Meja 13

1902 Kata
Ina tidak percaya pada takhayul, apalagi soal angka tiga belas. Tapi hari ini, duduk di meja tiga belas kafetaria rumah sakit yang cukup ramai seperti membiarkan waktu menggantung di udara sore yang masih basah sisa hujan tadi, Ina merasa ada yang tidak beres dengan feeling-nya. Sesuatu yang bukan soal angka. Tapi Ina tidak tahu apa, apa karena dia akan menghadapi operasi Papanya besok? Baru saja setengah jam lalu ia keluar dari ruang praktik Dr. Dhannis Azde Mahendra, montir pesawat yang dikenalnya dua hari yang lalu, yang kini tiba - tiba sudah menyulap dirinya menjadi dokter muda yang terlalu tampan macam artis drakor, dengan hati berdebar dan pipi masih panas karena entah kenapa, Ina merasa percakapan mereka tadi terasa lebih dekat dibanding pertemuan pertama mereka. atau mungkin hanya perasaannya saja? Ia bahkan sempat tersenyum - senyum sendiri setelah memesan nasi ayam rica di kafetaria ini, kebetulan sudah lama juga ia tidak makan masakan Manado. Tapi sekarang Ina malah memikirkan soal Dhannis, apakah mungkin ia akan punya pacar seorang pria introvert? Ina sampai menggelengkan kepalanya untuk membuatnya sadar keadaan kalau pria introvert yang ia pikirkan itu tidak tertarik sama sekali pada dirinya, bahkan cenderung judes. Tapi dibuku psikologi yang pernah Ina baca, yang dilakukan Dhannis itu adalah tanda - tanda orang yang sedang mempertahankan diri untuk tidak tertarik, eh apa itu artinya dia sebenarnya tertarik? Ckk .. Ina pusing sendiri dengan pikiran yang seliweran di kepalanya, bukannya memikirkan papanya yang sakit malah sibuk mengurusi pria introvert, aneh! Makanan pesanan Ina datang, "Terimakasih," ucap Ina pada pramusaji yang membawa makanan dan minumannya, masih dengan senyum yang tersisa dari sesi mengkhayalnya tadi. Tapi senyumnya itu mendadak beku ketika melihat ke arah pintu masuk kafetaria, ia melihat ada sosok tinggi berseragam dokter itu masuk, Dhannis datang bersama seorang wanita! Bukan pasien, tapi sesama dokter, karena mereka memakai jas yang sama. Wanita itu terlihat cantik, anggun, rambut terikat rapi. Cara berjalannya tenang tapi penuh percaya diri. Dan, oh Tuhan, mereka berjalan terlalu dekat, terlalu ... serasi, Ina mendadak gelisah. Ina memilih menyesap es jeruknya dulu.. Ina kini hanya menunduk, ia memilih untuk pura - pura menekuni makanannya yang baru datang itu. Tapi detak jantungnya yang berdetak tak karuan membuat gerak sendoknya kikuk. Tangan kirinya bergetar tanpa permisi, dan nafsu makannya mendadak hilang entah kemana. Apakah Itu istrinya? batin Ina mulai galau. Jangan bilang itu ... istri Dhannis. Pikiran Ina sulit diajak kompromi, kemungkinan buruk keluar dari sana. Ia menahan napas saat dua orang itu duduk di meja sebelahnya, kenapa disebelahnya, sih? masih banyak meja yang kosong lainnya. Posisi mereka cukup dekat untuk mendengar, dan untuk didengar. Ina sedikit memutar posisi tubuhnya supaya Dhannis tidak melihat wajahnya, dengan bantuan rambutnya yang digerai, iya yakin wajahnya tidak akan terlihat. Ina juga yakin Dhannis tidak akan ingat dengan outfit yang dipakainya tadi, ia terlalu cuek unuk mengingat ciri - ciri seseorang.. Dari tempat duduknya, suara Dhannis terdengar jelas, bahkan terlalu jelas. "Kamu mau makan apa?" tanyanya pada si wanita dengan nada akrab yang membuat bulu kuduk Ina berdiri. Ina tidak pernah mendengar Dhannis bertanya selembut itu, dari sejak awal perkenalan mereka dua hari yang lalu sampai ia menjadi pasiennya. "Aku udah makan di rumah. Tadi sempat masak tomyam," jawab si wanita. Ina tidak tahu siapa namanya, tapi suaranya lembut, santai, penuh rasa memiliki, mungkin ia punya rasa, punya hak atas Dhannis. Dan seperti disambar petir di siang bolong, Ina tersadar. Ini bukan perasaan. Ini bukan khayalan. Ini kenyataan. Dhannis, pria yang selama ini ia kira pendiam, misterius, tak tersentuh dan yang paling penting available, ternyata sudah punya seseorang. Walau belum tahu wanita itu siapanya Dhannis, tapi waktu masuk tadi Ina bisa melihat mereka sangat serasi, belum lagi obrolan mereka yang ringan tadi kok terdengar mesra? Sial! umpat Ina dalam hati, panas. Ina menyesal, bukan hanya karena terlalu berharap, tapi karena membiarkan dirinya sekali ini saja percaya pada imajinasi recehnya yang berkhayal kalau Dhannis bisa jadi pacarnya. Bisa - bisanya dia membayangkan Dhannis jadi pacar pertamanya, menjadi orang pertama yang membuatnya ingin membuka hati setelah semua kekacauan yang terjadi di masa lalu, setelah kehancuran yang dibawa perempuan bernama Tante Yasmin, wanita yang merusak rumah tangga orang tuanya dan mengajari Ina arti pengkhianatan pertama. Napasnya tercekat saat mendengar Dhannis hendak ke wastafel, mendengar kursinya digeser tanda ia sedang berdiri. Ina langsung melihat ke arah washtafel yang berada disisi kanannya, tidak terlalu dekat tapi jalurnya melewati meja tiga belas, mejanya. Ina menunduk, menatap makanannya yang masih utuh, ia berharap Dhannis tidak akan menyapanya. Tapi tentu saja, harapannya terlalu naif. Langkah itu berhenti, persis di depannya. Lalu terdengar suara yang terlalu tenang untuk hati Ina yang sedang kacau. "Eh, masih di rumah sakit?" sapanya, sok kasual, sok asik, sangat berbeda dengan setengah jam yang lalu. Cara menyapa Dhannis seolah mereka teman lama yang sering bertukar kabar. Ina mendongak menatapnya. Tapi mata itu, ada sesuatu di dalamnya. Guratan paham. Seakan Dhannis sadar betul perasaan Ina, dan sengaja mengaduknya. Ina memaksakan senyum cengengesan. Topeng yang selama ini cukup berhasil menutupi luka, kembali ia pakai. "Iya, kan katanya harus rileks, jadi ke sini dulu, nongkrong cantik sambil makan enak. Mau pulang ... tapi masih hujan," jawabnya asal. Bohong. Hujan sudah reda sejak tadi, dan Ina tidak benar - benar punya tempat untuk pulang. Ia hanya di rumah sakit ini saja untuk menunggui Papanya, menunggu luka lama reda, menunggu dunia berhenti mengejeknya. "Sendiri?" "Mmm. Iya." Lalu keluar pertanyaan itu. Pertanyaan yang seharusnya ia telan saja bersama nasi dan ayam rica yang kini terlihat pucat dan tidak menarik lagi. "Udah selesai praktik ya ... datang sama siapa, dok?" tanyanya sambil melirik wanita di meja sebelah, wanita yang datang bersama Dhannis tadi, yang kini terlihat sedang menelepon, membelakangi mereka. Dhannis ikut melirik, lalu menjawab dengan suara lirih. "Itu ... istri saya." Deg. Dunia Ina berhenti. Bukan karena suaranya pelan. Tapi karena artinya terlalu jelas, terlalu dalam. Istri. Pria introvert dihadpannya ini ternyata sudah menikah. Dan kenyataan itu menghantam Ina seperti badai, typhoon, tsunami atau apalah itu. Tapi tak ada peringatan, tak ada tanda, hanya pukulan telak yang membuat napasnya tercekat dan jantungnya seperti kehilangan irama. "Eh ... kamu sudah ... uhm maksudnya, dokter sudah menikah?" tanyanya lirih, tak percaya dan berubah formal. Dhannis hanya mengangguk kecil sambil tersenyum tipis melihat perubahan Ina, sepertinya ia berhasil, "Saya mau ke toilet dulu," pamitnya lalu ia pergi ke arah wastafel yang memang berada di sebelah pintu toilet. Dhannis pergi seolah tak sadar bahwa baru saja ia menghancurkan dunia seseorang yang diam - diam menjadikan dirinya harapan. Ina mematung. Yang paling menyakitkan dari sebuah pengakuan bukanlah kata - katanya, melainkan momen setelahnya, ketika d**a terasa sesak, mulut tercekat, dan semua kemungkinan yang pernah dibangun, walau sebatas khayalan, runtuh dalam sekejap. Ayam rica yang tadi ia pikir lezat, kini seperti sisa makanan basi. Tangannya mencengkeram pinggiran meja. Ia ingin marah, ingin menangis, ingin berteriak ... tapi semua emosi itu membeku, menggumpal di tenggorokan. Ia menatap punggung Dhannis yang ternyata tidak hanya ke wastafel untuk cuci tangan, melainkan masuk ke dalam toilet. Bodoh. Bodoh banget, Ina! hardiknya pada diri sendiri. Kenapa kamu bisa berkhayal berharap pada seseorang yang bahkan tak pernah menjanjikan apa pun? Kenal saja belum lama. Dia suami orang, Na! Jangan pernah main - main dengan suami orang! Ingat itu! Kamu bukan Tante Yasmin. Kamu bukan perempuan perusak rumah tangga orang! Jangan jadi wanita seperti itu! Ina berdiri walau kakinya bergetar, tapi ia paksa untuk melangkah mantap menuju kasir. Ia harus pergi sekarang juga. Sebelum Dhannis kembali dan melihat matanya yang mungkin akan basah, sebelum semua luka lama yang baru saja dijahit robek kembali. Ia membayar makanan yang bahkan tak disentuhnya, lalu berjalan keluar tanpa menoleh. Malam ini bukan hanya soal kecewa karena seseorang ternyata telah dimiliki orang lain. Tapi tentang trauma lama yang kembali menjelma. Tentang seorang anak yang pernah melihat ayahnya memilih perempuan lain. Tentang perasaan kalah, rendah, dan hina yang kembali datang menyelinap saat seseorang yang ia sukai ternyata... sudah menjadi milik orang lain. Dan mungkin yang paling menyakitkan adalah, Ia belum sempat benar - benar mengenalnya ... tapi sudah harus melupakannya. * Ketika Dhannis kembali ke mejanya, ia hanya menatap kursi kosong di sampingnya dan tersenyum miring. "Hilang," gumamnya pelan. "Hah?" Yuke menoleh sambil meletakkan ponselnya karena baru saja selesai menelepon, "Apa yang hilang, Dhan?" "Nggak, tadi ada pasienku duduk di sana, kelihatan masih sakit," jawab Dhannis lalu duduk lagi di kursinya. Yuke menoleh ke arah meja yang ditunjuk Dhannis barusan, hanya ada piring yang isinya tampak masih utuh dan es jeruk yang mungkin sudah diminum sedikit, tapi orangnya sudah tak ada. "Ini rumah sakit, Dhan. Wajar kalau semua orang di sini kelihatan sakit, walau makanannya seperti belum dimakan, mungkin dia sedang merasa sangat sakit makanya pergi buru - buru." Dhannis hanya tertawa terpaksa mendengar analisa Yuke yang seperti menjelaskan keadaan Ina saat ini. Tapi matanya masih menatap kursi kosong itu. Kursi yang beberapa menit lalu tanpa ia tahu sudah menyimpan harapan kecil yang kini telah ia patahkan dengan sempurna. "Iya sih." "Pasien kamu baru konsul tadi banget?" tanya Yuke. "Iya." "Sepertinya kamu perhatian banget sama pasiennya." "Nggak, cuma tadi pas lihat dia aja, kan baru aku periksa beberapa waktu yang lalu," bantah Dhannis cepat. Dhnnis bisa bilang begitu, tapi Yuke merasa ada yang berbeda, ia yang sudah satu tahun selalu memberi perhatian saja sering dianggap tidak ada, masa sama pasien yang hanya sesekali bertemu dia ada perhatian? Sayangnya Yuke tidak memperhatikan orang yang duduk di meja sebelah tadi, ia juga malas menanyakan secara detail pada Dhannis. * Tidak jauh dari tempat duduk Dhannis dan Yuke sekarang, Ina tengah berdiri di depan lift dengan mata berkaca - kaca. Debar jantungnya masih belum tenang, berdebar cepat. Tapi ia harus tetap berdiri, harus kuat. Malam ini, ia harus menjaga Papanya yang akan dioperasi besok pagi. Ina menarik nafas dalam, lalu membuangnya perlahan sambil istighfar. Ini yang sering iya lakukan kalau sedang gundah gulanah, dan biasanya berhasil membuatnya sedikit tenang. Ketika pintu lift terbuka, Ina pun melangkah masuk, tapi ada seorang pria menyusul masuk di belakang Ina, dan Ina mengenalinya, ia adalah dokter yang menangani Papanya. "Selamat malam, Dok," ucap Ina, mencoba tersenyum walau wajahnya jelas terlihat ada kesedihan. Dokter itu menoleh, bingung sesaat walau mencoba ramah. "Saya anak Pak Windra, pasien dokter," ucap Ina. Ina berani menyapanya karena tadi pagi ia sudah bertemu dengan dokter ini ketika sedang visit papanya di ruangannya. "Oh, ya .. ya, ikut jaga di sini, ya?" tanyanya yang sudah pasti basa -basi.. "Iya. Papa nggak mau ditinggal, dok," jawab Ina lalu tersenyum. Dokter Awika mengangguk sambil tersenyum ramah. "Pak Windra beruntung punya anak perempuan seperti kamu." Andai Papa tahu, barusan aku merasa sebodoh itu karena sudah jatuh cinta sepihak dengan dokter di rumah sakit ini, jelas saja Papa saya bukanlah orang yang beruntung, dok. 'Ting' Pintu lift terbuka. "Mari dok, saya turun duluan," pamit Ina. "Ya silahkan." Ina melangkah keluar, menuju kamar rawat dengan langkah pelan. Ini memang menyakitkan. Baru sebatas khayalan saja ia bisa sesakit ini rasanya, bagaimana kalau ia benar - benar pacaran sama Dhannis? Bisa - bisa patah hati guling - guling dan ketemu dengan psikiaternya lagi di Sigapore dengan keluhan stres dengan penyebab yang berbeda. Ina tidak mau, dia sudah lama terbebas dari obat untuk menekan depresinya, dan tidak mau mengorbankan lagi dirinya dengan hal - hal seperti ini. Setidaknya ia tahu lebih cepat kalau Dhannis pria introvert yang dikenalnya dua hari yang lalu bukanlah calon pacar yang ada dalam khayalannya, dan tidak akan pernah jadi miliknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN