Sejak sepuluh menit yang lalu, Nara duduk di passenger seat di samping Damar. Mobil SUV berwarna hitam itu melaju dengan cukup cepat menuju galeri tempat diadakannya pameran perdana Ammar—adik sepupu Damar. Nara cukup menikmati perjalanan ini. Dia sama sekali tidak menunjukkan keterpaksaan di raut wajahnya. Seolah-olah dia—memang juga—menginginkan kencan dadakan ini bersama Damar.
Nara nampak begitu tenang. Wanita itu sangat cantik dengan balutan dress sederhana berwarna merah yang nampak menyala di kulitnya yang putih bersih. Matanya menatap lurus ke depan. Tidak ada yang tahu jika saat ini dia sedang sibuk mengalihkan pikirannya untuk tidak menatap ke samping kanan—menatap Damar yang sialnya begitu gagah sore ini.
Nara masih terbawa rasa gugupnya karena Damar. Saat Nara berjalan keluar dari gedung apartemen sepuluh menit yang lalu, ternyata Damar sudah menunggunya dan memberikan senyum yang begitu hangat untuknya. Tidak tanggung-tanggung, Damar bahkan membukakan pintu mobil untuk Nara. Siapa coba yang tidak akan merasa gugup jika diperlakukan seperti itu? Damar sangat tampan. Penampilannya begitu menawan. Nara juga masih manusia, sudah pasti dia akan merasa terpesona.
Sementara di posisinya, Damar juga tidak begitu tenang. Seolah ada magnet yang terpasang di sisi kiri mobilnya, yang mendorongnya untuk ingin terus menoleh ke sana. Tentu saja tidak ada magnet yang terpasang di sana. Hanya ada Nara yang begitu cantik duduk dengan tenang tanpa bicara sepatah kata pun sejak dia masuk ke mobil ini. Damar sampai harus menarik napas dengan dalam untuk tetap menjaga kewarasannya.
“Kenapa Bapak tidak pernah bertanya?” Nara tiba-tiba membuka suara.
“Ya? Bertanya apa?” Damar tidak tahu ke mana arah topik pembicaraan ini. Nara tiba-tiba melontarkan pertanyaan setelah bungkam cukup lama. Dan itu membingungkan.
“Saya yakin Bapak bukannya tidak tahu tentang status saya. Mereka yang mendekati saya, biasanya selalu bertanya kenapa saya bercerai.” Nara menatap ke samping kanan. Matanya bertemu dengan mata Damar yang jelas menunjukkan kebingungan. Berita perceraiannya dengan Herdian sudah menjadi konsumsi karyawan seantero perusahaan.
Sekarang Damar tahu ke mana arah pembicaraan ini. Nara menyinggung tentang para pria yang mempertanyakan statusnya sebagai seorang janda. Tentu saja Damar ingin tahu. Tapi dia tidak selancang itu untuk bertanya alasan kenapa Nara bercerai dengan mantan suaminya.
“Jadi, mereka selalu menanyai kamu tentang hal itu?” Pantas saja semua ditolak mentah-mentah oleh Nara. Belum apa-apa mereka sudah lancang mengorek luka seseorang.
Nara tidak menjawab, dia hanya menatap Damar semakin dalam dan intens.
“Tapi saya tidak akan bertanya. Saya tidak tahu hal apa yang kamu lalui dulu. Saya tidak ingin mengorek sesuatu yang mungkin saja itu adalah luka untuk kamu.” Damar yakin jawabannya begini sudah benar. Setidaknya dia tidak akan menjadi pria bodoh berikutnya yang menanyai Nara tentang masa lalunya. Jika mereka memang ditakdirkan, Damar percaya Nara akan memberi tahunya jika dia sudah siap nanti.
Nara tertegun mendengar jawaban Damar barusan. Niat hatinya bertanya seperti ini karena dia cukup yakin jika Damar akan menjawab ‘Jadi, kenapa kalian bercerai? Apa suamimu berselingkuh?’ dan lain sebagainya. Jika saja Damar menjawab seperti itu, maka Nara akan memasukkan Damar ke dalam daftar hitam untuk bergabung bersama dengan Adrian dan yang lainnya. Dan Nara tidak harus lagi berurusan dengan atasannya itu.
Tapi sialnya jawaban Damar cukup membuat Nara merasa puas. Tidak karena pria itu menjawab dengan kalimat yang membuatnya merasa ilfil. Tetapi karena jawaban Damar menunjukkan bagaimana pria itu sebenarnya adalah orang yang menghargai privasi orang lain.
“Jadi, bisa kita ganti topik pembicaraan ini? Jujur, saya merasa sedikit aneh karena kamu membicarakan ini.” Damar menatap Nara di sela fokusnya mengemudi.
Nara menganggukkan kepalanya dengan pelan. Kalau saja Damar menjawab sesuai dengan apa yang Nara pikirkan. Mungkin pembicaraan ini tidak berubah canggung seperti ini. Nara kehilangan muka sekaligus kehilangan antusiasnya dalam satu pukulan.
“Hmmm, sepanjang jalan kamu diam saja dan kemudian tiba-tiba menanyai saya soal tadi. Saya harap kamu melakukan hal itu bukan karena kamu bosan dan merasa terpaksa ikut saya pergi ke pameran, Genara,” kata Damar setelah Nara setuju untuk mengganti topik pembicaraan.
“Ya ... memang sebenarnya saya terpaksa ikut Bapak. Karena Bude saya terlanjur mengatakan saya akan ikut dengan Bapak. Saya sampai harus merelakan waktu istirahat saya demi menjaga nama baik Bude saya.” Nara menjawab jujur apa adanya.
Damar membelalakkan mata dan spontan menatap ke samping kirinya. “Kamu, terlalu blakblakan juga ternyata,” sahut Damar diiringi suara kekehan yang cukup pelan.
“Lebih baik jujur ‘kan? Daripada saya harus berpura-pura seolah hal ini bukan apa-apa padahal saya cukup jengkel....” Menemani Damar pergi ke pameran bukan salah satu dari job desc Nara sebagai karyawan. Bagi Nara, hal ini menjengkelkan.
Kekehan Damar semakin keras karena jawaban Nara tadi. Baru kali ini ada seseorang yang jengkel dan merasa terpaksa saat Damar mengajaknya berkencan. Dan baru kali ini pula ada seseorang yang begitu berterus terang mengutarakan pikirannya dan tidak sungkan mengatakan jika dia merasa jengkel kepada Damar.
“Kenapa Bapak tertawa?” Nara mengernyitkan keningnya.
“Tidak, saya hanya merasa lucu dengan sikap blakblakan kamu. Bagaimana kamu mengatakan bahwa kamu cukup jengkel. Itu sangat lucu!” Damar masih tertawa. Dia sampai memegangi perutnya karena rasa geli yang tidak tertahankan.
Melihat Damar tertawa begitu lepas, membuat Nara ikut tertawa juga. Istilah orang-orang sekarang, ketawa Damar menular! Perjalanan yang tadinya begitu canggung dan hening, langsung berubah dalam sekejap. Damar menatap ke samping kiri dan mendapati Nara ikut tertawa bersamanya. Membuatnya semakin terkikik, begitu pun dengan Nara.
Mereka yang tadinya saling diam, sekarang saling melempar tawa. Damar tidak tahu kenapa Nara sekarang ikut tertawa. Yang jelas karena hal tersebut Damar semakin tidak bisa menghentikan tawa nya.
***
Damar dan Nara berjalan bersisian masuk ke dalam galeri. Kedatangan mereka disambut oleh seorang pria yang wajahnya cukup mirip dengan Damar. Di mana Nara meyakini jika pria itu adalah kerabat dekat Damar. Sebelumnya Damar tidak mengatakan apa pun soal pameran ini. Damar tidak memberi tahu Nara jika mereka menghadiri pameran perdana Ammar yang merupakan adik sepupunya.
“Mas Damar, aku pikir Mas nggak akan datang,” sapa seorang pria yang perawakannya sedikit lebih tinggi dari Damar.
“Tadinya Mas juga nggak mau datang.” Seperti kata Arni, Damar harus melihat langsung mahakarya Ammar agar dia bisa mempercayai kemampuan adik sepupunya itu.
“Tapi, Mas ada di sini ‘kan? Itu yang lebih penting.” Ammar menyunggingkan kedua sudut bibirnya. Detik kemudian, matanya melirik ke arah Nara yang berdiri tepat di samping kakak sepupunya itu.
Paham dengan tatapan Ammar, lantas Damar pun memperkenalkan Nara kepadanya. Damar sudah mengajak wanita itu datang kemari. Tidak sopan jika tidak mengenalkan mereka, bukan?
“Perkenalkan, dia Genara,” kata Damar pada adik sepupunya.
Merasa namanya disebutkan, Nara pun mengulurkan tangannya pada Ammar. Tidak lupa senyum paling manis dia berikan pada pria di hadapannya itu.
“Genara....”
“Ammar....”
Setelah merasa cukup berkenalan, keduanya pun saling melepaskan jabatan tangan. Ammar langsung menyeret Damar menjauh dari Nara. Dia sudah tidak tahan ingin bertanya siapakah wanita yang baru saja berkenalan dengannya ini? Kenapa Damar mengajaknya datang ke pameran? Apakah wanita itu ada hubungan spesial dengan Damar? Dan masih banyak pertanyaan lagi bermunculan di kepala Ammar saat itu juga.
“Astaga, kamu ini kenapa sih? Genara pasti mikir yang bukan-bukan nanti,” desis Damar ketika Ammar melepaskan tangannya. Jarak mereka dengan Nara sudah cukup jauh. Wanita itu dijamin tidak akan bisa mendengar obrolan mereka.
“Jadi, dia siapanya Mas Damar?” tanya Ammar tak sabar. Wajahnya begitu antusias menunggu jawaban Damar.
“Dia Genara. Kalian tadi sudah berkenalan, ‘kan?” jawab Damar lugas.
“Shhh, Ammar tahu. Maksud Ammar, dia siapanya Mas Damar?” ulang Ammar memperjelas kalimatnya. Padahal dia cukup yakin jika Damar paham dengan maksud pertanyaan sebelumnya.
“Bukan siapa-siapa. Hanya teman.”
Ammar menyipitkan kedua matanya. Menatap Damar dengan penuh curiga dan tak percaya.
“Aku tahu Mas Damar. Mas itu bukan tipikal pria yang akan mengajak sembarang orang ke acara seperti ini. Dia pasti bukan sekedar teman, ‘kan?” cecar Ammar.
“Kamu ini sok tahu. Memang ada apa dengan acara ini? Bukannya ini adalah acara pameran biasa?” Damar sengaja mengatakan hal itu, dia ingin membuat Ammar merasa jengkel.
“Hoi... hoi... hoi... coba lihat sekeliling Mas. Apakah seperti ini bisa dikatakan acara pameran biasa?” Ammar merentangkan kedua tangannya dengan bangga. Meminta Damar untuk menyapu pandangan ke seluruh penjuru galeri. Bagaimana Damar bisa mengatakan acara mewah ini sebagai acara pameran biasa?
Damar mencibirkan bibirnya. “Sudahlah. Mas mau samperin Genara dulu. Dia pasti tambah jengkel kalau kelamaan ditinggal.”
“What? Tambah jengkel? Jangan-jangan Mas paksa dia untuk datang bersama kemari?” Ammar mengimbangi langkah Damar.
“Kamu jangan sembarangan bicara, ya!” desis Damar sembari menyipitkan kedua matanya menatap Ammar. Jengkel sekali dia dengan adik sepupunya itu. Seolah dia adalah peramal. Bisa-bisanya kalimat Ammar begitu valid! Kan Damar jadi kesal!
Sekarang Damar sudah berdiri di samping Nara. Sementara Ammar kembali ke tempat seharusnya.
“Pak, saya mau lihat-lihat. Boleh?” Nara sudah menunggu Damar kembali sejak tadi. Karena sudah terlanjur datang kemari. Maka Nara harus menikmati waktunya dengan sebaik mungkin.
“Sure! Saya juga akan melihat-lihat.” Damar membuka langkahnya. Mengekori langkah Nara yang tidak seberapa lebar.
Nara begitu menikmati setiap lukisan yang terpajang di dinding galeri. Ekspresinya menunjukkan betapa senang dan bahagianya dia untuk setiap lukisan-lukisan itu. Namun ada satu lukisan yang membuat Nara berdiri cukup lama hanya untuk memandangnya. Seolah dia dapat merasakan emosi yang dituangkan oleh sang pelukis. Nara mendadak emosional.
“Hei, ada apa?” Damar memberanikan diri untuk menipiskan jaraknya dengan Nara. Wanita itu hampir menjatuhkan air mata yang mendadak menggenang di kedua pelupuk matanya.
Nara menggeleng pelan. Kedua tangannya berusaha menahan air mata agar tidak jatuh pada tempatnya. Nara mengalihkan suasana dengan memaksakan kedua sudut bibirnya tersungging ke atas.
“Astaga, Genara. Apa yang kamu tangisi? Apa lukisan ini sangat bagus sampai kamu harus menangis seperti ini?” Damar mengulurkan tangan untuk mengusap kedua ekor mata Nara yang basah.
Nara mengangguk tanpa ragu. Membuat Damar langsung tercengang detik itu juga. Itu ‘kan lukisan Ammar!
“Seriously? Lukisan ini sangat bagus sampai membuat kamu menangis haru begini?”
Untuk kedua kalinya, Nara mengangguk tanpa ragu. Dia bahkan menjawab, “Lukisan ini membuat saya seolah pernah hidup di tempat yang ada dalam lukisan itu. Dan sekarang saya merasa rindu dengan tempat itu.”
Bravo! Damar kehabisan kata karena ini.
“Tapi, bagaimana bisa? Tempat di dalam lukisan itu tidak ada. Tempat itu tidak nyata, Genara.”
“Itulah karya seni, Pak. Keindahannya mampu membuat kita merasa tempat itu seolah ada dan nyata.” Nara tersenyum lebar. Meraih tangan Damar yang sedari tadi enggan lepas dari pipinya. Menurunkannya, kemudian melanjutkan perjalanan untuk melihat karya seni yang lain.
Damar menatap lekat lukisan Ammar sekali lagi. Berusaha untuk merasakan emosi yang dituangkan oleh sang pelukis melalui lukisannya seperti yang dikatakan oleh Nara tadi. Tapi, bagaimanapun dia mencoba, Damar sama sekali tidak bisa!
“Apa karena lukisan ini adalah milik Ammar? Makanya aku sama sekali tidak bisa merasakan emosinya?” Monolog Damar sembari membuka langkah. Damar masih tidak setuju dengan keinginan Ammar yang ingin menjadi seorang seniman. Dia masih bersikukuh meminta adik sepupunya itu melanjutkan studi kedokterannya.
***
Nara merasa kakinya sangat pegal akibat berdiri terlalu lama di acara pameran tadi. Tanpa ragu Nara melepaskan sepatu hak tinggi itu ketika mereka sudah di perjalanan menuju restoran. Tepat saat mereka keluar dari galeri, Damar mengajak Nara untuk makan malam dulu sebelum pulang.
Damar melirik ke samping kiri dan mendapati Nara memukul pelan kakinya. Damar tersenyum tipis, kemudian memfokuskan kembali tatapannya ke depan. Damar tidak ingin mengambil risiko menabrak mobil di depan atau menabrak pembatas jalan karena terlena menatap Nara yang begitu cantik luar biasa.
Dua puluh menit kemudian mereka tiba di restoran. Ketika Nara hendak memasang kembali sepatu hak tinggi di kedua kakinya, Damar bersuara.
“Apa tidak masalah kalau kamu memakainya lagi?”
“Kalau tidak pakai, masa saya nyeker, Pak. Emang Bapak gak malu?”
“Saya tidak mengatakan kamu harus nyeker loh. Jangan dipakai lagi nanti kaki kamu tambah sakit.”
Damar bergegas turun dari mobilnya kemudian berjalan mengitari kendaraan roda empat itu. Berhenti di pintu sebelah kiri kemudian membukanya.
“Biar saya gendong kamu sampai ke dalam,” ujar Damar lagi.
Nara membelalakkan mata. “Hah? Pak Damar bilang apa?” tanyanya syok.