kalau Ami misalkan, nggak bahagia dan suka sama cowok lain, nanti aku bantuin," jelas kak Pascal panjang-lebar.
"Oh gitu," kataku berkomentar singkat. Ada perasaan kurang nyaman di hatiku mendengarnya berkata begitu. Tapi, kenapa?
"Kalau kakak? Ada yang ditaksir?" tanyaku balik.
"Saat ini? Belum," jawabnya.
"Oh,"
"Kalau aku, Kakak suka nggak?" tanyaku yang entah kenapa berani nanya gitu.
"Suka sih belum, tapi aku nggak benci Valenci. Makanya, aku mau pacaran sama kamu," jelasnya.
"Kenapa?"
"Karena kamu nangisnya gitu sih, jadi akupikir pasti beruntung sekali punya pacar kayak Valenci," jawab kak Pascal.
"Gitu gimana?" tanyaku kurang paham.
"Nangisnya tulus, jadi kupikir Valenci pasti cinta banget sama cowok itu. Aku juga pengen punya pacar setia, makanya aku ajak Valenci pacaran," jelasnya.
"Valenci? Tumben kakak nggak nyebut aku Ami?" tanyaku.
"Biar jelas siapa subjek yang aku maksud. Biar kalau orang denger nggak salah paham. Tapi kamu ngerti kan kenapa aku panggil Ami?" tanya kak Pascal kemudian.
Aku mengangguk kecil.
"Ami, sejenis panggilan sayang, iya nggak sih Kak?" tanyaku.
Kak Pascal mengangguk.
"Iya, diambil dari kata Prancis amy, diserap dalam bahasa Indonesia jadi Ami," jelasnya.
"Oh, jadi masuk kata serapan?" tanyaku.
Kak Pascal mengangguk.
"Iya, aku tahu dari Milki, kan dia Sastranya oke," jelas kak Pascal.
"Wah, keren! Nggak nyangka aku ternyata kak Milki pinter Sastra," kataku merasa kagum.
"Iya, dia memang sejak SMP sudah suka bikin cerpen. Sekarang, dia lagi bikin novel," kata kak Pascal ngasih info.
"Waktu itu, kakak bilang pacarnya kak Milki datengin kakak, buat apa?" tanyaku heran.
"Oh, si Anis? Mereka udah putus kok. Pacarnya Milki emang gitu, suka nggak tahan dengan sikap Milki yang cuek trus selingkuh. Kalau ketahuan, ngerengek ke aku buat bujuk Milki biar dimaafin. Tapi ya, Milki susah sih, sekali kecewa, dia nggak akan mau lagi," jelas kak Pascal.
"Eh, akupikir kak Milki playboy ternyata ngenes gitu!" kataku.
Kak Pascal tertawa geli mendengar ucapanku.
"Dia disebut playboy karena suka gonta-ganti pacar. Padahal bukan keinginannya buat gitu, dia itu suka nerima yang datang,"
"Maksud kakak?"
"Nggak tega nolak,"
"Oh,"
"Tunggu sini ya, Ami! Aku ambil sepeda motor dulu," kata kak Pascal saat kami sudah tiba di depan parkiran.
"Oke," sahutku.
Tak lama kemudian kak Pascal keluar. Dengan aku sebagai navigasi, kami pun pergi ke warung bakso langgananku dan Sota.
***
Sudah lima menit aku dan kak Pascal tiba di lokasi, kami bahkan sudah memesan tetapi Sota dan Anggoro belum juga nongol.
"Tuh kan? Karet amat si Sota," gerutuku kesal.
"Udah nggak apa-apa," kata kak Pascal.
"Sabar," katanya lagi.
Aku pun hanya mengangguk mengiyakan. Sekarang, kami duduk bersebelahan.
"Tadi gimana di sekolah?" tanya kak Pascal memulai pembicaraan di antara kami.
"Biasa aja, Kak," jawabku.
"Kalau Kakak?" tanyaku balik.
"Bosen," jawabnya.
"Jamkos?" tebakku.
"Nggak, aku dispen buat bimbingan Kimia. Bosen aja dari jam pertama sampai terakhir belajar Kimia," curhat kak Pascal yang entah kenapa membuatku mulai merasa gatal-gatal.
"Kenapa Ami?" tanya kak Pascal saat melihatku mulai menggaruk-garuk lenganku.
"Kak, bisa nggak bicarain itu? Aku alergi," jawabku setengah memohon.
Kak Pascal tergelak pelan.
"Kamu alergi Kimia?" tanya kak Pascal yang aku jawab dengan anggukan kepala.
"Astaga," kata kak Pascal lalu disengaja atau nggak, pacarku itu mengacak-acak rambutku sebentar. Hanya sebentar, tapi mampu membuatku menahan napas.
"Lucunya pacarku," katanya lagi yang membuat pipiku langsung terasa panas.
"Lho? Demam?" kata kak Pascal sambil meletakkan telapak tangannya di keningku.
"Kak!" pekikku yang segera berdiri dan mundur beberapa langkah membuat kak Pascal melongo.
"Eh? Maaf," katanya spontan.
"Anu, aku ke toilet dulu Kak," izinku lalu bergegas pergi menuju kamar mandi yang berada di luar warung bakso.
Aku masuk ke kamar mandi dan mencoba menenangkan detak jantungku yang seketika terasa aneh dan nggak normal. Aku pegang kedua pipiku yang juga terasa panas.
Ya Tuhan, bahaya ini. Dia sumber alergiku, aku nggak boleh dekat-dekat.
Aku membasuh muka dan kedua tanganku. Setelah cukup tenang, aku keluar dari kamar mandi lalu menghampiri kak Pascal yang kini sudah bertiga dengan Sota dan Anggoro. Pasangan alay itu akhirnya datang juga.
"Dari mana Val?" tanya Sota yang ternyata sudah mulai memakan baksonya.
Pesanan kami sudah tiba rupanya.
"Toilet," jawabku lalu duduk di samping kak Pascal lagi.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya kak Pascal.
Aku mengangguk.
"Nggak apa-apa, Kak," jawabku lalu tersenyum kecil.
"Syukur deh," katanya merasa lega.
Aku pun melirik bakso kak Pascal yang penuh dengan sambar dan saos. Setelahnya, aku melirik baksoku yang putihan.
"Nggak usah pake apa-apa kalau emang nggak suka," kata kak Pascal sambil tersenyum manis. "Aku nggak peduli meski selera kita beda selama kita memiliki perasaan yang sama.”
Sku termenung, hatiku berdebar-debar.
"Aduh, baper! Jangan romantis banget dong, iri," kata Sota yang membuatku mendelik sebal padanya.
"Yang, ambilin saos dan kecap, dong," rengek Sota pada Anggoro.
Anggoro pun menurut, dia mengambilkan saos, kecap dan juga sambal untuk Sota. Setelah itu juga mengadukkan bakso Sota lalu menyuapi Sota dengan penuh cinta.
Bener-bener pasangan alay tingkat k*****t.
Aku memakan baksoku dengan santai, tergolong lambat dalam urusan makan. Mungkin karena itu aku kurus. Walau Sota nggak. Dia makannya banyak tapi nggak gemuk-gemuk. Sistem pencernaannya lancar badai.
"Eh, eh, yang lihat tuh! Cantik gila," kata Sota heboh sambil menunjuk ke arah cewek yang duduk cukup jauh di antara kami.
Anggoro menoleh pada ke arah yang Sota tunjuk.
"Cantik ya kayak bulan," komentar Sota.
"Oh iya," kata Anggoro yang disambut cubitan dari Sota.
"Aw, sakit Yang," protes Anggoro.
"Genit ih,” kata Sota pura-pura ngambek.
"Lah, kan kamu yang bilang dia cantik, aku sih cuma iya in aja," bela Anggoro.
"Lagian, dia emang kayak bulan," kata Anggoro.
"Kenapa kok gitu, Anggor?" tanyaku penasaran.
"Bulan cuma terlihat indah dari jauh aja soalnya kalau dari deket ketahuan kalau cuma terdiri dari kawah-kawah!" jelas Anggoro.
"Bener tuh," kata kak Pascal."Makanya, Sota nggak usah cemburu."
Sota senyum lebar lalu merangkul lengan Anggoro.
"Aku sayang Mas," katanya kemudian yang membuatku rasanya pengen muntah.
Selesai makan, kami berempat pun pulang. Sota dan Anggoro sedangkan aku diantar pulang oleh kak Pascal.
Selama perjalanan, aku cuma memegang bagian belakang baju seragam kak Pascal aja, nggak berani megang pinggangnya. Bagaimanapun dia itu juara Kimia.
Bagaimana kalau aku pegang trus gatal-gatal lagi? Tadi aja aku udah nyaris nggak bisa bernapas karena dia menempelkan tangannya di keningku.
Sampai di depan rumahku, kak Pascal menghentikan sepeda motornya. Dia menawarkan tangannya untuk membantuku turun tetapi aku tolak. Selesai melepas helm, aku mengucapkan terimakasih sambil memberikan helm itu pada kak Pascal.Kak Pascal pun menerima helm dariku.
"Nggak mampir dulu Kak?" tanyaku menawarkan.
Kak Pascal menggeleng pelan sambil tersenyum.
"Lain kali aja Ami," tolaknya halus.
"Hati-hati pulangnya, Kak,” pesanku lagi.
Kak Pascal tersenyum kecil.
"Iya, terimakasih sudah perhatian dan traktiran baksonya juga," kata kak Pascal lagi.
"Yang traktir Sota, Kak," elakku.
"Iya, tapi kan jatah Ami yang aku embat," kata kak Pascal.
"Iya deh! Sama-sama kalau gitu," kataku mengalah.
"Yaudah, aku pulang dulu ya," pamit kak Pascal.
Aku mengangguk.
"Kak!"
Kak Pascal yang sudah bersiap tancap gas mengurungkan niatnya karena aku panggil.
"Ada apa?" tanya kak Pascal.
"Kakak bilang, kalau ada yang aku suka bilang kakak, ya kan?" kataku.
Kak Pascal mengangguk.
"Iya, udah ada?" tanya kak Pascal.
Aku menggeleng.
"Belum sih," jawabku.
"Lantas?"
"Tahapan pertama buat bisa dibilang kalau kita suka orang itu apa?" tanyaku.
Kak Pascal tersenyum.
"Di bagian otak kita terdapat yang namanya reseptor opiod yang mengatur sugesti kita untuk suka atau nggak suka pada sesuatu. Jika kamu merasa terpikat dengan seseorang karena sesuatu, tandanya kemungkinan kamu untuk menyukainya ada,” jawab kak Pascal.
"Oh gitu," kataku sambil menaik-turunkan kepalaku.
"Iya, makanya sebelum jatuh cinta, Ami harus terpikat dulu pada orang itu!" kata kak Pascal.
"Oke," sahutku.
"Yaudah, aku pulang ya! Dah Ami," pamit kak Pascal lagi.
Kak Pascal pun pergi meninggalkan aku yang hanya mampu menatap punggungnya hingga menghilang dari pandanganku.
Kak, jangan baik padaku. Gimana kalau aku terpikat dan mulai jatuh cinta sama kakak? Bagaimanapun kakak itu sumber alergiku.