Macam Hantu

2121 Kata
Gawat! Pikiran Dhannis hari ini benar - benar kacau. Bukan karena pasien, bukan karena shift malam, dan bukan juga karena hasil rapat koordinasi rumah sakit. Semua gara - gara satu orang, perempuan cerewet, sok akrab, dan terlalu banyak bicara yang dikenalnya minggu lalu, si Ina Ina itu! Segala hal hari ini, entah kenapa, terus - menerus memicu memori tentang gadis itu. Mulai dari si kembar Maira dan Maura yang menghampirinya pagi tadi sambil ribut soal oleh - oleh, yang langsung mengingatkan Dhannis pada momen mengesalkan saat Ina menabraknya di bandara dan membuat oleh - oleh itu jatuh berserakan di lantai. Sialnya, bukannya minta maaf, Ina malah membuat perdebatan kecil yang sukses membuatnya emosi, sama sekali tidak membangun first impression yang baik. Belum habis perkara itu, Papanya, abang Shaka dan Om Demian tiba - tiba mengirimkan kurir kecil untuk memanggilnya. Pembicaraan tidak terlalu serius, tapi dengan tatapan yang seolah - olah bilang 'penting nih' yang bikin Dhannis curiga. dan benar saja, ujung - ujungnya cuma mau mengenalkannya pada anak kolega abang yang kebetulan Papanya juga kenal, konon katanya gadis itu cantik, putih, pintar, dan kalem. Tapi entah kenapa, begitu kata 'pintar' keluar, yang muncul di kepala Dhannis justru suara cempreng Ina waktu mengomentari buku yang ia baca. Dia tidak tahu apa Ina itu pintar atau tidak, yang dia tahu Ina cerewet tapi wawasannya luas. Sekarang, Dhannis duduk di teras rumah Popa, bersama mama Dea yang dengan tenang menyesap teh, lalu melemparkan pertanyaan yang bikin Dhannis ingin kabur saja ke ruang IGD. "Masa nggak ada sih, Mas?" tanya mama Dea sambil menatap lembut, tapi menyelidik. "Mama rasa di rumah sakit juga banyak teman sejawat yang masih available. Nggak kepengen coba pendekatan? Siapa tahu ada yang cocok. Orang itu kalau dari pandangan pertama nggak ada kesan apa - apa, biasanya setelah ngobrol panjang lebar bakal tahu ada keetertarikan atau nggak, kalau ngomongnya nyambung biasanya bisa lanjut, mas." Dhannis tidak langsung menjawab. Kalau pertanyaan itu datang dari orang lain selain mamanya, mungkin sudah ia jawab ketus. Tapi ini mamanya, mana berani. Waktu tadi ditanya sama abang Shaka saja, dengan cepat dan tegas dia menjawab tidak mau, padahal di depan papanya juga. Sialnya, sebelum ia bisa mengalihkan topik "Jodohku" itu, Popa mendadak muncul dari dalam rumah sambil membawa semangka dingin, sepertinya baru diambil dari kulkas. "Ngobrolin apa nih?" tanya Popa sambil mengambil duduk disalah satu sofa dekat Dhannis. Popa dengan rasa ingin tahu khasnya yang tidak pernah menua, mungkin itu juga resep sukses popa tidak pikun di usia tua. "Ini, aku lagi nanya sama Mas Dhannis soal jodoh, Dad," sahut mama Dea sambil tersenyum. Popa tertawa, lalu meletakkan semangka yang dibawanya tadi di meja. "Kenapa jodohnya mas Dhannis? Emangnya mas Dhannis ini udah tua apa gimana sampe ditanyain soal jodohnya segala?" "Ya, belum bisa dibilang tua juga, tapi kan sudah bisa ditanyain, umur dewasa, sudah punya pekerjaan tetap, kayaknya sih pantes - pantes aja ditanyain," jawab Mama Dea. "Terus masalahnya apa? " "Sekarang kan tinggal Mas Dhannis yang belum nikah, Dad. Adek udah, Mas Dharren juga udah. Masa dia enggak kepengen? Aku bilang tadi, teman sejawatnya banyak, mas Dhannis ganteng, profesi dokter, masa enggak ada yang naksir?" Popa melirik Dhannis dengan gaya khasnya yang santai. "Jangan dokter lagi deh, Mas. Nggak bosen apa?" Mama Dea melotot kecil. "Dad!" Dhannis justru nyengir. Untuk pertama kalinya hari ini, ia merasa dapat bala bantuan dari Popa, jarang - jarang nih, pikirnya. "Tuh, Ma. Kata Popa, bosen dokter melulu." Mama Dea menghela napas. "Mama sih nggak masalah Mas Dhannis mau nikah sama siapa. Mau profesinya apa, mau kerja atau nggak juga terserah, yang penting dimulai dan serius. Tapi Mas Dhannis tuh, nggak kelihatan kayak orang yang niat cari pendamping. Itu yang bikin Mama khawatir." "Yang pertama, mas Dhannis suka cewek apa cowok?" sahut Popa menyela pembicaraan mama Dea dan Dhannis. Dhannis langsung melotot mendengar pertanyaan popanya. "Aku masih normal popa, ya jelas aja aku mau sama cewek." "Bagus berarti masih ada keinginan punya istri," ucap Popa seperti sudah menebar jebakan yang diinjak oleh cucunya itu. "Kedua, jangan - jangan mas Dhannis penganut jodoh lewat taaruf?" celetuk Popa lagi sambil menyuap potongan semangka, gayanya santai, padahal cucunya sudah sibuk menata perasaan supaya bersabar. Dhannis bahkan hampir tersedak udara, pertanyaan popanya dari tadi aneh - aneh. "Yang bener aja, Popa! Masih zaman ya yang gitu? Nggak masuk akalku sama sekali." "Justru zaman sekarang makin banyak, loh yang taaruf nggak mau pacaran." "Aku nggak bisa." " Kalau enggak mau dicomblangin, enggak mau taaruf, ya cari sendiri dong. Jangan sampe Popa turun tangan, masa Popa harus cari jalur ordal di kahyangan minta bidadari turun buat jodoh mas Dhannis?" Kali ini Dhannis tertawa. Obrolan dengan Popa selalu seperti ini. Serius tapi nyaris bercanda, kadang bikin bingung harus merespons pakai logika atau lelucon. Tapi itulah Popa, cara khasnya menunjukkan perhatian. "Nanti bikin repot kalau dia minta pulang kampung pas lebaran, Popa." "Nah itu tau, makanya cari manusia aja yang kampungnya masih bisa dijangkau mobil atau pesawat, Mas. Itu Mas Darren dulu sama Disti ldr-an sampai Timur Tengah, tapi akhirnya juga nikah dan tinggal di sini. Cinta mah dicari, bukan ditunggu di ruang praktek atau lobi rumah sakit." Mama Dea mengangguk pelan. "Ya udah deh, Mama enggak maksa. Tapi Mama cuma enggak mau Mas Dhannis kesepian aja." Dhannis menghela napas, ia sekarangg sudah kesepian sejak mas Dharren menikah sebenarnya, tapi ia enggan mengakui. Rasanya kepala Dhannis saat ini sedang penuh - penuhnya, tapi bukan karena pusing. Lebih karena ia jadi beban pikiran orang tuanya dan ... si berisik Ina. Bodohnya, dalam percakapan sepanjang ini, nama gadis itu tak pernah disebut, tapi siluetnya terus menari di kepala. Wajahnya yang terlalu ekspresif, gaya bicaranya yang tidak bisa pelan, dan matanya yang ... selalu seperti sedang marah, tapi entah kenapa justru itu yang membuat Dhannis ingin melihatnya lagi. "Maunya yang kayak apa sih, Mas?" tanya Popa tiba - tiba, kembali menyeretnya ke kenyataan. Dhannis mengangkat bahu. "Nggak tahu," jawabnya jujur. Popa dan mama Dea saling pandang, lalu tertawa. "Susah juga ya," komentar Popa. "Kita suka kesel sama orang yang banyak mau. Tapi ternyata orang yang nggak punya mau juga membingungkan." "Mas Dhannis ini bukannya nggak punya mau tapi dia belum tahu maunya apa," kata Mama Dea bijak membela anaknya. "Artisnya Adek mau nggak, Mas? Banyak banget tuh, mau yang cantik pintar, ada ... Mau cantik dan agamis, ada .... Mau cantik bego juga ada." Dhannis tertawa lagi, sedangkan mama Dea menggeleng - gelengkan kepala. "Aku nggak mau sama artis, Popa. Entar pengennya ngetop terus malah nggak ada waktu buat keluarga." "Coba deh sekarang Mas Dhannis sebut kriteria yang ada di kepala mas Dhannis tuh kayak apa, kayak siapa?" Kalau ditanya apa yang ada di kepalanya, ia bisa menyebutkannya sekarang, tapi masalahnya yang ada di kepalanya itu bukan wanita yang masuk dalam kriterianya? Bagaimana dong? "Nggak bisa jawab ya? Atau gini deh Popa balik aja pertanyaannya, sekarang di kepala mas Dhannis atau dibayangan Mas Dhannis ada nggak cewek, terserah cewek itu siapa, mau dia menyebalkan atau nggak cantik sama sekali atau dia hobinya cari masalah, pokoknya nggak ada yang indah - indahnya sama sekali deh, pokoknya nyebelin sampai Mas Dhannis itu males berurusan sama dia, ada nggak ?" "Ada, orang yang baru aku kenal minggu lalu, orangnya bawel banget, bikin aku emosi ... dan nyebelinnya dia tuh nggak kayak merasa bersalah sama sekali," jawab Dhannis lancar. "Ternyata lebih mudah mencari seseorang yang disebelin daripada disenengin," sahut popa. "Tapi hati - hati aja, Mas. mungkin aja dia orangnya, kan kata orang tua dulu jangan terlalu benci atau sebel sama seseorang, nanti malah jatuh hati." Dhannis hanya bisa tersenyum garing. Dalam hati, ia mengumpat dirinya sendiri. Gawat, omongan Popa itu bisa jadi benar, dan jangan - jangan minggu depan dia sudah nekat cari tahu soal si cerewet Ina itu. Padahal rasanya ia tidak punya petunjuk apapun tentang Ina. Malam itu, rumah eyang Nino tampak lengang. Hanya suara jangkrik dari luar jendela yang terdengar bersahutan, menciptakan suasana khas rumah besar yang kosong karena minim penghuni. Semua penghuni sudah di kamarnya masing - masing, hanya dua kamar yang terisi, kamar eyang Nino dan kamar Dhannis, sementara itu pengantin baru sedang menginap di rumah orang tua Disti. Di salah satu kamar lantai dua, cahaya dari layar laptop menerangi wajah seorang pria muda yang sedang duduk bersandar di kursi kerja. Ia tidak sedang bekerja atau menyusun jurnal medis, melainkan … termenung. Dhannis menarik napas pelan. Di depannya layar laptop masih terbuka, dan di kolom pencarian Google tertulis satu nama: Zellina. Ia mengerutkan kening. Nama itu terasa asing sekaligus mengganggu. Sejak pertemuan tidak menyenangkan dan tidak disengaja minggu lalu, bayang - bayang perempuan itu terus mengusik pikirannya. Suara cerewetnya, ekspresi wajah menyebalkannya, dan cara dia mengoceh soal apapun, semuanya terasa hidup di dalam kepala Dhannis, seperti film rusak yang diputar ulang tanpa henti. Tapi ia sadar, nama itu tidak cukup. Internet tidak mengenal "Zellina" tanpa nama belakang. Ia mengetik ulang, mencoba menambahkan "Jakarta", "rumah sakit", bahkan saking putus asanya ia menulis "celana hijau tabrak blazer pink" di kolom pencarian. Hasilnya nihil, tentu saja. "Zellina siapa ya?" gumamnya sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Nadanya kesal. Ia benar - benar tidak bisa mengingat nama belakang Ina, dan menyesal tidak memberi perhatian waktu Ina menjadi pasiennya. Ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menatap langit-langit kamar seakan berharap nama lengkap gadis itu muncul di sana secara ajaib. Tapi yang ada hanya bayangan samar ekspresi Zellina saat berisik menyahuti omongannya, mengomentari suaranya dan hal - hal yang tidak perlu dibahas. "Kenapa sih bisa segitunya? Orangnya aja ngeselin. Tapi kok malah kepikiran terus? Giliran nggak ada, malah tambah nyebelin. Maunya apa sih kamu, Ina Ina Zellina?" gerutunya sambil menutup laptop dengan suara klik yang cukup keras. Ia mengusap wajahnya dan bangkit dari kursi. Tapi belum sempat ia rebahkan diri di kasur, ponselnya bergetar pelan. Layarnya menyala, menampilkan nama yang sudah sangat familiar Dhevina. "Tumben,” ucapnya pelan sambil meraih ponsel itu. Ia menggeser layar dan menyapa, "Kenapa, Dek?" Suara Dhevi, saudara kembarnya, langsung terdengar ceria dan penuh selidik, "Tadi Adek denger dari Popa … katanya Mas Dhannis lagi cari jodoh, ya?" Dhannis menghela napas panjang, lalu mendesah malas. Dalam hati, ia sudah menduga ini pasti ulah Popa. Entah Popa salah menyampaikan, atau Dhevi yang salah menangkap informasi. Tapi melihat bagaimana senangnya Dhevi membuka topik ini, ia tahu dia sedang menghadapi masalah yang lebih besar dari sekadar ‘fitnah’. "Memangnya aku ada tampang lagi cari jodoh?” balasnya sambil mengangkat alis walau Dhevi tidak melihat. "Ada sih," jawab Dhevi enteng. Dhannis menutup mata sejenak. Kesalahan fatalnya adalah memberi celah untuk Dhevi mengeluarkan smash balik. Ia seharusnya tahu, dengan kebiasaan Dhevi, setiap umpan lambung adalah kesempatan emas untuk diserang balik. "Enggak, aku nggak cari jodoh. Mungkin kamu salah denger, atau Popa yang salah ngomong," balas Dhannis berusaha netral. "Enggak juga. Adek barusan pulang,, tadi langsung ngobrol sama Popa. Kata Popa Mas Dhannis lagi pengen dijodohin, jadi Adek mau berkontribusi dong Mas, boleh ya?" suara Dhevi terdengar bersemangat, seperti anak kecil yang baru menemukan proyek DIY di Pinterest dan tidak sabar ingin memulai. "Kontribusi apaan sih? Aku nggak bikin acara pernikahan atau apa gitu, jadi nggak usah ada kontribusi - kontribusian." "Yaaa ... padahal Adek punya beberapa stok cewek jomblo di kantor. Banyak yang cakep, mapan, lucu, pokoknya bisa masuk spek Mas Dhannis deh." "Spek apaan sih?" suara Dhannis mulai meninggi, meski dalam hati penasaran juga. "Tenang aja. Adek tahu selera Mas Dhannis tuh gimana. Nggak usah banyak protes. Nanti Adek kenalin satu - satu, Mas Dhannis harus mau ngajak kenalan, ngobrol, jalan. Nggak harus dipacarin kok. Kalo nggak cocok, tinggal bilang. Tapi jangan kabur sebelum nyoba." Dhannis terdiam. Dalam hati, ia ingin marah atau paling tidak menolak. Tapi entah kenapa, satu suara kecil di dalam dirinya justru berbisik, kenapa enggak dicoba aja? Tapi sebelum ia menjawab, pikirannya kembali ke sosok Zellina. Cewek cerewet yang bahkan tidak ia tahu nama belakangnya. Cewek yang wajahnya yang termasuk cantik menurut standar objektifnya, tapi entah kenapa ada sensasi aneh setiap kali mengingat ekspresi tengilnya. Dan sekarang, di tengah dorongan Popa, Mama, dan Dhevi untuk membuka hati, justru sosok itulah yang muncul paling jelas dalam benaknya. "Mas?" suara Dhevi membuyarkan lamunannya. "Iya iya, nanti aku pikirin. Tapi jangan gerak dulu sebelum aku kasih lampu hijau." "Deal. Tapi Mas Dhannis jangan ngilang ya. Udah waktunya move on dari mbak Krib itu. Adek takut Mas jadi kayak dokter yang nikahin stetoskop karena terlalu sibuk kerja!" Dhannis tertawa kecil, "Sinting!" lalu menutup telepon. Malam itu, ia akhirnya rebahan juga. Tapi sebelum tidur, ia kembali membuka laptop. Kali ini, dia tidak lagi mencari nama Zellina. Dia membuka aplikasi catatan dan menulis satu kalimat, Kalau takdir bisa bertemu lagi, mungkin saat itu aku bisa tanya langsung, "Kenapa kamu selalu muncul di kepalaku macam hantu? Mau cari gara - gara ya?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN