BAB 7

2070 Kata
"Biarkan pengkhianat dengan pengkhianat bersama, dengan begitu kamu telah menyatukan dua orang yang sama." - Nagara Aleanata - Pagi ini aku berangkat sekolah diantar mas Atom. Masku yang tumben banget baik itu menawarkan jasanya untuk mengantarku ke sekolah dengan sukarela. Dia bilang, dia harus ketemu dengan seseorang di sekolahku jadi sekalian saja aku berangkat sama dia. Aku jadi penasaran siapa yang ditemuinya. Awalnya, aku kira Mas Atom akan bertemu dengan gebetannya. Kenyataannya, mas Atom bukan ketemu cewek tapi cowok. Udah gitu, yang ditemui nggak sembarangan. Kak Galaksi, mantan ketua OSIS SMADA. "Oi, Tom! Masih hidup?" gurau kak Galaksi begitu ketemu mas Atom. Mereka berdua berjabat tangan sambil saling melempar senyum. Akrab banget. Aku yang hanya berdiri nemenin mas Atom jadi kaget karena mas Atom bisa mengenal kak Galaksi yang terkenal cuek sama orang lain. "Hiduplah, gimana? Jadi kita main futsal nanti malam?" tanya Mas Atom. Kak Galaksi mengangguk. "Jadilah, kamu udah ngajak anak-anak yang lain?" tanya kak Galaksi. Mas Atom mengangguk kecil. "Udah, ada anak kelas XI juga mau ikutan," jawab mas Atom. "Anak kelas XI?" ulang kak Galaksi rada kaget. "Iya, nggak apa-apa kan ngajak mereka?" tanya mas Atom minta persetujuan. "Nggak apa-apa, cuma kaget aja kamu ngajak mereka, tumben," jawab kak Galaksi. "Iya, soalnya anak kelas 12 yang lain pada sibuk buat UN dan persiapan masuk perguruan tinggi," jelas mas Atom. "Kamu jadi ngambil teknik mesin di ITS?" tanya kak Galaksi sama mas Atom. "Itu pilihan kedua sih, aku maunya ngambil Fisika," jawab mas Atom. "Enak amat jadi kamu, akudengar kamu bahkan ikut jalur undangan," kata kak Galaksi. Mas Atom mengangguk mengiyakan. "Iya," jawab mas Atom. "Kamu gimana? Jadi ngambil bidik misi kedokteran di UNPAD?" Kak Galaksi tersenyum. "Jadi, doakan lulus," katanya. "Aamiin," doa mas Atom mengamini. "Kenapa sih kamu nggak ikut kedokteran aja? Kan kamu pro di sains," tanya kak Galaksi heran. "Nggaklah, minatku beda," tolak mas Atom. "Oh, ini siapa nih? Dari tadi diem aja kayak patung," tanya kak Galaksi sambil melirikku. "Ini adikku, Valenci," jawab mas Atom memperkenalkan diriku. "Adik? Kamu punya adik, Tom?" tanyanya heran. "Aish, gimana sih? Punyalah, kan aku udah pernah cerita," jawab mas Atom. "Oh, yang katamu nemu di tong s****h itu?" tanya kak Galaksi sambil tersenyum mengejek. "Ish, anak kandung ya! Mas Atom hoax tuh," sahutku nggak terima. Kak Galaksi terkekeh pelan. "Bercanda kali Valenci," katanya masih sambil ketawa. “Nggak lucu,” dengusku kesal. Kak Galaksi nggak peduli, asyik menertawaiku. "Oh, pesenanku bawa, Tom?" tanya kak Galaksi kemudian. "Bawa," kata mas Atom lalu mengambil sesuatu dari tas ranselnya. "Nih," kata mas Atom sambil nyodorin sesuatu yang dibungkus plastik. Setelah menerima barang yang entah apa isinya itu, kak Galaksi memberikan sejumlah uang sama mas Atom. "Yaudah, aku masuk dulu," pamit kak Galaksi. "Oke, thanks ya," sahut mas Atom. "Aku duluan ya Valenci yang bukan Kuantum," guraunya lalu berjalan pergi. "Ish, Mas itu apaan? Kok dibungkus plastik item gitu? Mas jualan apa?" tanyaku kepo. Mas Atom mencebikkan bibirnya. "Anak kecil nggak usah tahu! Sana masuk," suruhnya tanpa menjawab pertanyaan dariku. "Ish, Mas! Jawab dulu," rengekku. "Ogah! Masuk sana," suruh Mas Atom yang kali ini sudah bersiap untuk pergi dengan menyalakan mesin sepeda motornya. "Dah, Oon," pamitnya kemudian pergi. Aku hanya berdecak pelan dengan kelakuan masku yang menyebalkan itu. Tingkahnya aneh sehingga membuatku jadi sedikit khawatir. Benda apa yang tadi dikasih mas Atom ke kak Galaksi ya?               Aku yang merasa penasaran akhirnya memilih untuk mengejar kak Galaksi. Sempat kehilangan jejak tapi berhasil menyusul ketika aku melihat kak Galaksi tengah berjalan menuju kelasnya. "Kak," panggilku. Kak Galaksi tetep jalan, nggak denger pas aku panggil. "Kak Galaksi!!!!" teriakku nyaring hingga nggak hanya membuat kakak kelasku itu menoleh tetapi juga beberapa siswa lain. Aku setengah berlari menghampiri kak Galaksi. "Kak, tadi yang dikasih mas-ku apaan?" tanyaku pengen tahu. Kak Galaksi mengangkat satu alisnya. Heran. "Kok, pake ngasih uang? Isinya apaan? Setahuku mas Atom nggak jualan apa-apa," kataku heran. Kak Galaksi hanya menatapku datar. "Balik sana ke kelasmu, ngurusin urusan orang lain nggak baik lho, Valenci!" katanya dengan senyuman miring. Aku manyun, kecewa dengan jawaban yang diberikan kak Galaksi. "Jangan-jangan, masku ngelakuin sesuatu yang melanggar undang-undang negara ya Kak?" tuduhku. Kak Galaksi tergelak pelan. "Ngayal amat sih! Ke Mas sendiri kok nuduh gitu," decaknya lalu jalan lagi. "Ish, kakak ih! Kakak!" kataku ngejar kak Galaksi lagi. Tiba-tiba kakak kelasku itu berhenti mendadak ngebuat aku langsung ngerem biar nggak nabrak dia. "Kalau masih kepo, nanti aku cium lho," ancamnya yang langsung ngebuat aku membeku. Setelah itu, kak Galaksi masuk ke kelasnya dengan senyum kemenangan. Aku menghela napas pelan, terpaksa menyerah untuk saat ini. Aku pun mulai berjalan menuju kelasku. "Ami," panggilan itu ngebuat aku menoleh dan menatap kak Pascal yang baru aja datang. Pacarku yang masih ganteng itu membuatku nyaris lupa kalau lagi ngambek. Aku balik badan, ngejauh. "Hei, masih ngambek ya?" tanyanya yang ternyata menyusulku. Aku hanya diam, membiarkan dia yang terus berjalan di sampingku. "Ami," panggilnya lagi. Aku nggak menjawab, hanya mempercepat langkahku. Ingin kabur. "Hei." Kak Pascal menangkap lenganku hingga aku terpaksa berhenti. "Di depan jalan buntu," katanya sambil tersenyum lembut. Aku menoleh ke depan, dimana ternyata aku berjalan menuju ke arah tembok. Kalaupun berbelok, yang menyambutku adalah toilet cowok. "Jangan ngambek, dong! Pagi-pagi ketemu pacar harusnya happy, ya nggak?" katanya sambil melepas genggaman tangannya di lenganku. Aku mendesah pelan. "Habis, kakak nyebelin sih," rajukku masih BT dengan kejadian yang kemarin. "Aku kan bilang nanti, bukan nggak mau ngasih tahu," elaknya. "Tapi aku udah mau tahu," kataku merajuk. "Sabar, dong! Sama kayak proses nyari jawaban di soal Matematika. Jangan terburu-buru ingin tahu hasilnya, nikmati aja prosesnya sebagai pembelajaran agar nggak pusing saat menghadapi persoalan yang sama," nasehat kak Pascal. Aku hanya mengangguk kecil, jika aku pikir lagi bener apa yang kak Pascal bilang barusan. "Udah sarapan tadi?" tanyanya kemudian. Aku menggeleng. "Belum," "Pantesan," katanya maklum. "Eh?" Kak Pascal membuka tas ranselnya lalu menyodorkan sebungkus roti kacang padaku. "Baru beli, kok,” katanya. "Buat aku?" tanyaku. Kak Pascal mengangguk. "Iya, kalau laper, cewek suka baper," guraunya. Aku menerima roti yang kak Pascal kasih dan tak lupa mengucapkan terimakasih. "Ami, nanti aku bimbingan lagi buat persiapan lomba! Mungkin untuk seminggu ke depan, aku bakal sibuk," katanya ngasih info. "Oh," sahutku singkat. "Besok sabtu lho," katanya kemudian. "Iya, habis itu minggu," sahutku rada sewot. "Mau kencan?" ajaknya. Aku menoleh kaget ke arah kak Pascal. "Orang pacaran juga butuh kencan kan?" tanyanya dengan santai. Aku tersenyum lebar lalu mengangguk. "Betul banget," sahutku girang. "Besok malam aku jemput, mau?" tawarnya. "Banget," jawabku sambil senyum lebar. "Nice," katanya sambil mengelus rambutku pelan. "Dijemput pake sepeda motor bebek sih, nggak apa-apa?" tanyanya setengah menggodaku. "Ih, nggak apa-apa lagi. Dijemput naik sepeda ontel juga mau," sahutku. Kak Pascal tersenyum simpul. "Sip, besok aku jemput pake delman ya," katanya sambil mencubit gemas pipiku lalu pergi meninggalkanku dengan tawa yang terdengar renyah. "Aw," Tanganku reflek menampar pelan pipiku yang barusan dipegang kak Pascal. Mendadak gatal. "Ish, alergi nyebelin," dengusku sambil mulai menggaruk-garuk pipiku Aku pun segera pergi ke kelas. *** "Pagi Valenci," sapa Nagara, si bintang kelas yang suka pamer piala lomba matematika dan Fisika tiap bulan. "Apaan?" sahutku rada judes. "Wuih, masih tajam amat itu mulut," katanya rada takut dengan reaksiku. "Biarin, ada apa?" tanyaku. Nagara nggak langsung ngejawab, temen sebangkuku yang jarang masuk karena suka dispen buat lomba itu pun duduk di bangkunya. "Menurutmu, cantikan mana si Vita sama Siska?" tanyanya yang ngebuat aku nautin alis. "Hah?" "Aku lagi galau nentuin," katanya. "Nentuin apa?" tanyaku heran. "Siapa yang paling cantik dari mereka berdua," jawabnya dengan polos. "Cantikan aku kali, Ara," jawabku yang langsung disambut cibiran Nagara. "Cantikan kamu dari mana? Palestina?" sahutnya sewot. "Ish, nggak ya. Cantikan aku dari mana-mana emang," sanggahku. Nagara melengos lalu mulai ngeluarin buku-bukunya. "Mending belajar Matematika dah daripada ngomong sama kamu," gerutunya yang ngebuat aku ketawa geli karena berhasil ngerjain dia. Nagara itu, selain jenius, terkenal cuek sama cewek. Sejak SMP, aku satu sekolah mulu sama dia. Udah sering ditembak cewek termasuk sama si Delia tapi selalu Nagara tolak. Dia bilang belum mau pacaran. Tapi akhir-akhir ini, dia selalu nanyain mana yang cantik di antara Siska dan Vita. Dua-duanya adalah temen sekelasku. Nur Vita, biasa dipanggil Vita. Cewek kalem yang jarang sekali ngomong. Kalau senyum manis banget terlebih ada lesung pipit di kedua pipinya. Kulitnya rada kecokelatan tetapi entah kenapa terlihat eksotis. Anak basket. Siska Wulandari, cewek tinggi berisi yang memiliki suara tinggi yang menggemparkan. Ciri khas anak paduan suara, kalau teriak 8 oktaf. Kulitnya putih, cantik tapi entah kenapa ngebosenin kalau ditatap lama-lama. Bukan rahasia kalau dia naksir Nagara sejak awal masuk SMA. Walau nggak pernah ditanggepin karena Nagara naksirnya sama Vita. Meski Vita nggak punya perasaan pada Nagara. Cinta segitiga yang rumit. "Yuhu, morning." Sapaan cempreng disertai suara sepatu bergesekan dengan lantai itu membuatku menoleh. "Sonaly Salysta, the most beautiful girl for Anggoro is coming," imbuhnya yang membuat sebagian temen yang udah datang langsung bersorak "hu~~" pada Sota. "Ish, pada syirik aja," katanya cuek lalu duduk di bangkunya. "Eh, Nagara ganteng udah datang, belajar apa?" tanyanya. Nagara hanya menoleh sebentar ke Sota lalu nunduk lagi. "Astaga, beku aku lama-lama dengan sikap dingin ala kulkasmu, Ara," omel Sota. Aku hanya tertawa geli menanggapi reaksi Sota yang suka dibuat beku sama sikap dingin Nagara. "Tuh, lihat tuh! Kelakuannya Ara Valenci, dia nggak selamat dah! Gunung Everest banget," cerocos Sota lagi. "Biarin ah! Dia emang gitu, daripada mendadak dia berapi-api, ntar jadi fire~~~, fire~~," kataku sambil nyanyi salah satu lagu boyband Korea di akhir kalimat. Sota terkekeh pelan. "Bisa aja nih Valenci, ketularan sapa virus K-Pop?" tanya Sota heran. "Mas Atom," jawabku. "Oh My God, mas Atommu yang otaknya Fisika semua itu juga K-Poper?" tanya Sota nggak percaya. "Ho'oh, nggak main-main! Biasnya Sojin Girls Day," jawabku ngasih info. "Njir sekali, tahu aja sama yang bening," decak Sota takjub. "Emang kamu tahu Sojin yang mana?" tanyaku. Sota nyengir. "Nggak sih, aku tahunya cuma Min ah," sanggahnya. "Karena main drama?" tebakku. Sota nyengir lagi. "Tuh tahu," katanya. "Btw, siang amat datangnya Sot, masih kemana? Nganterin Anggor?" tanyaku. Sota menggangguk. "Iya, sama masih ketemu musuhmu bentar! Dia ngajak aku ngomong, sok akrab banget dah," gerutu Sota kesal. "Siapa?" tanyaku. Sota manyun. "Musuhmu ada berapa kok masih nanya?" tanya Sota BT. Aku nyengir. "Dua, sih. Ketemu yang mana?" tanyaku. "Dua-duanya," jawabnya. "Kok bisa?" tanyaku heran. "Ya kan? Apes gila tahu ketemu pasangan terkutuk itu," dengus Sota kesal. "Aih, pagi-pagi udah ngegosip, belajar aja napa," celetuk Nagara. Sota berdecak kesal. "Nggak denger, pake earphone," sahut Sota. "Dih, ngayal! Kupingmu nggak pake-pake apa-apa itu," sanggah Nagara. "Capek deh ngomong sama es batu!" balas Sota. "Lagian ya, nggak boleh ngehina orang. Cari pasangan itu emang kudu yang selevel kayak mereka. Pengkhianat emang harusnya sama pengkhianat juga. Dengan begitu, kita udah menyatukan dua orang yang sama!" ceramah Nagara sok bijak. Aku dan Sota berpandangan lalu ketawa geli. "Ish, itu mah namanya kamu ngehina juga, Ara," kata Sota. "Nggak ya, cuma ngasih tahu fakta," sanggah Nagara. Aku dan Sota kemudian cekikikan. Sementara Nagara ngelanjutin belajarnya. Nagara itu sudah tahu cerita tentang pengkhianatan antara mantan pacar dan mantan sahabatku dulu. Walau sebenarnya Nagara kenal baik dengan mantan pacarku itu. Satu olimpiade dulu. Meski soal otak, Nagara tentu yang nomer satu. Anak kesayangan guru emang beda. "Oh ya, besok ada acara, Val?" tanya Sota. "Kenapa?" tanyaku balik. "Mau ngajak jalan," jawabnya. "Hah? Si Anggor kemana?" tanyaku. "Ada pertandingan basket, jadi nggak bisa jalan. Kamu nggak keluar kan?" Aku menggeleng. “Aku keluar,” "Hah?" seru Sota kaget. "Aku diajak kak Pascal keluar kencan besok," jelasku. "Ish, pengkhianat!" dengus Sota kecewa. "Aih, biarkan aku menikmati malming, dong! Emang kamu pikir kamu doang yang mau malmingan?" omelku. Sota memutar bola matanya malas. "Iya, iya, selamat bersenang-senang dah," kata Sota mengalah. "Nagara, kamu apelin aku aja ya,” rengek Sota. Mata Nagara terbeliak sempurna lalu bibirnya rada maju. "Sampe dunia musnah, aku ogah ngapelin kamu," sahut Nagara ganas. "Ish, awas! Kalau dunia belum musnah dan kamu naksir aku," ancam Sota. Nagara mendecih pelan. "Ngarep," balasnya yang ngebuat Sota hampir meledak. "Udah, Sot! Udah!" leraiku. Sota mengepalkan tinjunya. "Kalau aja nggak suka nyontek ke kamu, udah aku tenggelemin kamu di rawa-rawa," dengus Sota kesal. Nagara cuek. Nggak peduli. "Udah ngocehnya? Bentar lagi bel, siapin bukumu! Bentar lagi ada kuis Fisika," kata Nagara yang langsung ngebuat aku dan Sota ngejerit panik. "a***y, kenapa nggak bilang sih?" "Ya Tuhan, bukuku mana?" Begitulah, kemudian aku bener-bener menghadapi kuis Fisika dengan otak ngehank. Lupa kalau ada kuis dan semalem nggak belajar. s**l.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN