“Ra, kamu ke mana aja sih? Aku panik banget tahu nggak nungguin kamu dari tadi.” Sita menyambut kedatangan Nara dengan heboh. Diletakkannya gelas berisi air dingin ke atas meja kemudian mengiringi Nara yang berjalan meletakkan barang-barangnya.
“Maaf, Ta. Tadi aku ke tukang pijat dulu.” Nara menjawab lirih. Penat sekali tubuhnya. Punggung Nara ingin cepat-cepat bersentuhan dengan kasur empuk Sita.
“Apa? Tukang pijat? Sama siapa?” tanya Sita makin heboh. Tukang pijat mana yang menerima pasien malam-malam?
Nara terdiam sejenak. Kemudian menjawab sembari berusaha santai semampu yang dia bisa. Nara terus merasa bersalah setiap kali Sita bertanya seperti ini. Lagi pula, kenapa dia terus berurusan dengan bos nya itu?
“Uhm, sama Bude Rina. Tadi Bude datang ke apartemen dan langsung ngajak aku ke tukang pijat. Ini aja habis dari tukang pijat langsung mampir ke apartemen kamu, Ta,” kata Nara menjelaskan sambil memposisikan diri di atas sofa.
“Terus, sekarang Bude Rina nya mana? Nggak kamu ajak ke sini sekalian?” Sita ikut memposisikan diri di samping Nara.
“Enggak. Kata Bude dia harus segera pulang malam ini juga. Ada urusan besok, katanya.” Sekarang Nara harus menyeret Bude Rina dalam kebohongannya. Maafkan Nara ya, Bude.
Sita berohria sembari menganggukkan kepalanya. “Sekarang gimana? Udah mendingan berarti ya kaki kamu sekarang?” Nara mengangguk. “Kamu sudah makan belum, Ra?” tanya Sita lagi.
“Sudah, Ta. Tadi aku mampir makan malam dulu sama Bude. Kamu sendiri gimana?” Nara berbalik tanya.
Sita menghela napas pelan. Kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Patah hati seperti ini, memangnya siapa yang akan memiliki keinginan untuk makan? Syukur-syukur sekarang Sita masih memiliki keinginan untuk bernapas. Ditinggal menikah oleh Kemal membuat Sita begitu patah hati.
“Belum. Aku nggak nafsu makan, Ra,” kata Sita lirih. Tak ada semangat sedikit pun di sana.
Nara ikut menghela napas saat mendengar jawaban Sita. “Ta, kamu harus makan. Bukannya kamu pernah bilang ‘Kita harus tetap makan supaya bisa move on lalu hidup dengan bahagia’ saat aku bercerai dengan Herdian dulu.” Nara mengingatkan.
Sita tak menjawab. Wanita itu malah terisak sembari menyandarkan kepalanya di bahu Nara. Sita sudah lupa dengan gagasan yang pernah diucapkannya pada Nara dulu.
“Sekarang kamu makan ya, Ta. Aku masakin atau mau pesan di luar aja?”
Sita terdiam. Rasa perih di perutnya semakin terasa, wanita itu benar-benar kelaparan. Sedari tadi pagi dia belum mengisi perutnya dengan makanan.
“Kalau gitu, aku mau mie ayam komplit sama martabak manis. Topping nya cokelat kacang. Jumbo ya, Ra.” Sita mengusap pipinya. Nara terkekeh.
“Mau sekalian order boba juga nggak?” Nara menawari. Boba adalah minuman kesukaan Sita.
Sita menatap Nara penuh arti. “Nanti aku gendutan, Ra. Kamu gimana sih?” sungutnya, namun sedetik kemudian. “Ya udah kalau gitu. Boba nya juga ... yang reguler aja,” kata Sita menimpali.
Nara tertawa geli mendengar penuturan Sita. “Katanya tadi nggak nafsu makan dan takut gendutan. Tapi pesanannya banyak banget. Ya udah nih, aku pesanin dulu. Mana handphone kamu?” tanya Nara.
“Handphone kamu mana?” Sita merogoh celana tidurnya, meraih handphone yang dia simpan di dalam sana.
“Kamu lupa? Aku habis kecopetan, Ta.”
Sita menepuk pelan jidatnya. “Astaga, aku lupa! Pantesan dari tadi aku telepon kamu nggak bisa-bisa. Sorry ya, Ra,” balas Sita sembari memberikan handphonenya pada Nara.
Sigap, Nara membuka aplikasi daring yang biasa ia gunakan untuk delivery makanan. Dengan cekatan tangannya meng-klik makanan apa saja yang diinginkan oleh Sita kemudian memesannya.
“Nih, handphone kamu. Aku mau mandi dulu ya.” Nara menyerahkan kembali handphone Sita kemudian berjalan ke kamar mandi.
Nyatanya, setelah menjadi seorang janda tanpa anak. Nara cukup sering menginap di apartemen Sita ataupun sebaliknya. Keduanya menganggap apartemen masing-masing sebagai rumah sendiri. Bahkan pakaian Nara ada di apartemen Sita. Dan begitu juga sebaliknya.
***
“Loh, Ra. Kamu nggak pesan untuk kamu?” Sita melongo saat mendapati makanan hanya ada satu porsi cukup untuknya.
“Enggak, Ta. Aku udah kenyang habis makan malam sama Pa ... Bude Rina.”
Nara terkesiap karena ulahnya sendiri. Untung saja dia tidak keceplosan mengatakan sudah makan malam bersama Damar kepada Sita. Dan beruntungnya, Sita juga tidak menyadari karena keasyikan mengambil foto makanannya. Kebiasaan yang selalu Sita lakukan sebelum melakukan sesuatu yang menurutnya bersejarah.
Lima menit lagi kalian akan mendapati hasil foto tersebut terposting di sosial media Stargram Sita. Setelah memotret hingga puluhan kali, lalu memilih satu foto yang paling bagus, kemudian mengeditnya terlebih dulu hingga akhirnya dia posting dengan caption puitis yang dia comot dari google. Nara sudah hafal bagaimana siklusnya berjalan.
“Ya sudah, aku makan dulu ya.” Sita langsung melahap mie ayam komplit miliknya setelah selesai dengan urusan foto memfoto.
“Makan pelan-pelan, Ta. Nanti kamu tersedak.” Nara mengingatkan.
Sita mengangguk pelan. “Habisnya mie ayam ini enak banget, Ra. Ya ampun, untung tadi kamu maksa aku untuk makan.” Sita menjawab dengan mie ayam memenuhi mulutnya.
“Astaga! Makan dulu baru ngomong. Jadi berhamburan ke mana-mana ‘kan kuah mie ayamnya!” Nara memekik dan refleks menjauh dari Sita. Nara baru saja mandi dan dia tidak ingin mengotori piyamanya dengan kuah mie ayam yang langsung disembur dari mulut Sita.
Sementara di suatu tempat yang lain. Damar baru saja selesai membersihkan diri dan sekarang dia mendatangi Kalia di kamarnya. Putri kecilnya itu menyambut kedatangan Damar dengan antusias. Matanya melirik ke arah tangan Damar yang memegang sebuah buku dongeng kesukaannya.
“Papa,” seru Kalia sumringah. Deretan giginya yang rapi dan bersih menghiasi senyumnya.
“Hai, Princess. Papa datang membawakan buku dongeng yang baru.” Damar tersenyum sembari memperlihatkan buku dongeng yang dia beli tadi siang kepada Kalia.
“Oh ya? Wah ... Kalia senang sekali.” Gadis kecil itu bertepuk tangan. Wajahnya berseri-seri karena bahagia.
Damar duduk di atas kursi di sisi ranjang Kalia. Senyumannya masih setia bertengger di sana. Dengan perlahan Damar membuka lembar pertama buku dongeng tersebut kemudian membacanya untuk Kalia.
Kalia membetulkan posisi agar dia bisa mendengarkan cerita dongeng dari ayahnya dengan nyaman. Judul dongeng hari ini adalah ‘Aladin dan lampu ajaib’. Setiap malam Damar tidak pernah absen membacakan dongeng sebelum tidur untuk putrinya. Hal itu sudah Damar lakukan sejak dua tahun yang lalu dan telah menjadi kebiasaan baru untuknya. Kalia sendiri akan merasa sulit tidur jika Damar tidak membacakan dongeng-dongeng tersebut sebelum tidurnya.
Detik berganti menit, Damar membaca baris kalimat dari buku dongeng itu dengan senang hati. Diliriknya sang anak sudah mulai mengantuk. Mata kecilnya sebentar terbuka, sebentar tertutup. Hingga Kalia tidak bisa menahan rasa kantuknya lagi. Bocah perempuan itu pun terlelap dengan nyaman di bawah selimutnya yang hangat.
Damar tersenyum lebar. Menutup buku dongeng itu kemudian mendaratkan sebuah kecupan hangat di kening Kalia. “Good night, My Princess,” ucapnya.
Damar beranjak dari duduknya. Mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur berbentuk bulan purnama sebagai gantinya. Damar meletakkan buku dongeng yang belum habis dia baca di deretan buku dongeng lainnya. Keluar dari kamar putri kecilnya itu, melangkah menuju kamar tidurnya.
Damar tidak langsung naik ke atas ranjang. Pria itu lebih memilih duduk di atas sofa yang ada di dalam kamarnya sembari memainkan ponsel miliknya. Kedua matanya menangkap sebuah forum yang selama ini dia abaikan. Tanpa berpikir panjang, Damar membuka forum alumni itu.
Damar terus men-scroll postingan-postingan yang tercantum di forum itu. Tidak ada yang khusus. Hanya beberapa cuitan dari para alumni yang menanyakan kabar dan cuitan lainnya adalah postingan tentang reuni.
Bicara tentang reuni, tidak sekalipun Damar pernah menghadirinya. Damar tidak pernah memberikan jawaban setiap kali teman semasa sekolahnya menanyakan apakah dia akan datang atau tidak. Dan Damar juga tidak pernah aktif di forum itu. Tapi malam ini, jemari tangannya bergerak lincah di atas layar benda pipih itu dan menuliskan sesuatu di beranda forum.
Apa kabar kalian semua?
Sontak, postingan perdana dari Damar membuat gempar seluruh alumni di angkatannya. Hanya dalam hitungan menit, sudah ada seratus komentar yang terkumpul. Damar membaca komentar itu satu per satu kemudian membalasnya semampu yang dia bisa.
Astaga Damar, ke mana aja lo?
Komentar dari Ardi.
Kabar baik. Lo sendiri gimana kabarnya?
Komentar dari Caleb.
Masih hidup lo, Dam?
Komentar dari Dave.
Hai, Dam. Masih inget gue nggak?
Komentar dari Daniela.
Widih ... si Damar baru nongol. Gue pikir lo udah pindah ke mars.
Komentar dari Haikal dan berhasil membuat Damar terkekeh.
Dan masih banyak lagi komentar lainnya. Damar sampai lupa waktu dan tenggelam dalam keseruannya berbagi kabar dengan teman-teman alumninya itu. Hingga tak terasa jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Damar menutup forum alumni kemudian mengunci handphonenya. Kedua matanya sudah tidak bisa diajak berkompromi untuk tetap terbuka. Damar sangat mengantuk dan ingin tidur secepatnya.
Damar membuka langkah menuju ranjang. Kemudian mendaratkan tubuhnya di atas kasur yang empuk itu. Pikiran Damar tiba-tiba menerawang. Damar mendadak memikirkan Nara. Fase yang selalu terjadi pada saat orang jatuh cinta. Bayangan wajah Nara yang cantik, serta senyumannya yang indah. Hal itu terus terbayang dan memenuhi isi kepala Damar.
Faktanya, setelah Kania meninggal dunia bertahun-tahun yang lalu. Damar baru bisa membuka hatinya untuk wanita lain. Dan wanita itu tidak lain adalah Nara—karyawannya sendiri. Dan sekarang, Damar telah memantapkan hatinya untuk mendapatkan Nara. Syukur-syukur dia berhasil meluluhkan hati wanita itu dan hubungan mereka berjalan dengan lancar. Memikirkannya saja sudah membuat Damar merasa berdebar.
“Sesulit apapun itu dan sebesar apapun usaha yang diperlukan. Aku yakin bisa membuat kamu jadi milikku, Genara,” gumam Damar begitu yakin.