Amel duduk gelisah di atas sofa. Ke dua tangannya saling bertaut, memainkan jari-jari efek dari rasa takut. Please, Amel paham betul betapa galak sosok ibu dari Hang. Jika Hang termasuk dalam kategori menakutkan, induknya memang sesuai ekspektasi. Lebih-lebih seribu kali.
“Pak..” cicit Amel pelan. Mereka sedang menunggu kedatangan Ibu Hang yang sedang melakukan sambungan telepon.
“Bapak!” panggil Amel sekali lagi karena Hang tidak menanggapi dirinya.
“Hem..”
“Pak.. Lihat saya dulu dong.” Pinta Amel. Ia tidak habis pikir kenapa Hang bisa sangat santai di situasi rawan— Ya, meski hanya untuk dirinya sih. Kan bisa saja nanti kena pecat, terus jadi miskin beneran after membuat skandal dengan sang bos.
Hang mematikan ponsel melalui tombol di samping kanan ponselnya. Ia lantas menatap Amel, menegaskan bahwa dirinya saat ini memberikan atensi pada sang sekretaris. “Ada apa? Kamu mau kita balik ke kamar?” tanya Hang santai membuat Amel mengepalkan jari-jarinya karena rasa haus ingin mencekik batang leher Hang.
“Biasa aja Mel.. Saya mencoba mencairkan suasana. Kamu pikir saya nggak takut sama Ibu saya?!” – ‘Ya, emang enggak, nyatanya bisa santai gitu,’ batin Amel dalam hati sembari berdecih.
“Saya takut. Semenjak Bapak saya yang bule itu meninggal, Ibu saya jadi tambah galak. Kayanya karena kurang pelepasan. Dia sih saya suruh nikah lagi nggak ma..” ucapan Hang terputus saat pukulan tangan mendarat mulus di kepala bagian belakangnya.
“Bibir kamu jangan sampai ibu jahit ya, Hang. Kamu sudah tua! Bisa-bisanya kamu bersikap non formal di depan sekretaris kamu.” Amuk Sukma, Ibu Hang.
Hang tersenyum hangat sebelum berdiri untuk membantu sang Ibu duduk. “Kan calon istri Hang, Buk. Nggak papa sekarang non formal.” Ujar Hang sukses membuat Amel berteriak untuk mengatakan penolakkannya.
“Yang sopan kamu Amel! Nggak biasanya kamu bar-bar begini.” Cela Sukma membuat Amel gugup lalu meminta maaf.
Hang terkekeh. Ia mengatakan jika memang Amel pada aslinya sangat tidak sopan. Wanita itu bahkan selalu membuat emosi Hang naik ke ubun-ubun Karena selalu saja membuat kesalahan di kantor. Tentu saja hal itu cukup menarik perhatian Suka.
“Ya kalau dia suka bikin kamu emosi kenapa kamu jadiin istri?! Terus maksud kalian apa mau buat m***m pagi-pagi?” sarkas sukma membuat Amel kembali tersadar akan alasan mengapa ia dipanggil untuk sidang dadakkan.
“Ibu besar, itu.. Itu salah paham.” Terang Amel takut-takut. “Saya tadi nggak bermaksud liatin bapak telanjang, Bu.” Sepasang mata sukma langsung memicing,merasa ambigu dengan penjelasan Amel.
“Jadi gimana maksud kamu ada di kamar anak saya terus dia telanjang?!” tuntut Sukma seolah ia adalah Jaksa Penuntut umum di persidangan.
“Itu.. An-nu..”
“Kita tadi mau buatin Rara adek, Bu.” Sambar Hang membuat rahang Sukma dan Amel turun dengan bibir terbuka.
Hang lalu tertawa. Merasa pemandangan di hadapannya cukup lucu. Jarang-jarang dia bisa melihat sang ibu yang kaku seperti sekarang ini. “Hang bercanda, Bu.” Ucap Hang langsung mendapat cubitan maut dari Sukma.
Sukma sempat berdehem sekali sebelum menyampaikan keberatannya jika harus memiliki menantu yang jauh lebih muda dari diri sang anak. Mendengar itu tentu saja Amel merasa sangat lega. Dalam hati ia bersyukur jika Sukma menyatakan penolakkan.
“Bu.. Hang sudah nyicil malem pertama semalam.”
“BAPAK!” jerit Amel merasa aibnya tengah di bongkar.
“Sek-sek (Sebentar-sebentar), maksud kamu apa Hang? Bapakmu di kuburan bisa bangkit ini.” Sukma menatap Hang. Banyak emosi yang ia pendam karena memikirkan kenakalan anaknya yang sudah tidak lagi ABG itu.
“Intinya Hang mau menikahi Amel, Bu. Kan ibu sendiri yang minta mantu. Ini Hang bawain. Paket lengkap sama calon cucu kalau yang semalam berhasil.” Setelahnya Hang mengaduh karena beberapa kali pukulan Sukma layangkan ke butuh sekalnya.
Amel menyandarkan diri saking lemasnya. Ia mengingat-ingat dosa apa yang telah ia lakukan di masa silam sehingga kesialan selalu turut serta dalam perjalanan hidupnya. Amel rasa ia akan benar-benar menjadi penghuni rumah sakit jiwa dalam beberapa bulan ke depan.
“Heh Amel! Ibu harus apa?” Amel mengerjap saat Sukma bertanya padanya.
“Ibu harus apa Mel? Ibu kemarin udah jododin laki-laki tua ini sama anak temen ibu.”— Ya Tuhan, dia juga nggak tahu harus apa, pikir Amel.
“Gimana kalau kita lupain aja Bu?” saran Amel. Ia masih kekeuh tidak mau memiliki hubungan lain selain bos dan karyawan dengan Hang.
“Lupain gimana Mel?” seluruh perhatian kini tercurah pada Amel seorang.
“Kita pura-pura nggak ada yang terjadi Bu. Saya janji akan mengabdikan diri tanpa membuka rahasia saya sama Pak Hang, Bu.” Sukma nampak berpikir sedangkan Hang berdecih.
“Saya yang nggak bisa. Bu, Hang sudah kepala empat. Ibu jangan begini. Ibu mau Hang main-main terus sama anak-anak muda? Hang kan butuh istri Bu.”
“Tapi bukan Amel,Hang!”
“Tapi bukan saya, Pak!” Ujar Amel dan Sukma bersamaan. Mereka seakan tengah berkoalisi dan Amel merasa posisinya akan sangat aman karena mendapat dukungan dari Sukma.
“Tapi saya maunya Amel.” Amel bergidik ngeri. Dia seperti remaja yang tengah dikejar-kejar oleh bandot tua pengincar perawan desa karena sebuah hutang berbunga.
“Hii.. Bapak saya nggak mau Pak. Bapak itu cocoknya jadi papah saya, bukan suami. Pak taubat ya, Pak. Bapak nikah sama model yang body-nya semlohay aja Pak.”saran Amel. “Mereka pasti bisa buat bahagiain Bapak. Saya kan bisanya bikin bapak naik darah. Nanti bapak mati cepet loh.” Rayu Amel dengan segala cara meski ia jelas tak pandai.
“Ya, Pak ya?!”
Hang menggelengkan kepala. “Saya nggak mau Mel.” Jawabnya membuat Sukma memijit pelipis. Kepalanya cukup berdenyut. Ia seolah tengah dipaksa kembali pada kelakuan ajaib Hang kala muda.
“Eh, mau aja ya pak ya?!” Hang menggelengkan kepala lagi.
“Pak, sama saya itu nggak enak loh. Saya kalau tidur dengkur, saya nggak bisa masak. Kalau kerja salah terus. Bapak nanti nggak bisa bahagia.” Semua keburukan yang ia tahu, ia paparkan agar Hang merubah keinginannya.
“Tapi kamu selalu bisa buat bantuin saya, Rara sama Resti.”
“Eh, itu kan karena saya di bayar buat itu Pak.” Jujur Amel mengutarakan loyalitasnya karena telah di bayar.
“Saya butuh yang udah deket sama anak-anak.”
Sukma masih terus mengamati. Ia menunggu balasan Amel atas pernyataan anaknya.
“Saya kan nggak deket Pak.” – ‘masih menolak. Wanita tangguh,’ batin Sukma menilai diri Amel. “Jadi lupain aja ya Pak. Bapak sama pacar-pacar Bapak aja. Mereka pasti seneng kalau mau dinikahi. Saya bantuin urusin deh Pak. Bapak mau yang mana? Mbak Iren? Sintia? Djimaria yang cina cantik itu?” tawar Amel sekuat tenaga mencoba menyelamatkan dirinya sendiri.
“Saya maunya kamu.” Lirih Hang.
“Kenapa?” tanya Suka ingin tahu kenapa naknya kekeuh walaupun Amel telah menolak terang-terangan.
“Hang nggak bisa lupa Bu. Habis Amel beda sama pacar-pacar Hang kalau di ranjang.”
PLAK!!
“Kamu sudah bangkotan masih saja m***m,Hang. Sudah! Nikahin Amel secepetnya. Putusin itu cabe-cabean kamu! Ibu malu sama temen arisan Ibu!”
Mata Amel berkaca-kaca. Sejenak ia mencoba mencerna ucapan Sukma dalam otaknya. ‘Jadi rayuan pulau kelapa gue, gagal ya?!’