Nara membuka pintu unit apartemennya dengan lesu. Langkahnya sedikit gontai saat masuk ke dalam. Diletakkannya tas beserta botol madu murni yang diberikan Damar di atas meja. Kemudian mendudukkan dirinya di atas sofa yang cukup nyaman dan empuk itu.
Nara menatap botol madu yang sedari tadi sukses membuatnya bertanya-tanya. Kenapa Damar melakukan hal seperti itu? Kalau dipikir lagi, Damar sering kali terlibat ketika dia mengalami masalah. Namun pria itu selalu berdalih, mengatakan jika hal tersebut dia lakukan sebagai bentuk perhatian seorang atasan kepada karyawannya. Tapi, jika saja Sita yang mengalami masalah itu, apakah Damar juga akan bersikap demikian pada Sita?
“Hhh, aku sama sekali nggak merasa nyaman dengan sikap Pak Damar.” Nara menghela napas berat. Diliriknya jam yang menempel di dinding. Hampir pukul 19.00 sekarang.
Nara beranjak dari duduknya. Wanita itu bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sekujur tubuhnya terasa gerah sekali. Terlebih kulit wajahnya yang sudah berteriak ingin dibersihkan.
Nara melucuti helai demi helai pakaian yang membalut tubuhnya. Mengekspos setiap inci kulit tubuhnya yang putih bersih dan begitu mulus. Tinggal seorang diri seperti ini, membuat Nara bebas melakukan apa pun dan bertingkah seperti apa pun. Tidak ada yang menegurnya ataupun melarangnya.
Tidak ada bathtub di dalam kamar mandi Nara. Hanya ada shower dan bak mandi berukuran minimalis. Semenjak bercerai dengan Herdian, kehidupan Nara dapat dibilang berubah drastis. Tidak ada lagi fasilitas mewah dalam kesehariannya. Meski begitu, Nara sangat bersyukur dan menikmati apa yang dia miliki sekarang.
“My God! Ini sangat menyegarkan,” guman Nara saat sekujur tubuhnya dihujani oleh air dingin yang mengucur deras dari shower.
Selesai membersihkan diri dan memakai piyama, Nara berjalan santai menuju dapur yang tidak seberapa luas itu. Nara membuka lemari pendingin dan menatap bahan-bahan yang tersimpan rapi di dalam sana. Tidak ada banyak yang tersisa, hanya beberapa telur, tomat dan kol. Nara pun mengambil ketiga bahan itu. Membersihkannya dengan air mengalir, memotongnya, kemudian mencampur semua bahan sekaligus.
“Entah akan jadi apa makanan ini nanti,” kata Nara sembari terkekeh. Tak habis pikir dengan ulahnya sendiri.
Nara menggoreng telur dadar tomat dan kol dengan riang gembira. Nara seolah melupakan kakinya yang sakit. Wanita itu terus bersenandung lagu gembira.
“Selamat makan, Genara!” serunya saat makanan telah selesai dihidangkan.
Nara mencondongkan wajahnya mendekat ke arah telur dadar tomat dan kol buatannya. Aromanya begitu enak. Nara yakin rasanya juga pasti akan sangat lezat.
---
Tidak ada banyak hal yang bisa Nara lakukan saat malam seperti ini. Usai makan malam sederhana tadi, Nara memutuskan untuk segera tidur. Nara bukan tipikal wanita yang senang menonton drama kemudian terhanyut dalam setiap adegannya. Sejak dulu Nara lebih memilih untuk membaca buku alih-alih menonton drama.
Nara naik ke atas kasur kemudian menyembunyikan bagian bawah tubuhnya di balik selimut. Malam ini cukup dingin. Nara tidak ingin mengambil risiko akan terserang flu besok hari.
Meski Nara berniat segera tidur, namun kedua matanya menolak untuk terpejam. Kepalanya mendadak memikirkan Herdian. Pria itu. Mantan suami yang telah memberikan talak tiga untuknya.
“Dia pasti bahagia dengan pasangan barunya sekarang. Semoga mereka cepat mendapatkan momongan.”
Nara memang wanita yang baik hati. Layaknya cinderella yang tetap baik meskipun ibu dan saudara tirinya begitu jahat. Nara juga tetap mendoakan Herdian meski pria itu telah mematahkan hatinya dan menoreh luka yang sangat dalam untuknya. Tidak selamanya kejahatan harus dibalas dengan kejahatan pula. Biarkan Tuhan yang menghukum Herdian dan juga ibunya.
Bicara tentang Herdian dan ibunya. Terakhir kali Nara bertemu kedua orang itu adalah saat sidang di Pengadilan Agama. Nara ingat betul betapa angkuh tatapan mereka kala itu. Terlebih Herdian, pria itu dengan bangga menunjukkan jika dia merasa—seperti—terbebas karena telah bercerai dengan Nara.
Nara juga masih ingat betapa sakit hatinya saat keluar dari ruang persidangan. Hingga saat ini—meski berbulan-bulan telah berlalu—rasa sakit itu masih sangat jelas Nara rasakan. Hatinya terasa sangat perih setiap kali kejadian itu terputar dalam kepalanya.
“Sudahlah Nara ... untuk apa kamu terus mengingat Mas Herdian? Dia adalah orang yang pernah hidup di masa lalu kamu. Dan sekarang, kamu jalani saja kehidupan dengan benar tanpa melihat ke belakang lagi.”
Nara berusaha menguatkan dirinya sendiri. Meski orang bilang lebih mudah berbicara daripada melakukannya. Tapi Nara percaya, bahwa dia akan mampu melewati semua rasa sakit itu dan hidup baik-baik saja hingga beberapa puluh tahun kemudian.
Ding! Dong!
Nara mendengar suara bel di depan sana. Segera dia turun dari atas ranjang dan melangkah dengan perlahan menuju pintu utama. Siapa yang bertamu malam-malam begini?
“Ya? Siapa?” Nara membukakan pintu.
“Bude?” seru Nara sedikit terkejut melihat Bude Rina berdiri di hadapannya.
Bude Rina tersenyum lebar. “Hai...,” balasnya begitu senang.
Nara mempersilakan Bude Rina masuk ke dalam. Dengan langkah sedikit pincang, Nara mengimbangi langkah Bude Rina yang berjalan menuju sofa. Kemudian ikut mendudukkan diri di samping wanita paruh baya itu.
“Bagaimana kaki kamu?” Bude Rina memeriksa pergelangan kaki Nara. “Maaf ya, Bude baru bisa kunjungin kamu.” lanjutnya lagi.
Nara tersenyum lebar. “Gak apa-apa, Bude. Lagi pula pergelangan kaki Nara sudah baikan kok. Sudah dipijat juga ke tukang pijat,” sahut Nara menjelaskan.
“Oh ya? Syukurlah kalau begitu.” Bude Rina menghela napas lega. Dia merasa sangat khawatir saat mendapat kabar dari Nara malam itu melalui handphone Sita.
Bude Rina mengeluarkan beberapa toples yang dia simpan di dalam paper bag. Toples-toples itu berisi makanan yang sengaja dia siapkan untuk Nara saat sebelum berangkat kemari tadi. Bude Rina tahu jika di dalam kulkas Nara tidak ada apa-apa. Maka dari itu dia menyiapkan makanan yang bisa Nara hangatkan saat ingin memakannya nanti.
“Ini, simpan di kulkas. Tidak banyak tapi bisa tahan untuk dua hari. Jadi kamu tidak perlu memasak lagi, cukup panaskan saja makanan-makanan ini,” seru Bude Rina pada Nara.
Nara menghamburkan diri memeluk Bude Rina. “Nara sayang Bude! Sayang banget banget banget,” serunya dengan nada sangat manja.
Bude Rina membalas pelukan Nara. “Kamu ‘kan anak perempuan Bude satu-satunya yang paling Bude sayangi. Hal-hal seperti ini bukan masalah besar,” jawab Bude Rina sembari mengusap puncak kepala Nara dengan begitu lembut.
Bude Rina selalu tahu bagaimana cara memperlakukan Nara dan membuat wanita itu tidak merasa kesepian sejak dulu. Tepat setelah ibu Nara meninggal dunia, Bude Rina bertekad dan berjanji akan menjaga Nara dan tidak akan pernah membiarkan Nara merasa kesepian.
***
“Tidur, Nak. Sekarang sudah malam, besok ‘kan kamu harus kerja.” Bude Rina membuka kedua matanya kemudian membalik tubuhnya ke samping berhadapan dengan Nara. Dia tahu jika sedari tadi Nara terus memperhatikannya.
Nara terkekeh pelan. “Nara nggak bisa tidur, Bude,” sahutnya jujur.
“Kenapa? Ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu?” Bude Rina sudah sangat hafal jika Nara tidak bisa tidur adalah karena sesuatu berhasil mengganggu pikirannya.
Nara bergeming. Tidak menjawab sepatah kata pun atas kalimat Bude Rina. Tatapannnya semakin dalam dan intens.
“Kamu masih memikirkan pria itu?” tembak Bude Rina. Siapa lagi memangnya yang bisa mengganggu pikiran Nara selain Herdian—mantan suaminya yang kurang ajar di mata Bude Rina.
Nara menunduk. “Rasanya sulit sekali melupakan kejadian itu, Bude. Padahal Nara sudah berusaha melupakannya. Tapi tetap nggak bisa,” lirihnya sendu.
Bude Rina tersenyum simpul. “Nak ... semakin kamu berusaha melupakan, maka semakin kamu terus memikirkan hal itu. Dan sampai kapan pun kamu tidak akan pernah lupa dengan kejadian itu, kecuali kamu mendadak amnesia. Yang harus Nara lakukan adalah melupakan rasa sakit dari pengkhianat itu dan melupakan perasaan kamu kepada Herdian. Bude yakin kamu pasti bisa,” tuturnya panjang lebar. Tangannya terulur mengusap dengan lembut pipi Nara.
Kedua mata Nara berbinar. Merasa terharu dengan kalimat panjang lebar dari Bude Rina barusan. Nara merasa mendapat suntikan semangat hanya dengan mendengar kalimat itu. Jika Bude Rina saja sangat yakin Nara bisa, kenapa dirinya sendiri tidak percaya?
“Nara sayang Bude.” Wanita itu menghamburkan diri memeluk sang Bude. Dibalas pelukan hangat oleh wanita paruh baya itu dengan memberikan pelukan yang sama untuknya.
“Sekarang kita tidur, ya? Bude ngantuk,” ucap Bude Rina. Nara mengangguk kemudian mengurai pelukan mereka.
“Selamat malam, Bude. Tidur yang nyenyak dan semoga mimpi indah,” kata Nara begitu lembut.
“Selamat malam, anakku. Tidur yang nyenyak dan semoga mimpi indah ya,” balas Bude Rina dengan kalimat serupa.
Nara memejamkan kedua matanya. Mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya yang terasa sangat lelah sekali. Wanita itu mencoba masuk ke dalam dunia mimpi—yang mungkin saja lebih indah dari apa yang terjadi di kehidupan nyata. Hanya satu hal yang Nara harapkan, semoga dia tidak memimpikan Herdian ataupun ibunya. Karena bagi Nara, mereka berdua adalah mimpi buruk yang nyata.
Nara sudah terlelap. Tapi tidak dengan Bude Rina. Wanita paruh baya itu sibuk menatap wajah Nara—keponakannya. Ada segelintir rasa sakit yang ia rasakan di hatinya saat menatap wajah Nara yang tengah terlelap. Bude Rina merasa betapa Nara masih terjebak dalam rasa sakit akibat pengkhianatan mantan suaminya itu. Herdian sangat jahat. Begitu pula dengan ibunya, wanita itu sepuluh kali lipat lebih jahat dibanding Herdian.
“Bagaimana kalian begitu tega menyakiti Nara setelah apa yang dia lakukan untuk keluarga kalian selama ini? Nara ku yang malang....” Air mata menetes di kedua sudut mata Bude Rina. Hatinya sakit sekali.
“Kamu pasti sangat menderita. Kamu pasti merasa sangat kesakitan.” Bude Rina semakin tak kuasa. Dia tidak dapat menahan diri.
Perlahan, tangan kiri Bude Rina terulur untuk menyibak helaian rambut Nara yang menutupi sedikit wajahnya. Menyisipkannya ke sela telinga kemudian mengusap puncak kepala wanita itu dengan sangat lembut. Sebisa mungkin Bude Rina menahan suara tangisnya agar tidak pecah keluar. Semakin ia menatap Nara, semakin hatinya tercabik-cabik.
Memang selama ini Bude Rina tidak pernah menampakkan kesedihannya di depan Nara. Dia tidak ingin membebani keponakannya itu dengan menunjukkan rasa sedihnya. Bude Rina hanya selalu menunjukkan senyum bahagia dan mengatakan beberapa kalimat positif untuk memberikan semangat pada Nara. Padahal jauh di lubuk hati terdalamnya, dia merasa sangat sedih atas apa yang terjadi pada Nara.
“Bude doakan semoga kamu hidup bahagia dan menemukan pasangan yang akan menerima kamu apa adanya,” ucap Bude Rina tulus dari hati terdalam.