Chapter 4 : Villa Visit

1795 Kata
"Mobilmu sudah siap." Asher, pegawai yang dipekerjakan Marck, sebagai asisten pribadi Vernon terdengar memperingati. Menaruh kunci supercar dengan logo cincin berbentuk lingkaran yang tumpang tindih. Audi Car. "Thanks." Vernon mengulas senyum singkat. Menyemprotkan parfum beraroma woody, black pepper dan citrus. "Kau akan ke acara penting?" tanya Asher. Penasaran. "Oh ya. Aku lupa memberitahu. Aku akan membawa Savana ke sini!" "Savana Morgan?" tanya Asher. Tersenyum tipis. "Jangan beritahu daddy!" papar Vernon. Memberi perintah. Memasang leather jacket berwarna hitam. "Apa karena ini, kau meminta agar seluruh pelayan tidak datang ke Villa?" kekeh Asher. Membuat Vernon mendengus. Melempar senyum pulas. "Bagaimana penampilanku?" tanya Vernon. Berdiri tegap. Sembari memasang sunglasses Dior hitam. "Bagus!" celetuk Asher. "Sebentar lagi catering datang. Tolong sajikan dengan baik makanannya. Aku akan menjemput Savana di kampus." "Siap. Aku akan pergi dan pulang malam," angguk Asher. Sigap. Lantas, memerhatikan Vernon mengambil jarak. Melangkah keluar Villa dan pergi. Segera, Asher meraih ponsel. Menekan-nekan layar. Asher menghubungi Marck. "Sir, tuan muda akan membawa Savana ke Villa," lapor Asher. Mengabaikan perintah Vernon. "Bagus. Jangan ganggu mereka. Kembalilah ke mansion! Ada yang ingin aku bicarakan," pinta Marck. Bahagia. *** "Savana. Kau mau ke Villa nya tanpa membawa mobil? Kau yakin?" tanya Lily. Mendelik, tanpa kedip. Memerhatikan Savana, menyerahkan kunci supercar miliknya pada salah satu pengawal Maxent. Mereka langsung datang, setelah Savana mendapat izin pulang terlambat hari ini. "Ya. Dia ingin menjemputku," jelas Savana. Singkat. "Hmm. Sepertinya benar-benar akan terjadi yang iya-iya!" kekeh Lily. Memukul lengan Savana dengan buku-bukunya. "Awh! Lily sakit!" Savana membalas pukulan sahabatnya itu. Lebih keras. "Aku ingin sekali ikut. Tapi, aku tidak ingin mengganggumu," papar Lily mengulum senyum. "Sekalipun kau tidak mengganggu. Aku tidak mengajakmu!" "Dasar. Jahat!" cubit Lily. Gemas. Savana tersenyum, menggoda. "Oh ya. Aku dengar dari para senior. Resseauo University memiliki dosen yang sangat tampan. Dia baru dan mengajar fakultas bisnis." "Lantas?" tanya Savana. Tidak tertarik. "Lantas. Ya. Kita bisa cuci mata," kekeh Lily. "Hmm. Aku sedang tidak berencana membicarakan pria setelah melihat Victor. Terlebih, dia dosen. Tampan seperti apapun, pasti tua." "No! Usianya masih dua puluh delapan tahun." "What? Tidak masuk akal. Dia mungkin menyogok Resseaou, atau melakukan cara curang lainnya!" "Pikiranmu selalu negatif, Savana. Kapan kau percaya dengan hal-hal yang masuk di akal? Hah?" tanya Lily. Menekan ujung jarinya, tepat di kening Savana. "Kau harusnya tidak percaya dengan hal-hal tidak masuk akal di dunia ini, Lily. Hati-hati, banyak penipu!" "Contohnya?" "Victor!" sebut Savana. Emosi. Dengan berat hati, Lily mengeluh. "Kau sepertinya masih sangat sakit hati karena melihat itu!" papar Lily. "Mataku ternodai, Lily. Sial!" Savana mual. "Makanya, aku sarankan kau juga melakukan hal yang sama dengan Vernon!" "Bagaimana bisa kau menyuruhku bercinta dengan pria yang belum pernah kau lihat. Dasar!" sergah Savana. "Kau bilang dia tampan. Jadi, aku mungkin membayangkannya mirip Brad Pitt." "Terlalu tua. Aku tidak mau. Pasti alot!" kekeh Savana. Tertawa lepas. "Oh my God. Savana!" mendadak. Lily bergeser mundur. Menelan kasar ludahnya. Ia menggenggam salah satu tangan, memukul dadanya, pelan. Lily menarik napas naik-turun, hingga menimbulkan suara. Sesak. "Lily, what happened? Kau asma? " tanya Savana. Panik. Mengguncang lengan sahabatnya dengan kedua tangan. "Yes!" sesak Lily. Asal. "Kau bawa Inhaler?" Savana memucat. Sigap bertanya, sambil menarik handbag milik Lily. "Kau sudah lama menunggu?" berat. Terdengar suara dari lain arah cukup dekat. Savana terdiam, lekas menoleh. "Dia sangat tampan," bisik Lily. Mengatur napas. Baru menyadari bahwa sahabatnya sesak hanya karena melihat Vernon. "Tidak terlalu lama," imbuh Savana, datar. Melempar senyum kaku. Lily benar, pria itu tampak lebih tampan, dengan rambut Ash grey. "Maaf, tadi sedikit macet!" jelas Vernon. Melempar senyum. "No problem! Oh ya. Kenalkan, dia sahabatku!" papar Savana. Membuat Vernon melirik. Tersenyum ramah, turut mengulur tangan. "Lily Jane Williams. Kau bisa memanggilku Lily. Tolong! Jaga sahabatku dengan baik, Ya. Dia sedang patah hati karena lelaki tidak berguna," ucap Lily centil. Saat tangannya bersatu pada Vernon. Savana berdecak. Bahkan menyenggolnya marah. "Vernon. Pasti. Aku pasti menjaga sahabatmu," lepas Vernon. Menarik tangannya. Lalu kembali memerhatikan Savana. Pipi gadis itu chubby. Vernon gemas. "Kalau begitu ayo!" ajak Vernon. Kini mengulur tangan ke arah Savana. "Ya! Aku pergi dulu, bye Ly!" Savana mengangguk. Meraih tangan Vernon. Pria itu langsung menggenggam tangannya rapat. "Bye. Selamat bersenang-senang. Ingat kataku tadi, yaa!" teriak Lily. Melambaikan tangan. Melepas sahabatnya pergi dengan hati riang gembira. "Maaf. Dia memang seperti itu. Aku senang berteman dengannya!" papar Savana. Menjelaskan. "Tidak masalah. Aku juga senang bisa mengenal sahabatmu,"timpal Vernon. Membuka pintu mobil untuk Savana. Gadis itu menelan ludah. Sejenak mengambil napas. Ia pasti sesak di dalam sana. Sempit. Vernon menutup pintu. Setelah memastikan Savana telah berada tepat di tempatnya. Vernor bergerak memutar. Meraih kursi kemudi dan segera bergerak pergi meninggalkan parkiran Resseauo. Jam siang, biasanya sepi. Banyak mahasiswa kembali ke asrama, atau membaca buku di perpustakaan. "Lily!" seseorang. Memanggil gadis itu, saat Lily baru saja bergerak pergi. Spontan, ia menoleh. Memutar bola mata. Malas. "Victor. Kenapa kau di sini?" tanya Lily. "Kau lihat Savana? Aku ingin menemuinya." "Savana? Dia pergi bersama pria yang lebih berguna. Sebaiknya, jangan mengusiknya!" timpal Lily. Sarkas. "Pria? Siapa?" tanya Victor. Penasaran. "I don't know. Bye!" Lily bergerak memutar. Berlari menghindar. Sungguh, saat melihat Victor, Lily selalu ingin meninjunya. Geram. Pria itu benar-benar memuakkan. "Bagaimana bisa dia bersikap seakan tidak terjadi apapun setelah menyakiti Savana. Dasar menjijikkan!" gumam Lily. Membatin. Lekas berlari menuju mobilnya yang terparkir. ***  "Kau tinggal sendiri di sini?" tanya Savana. Memerhatikan pekarangan, dengan hutan luas dan jurang bebatuan yang tinggi, lewat rooftop Villa. Kebetulan, Savana memang lebih suka suasana hijau. "Ya. Kadang asistenku menginap," jelas Vernon. Menuangkan segelas Mocha Macchiato ke dalam gelas kosong. "Kau pasti punya banyak waktu bersama asisten mu!" papar Savana. Mengulum senyum. "Dia pria," jelas Vernon. Paham arah pembicaraan Savana. "Oh." angguk Savana singkat. Menatap Vernon yang kini telah menyingkirkan leather jacket di tubuhnya. Pria itu tampak tegap, tinggi, dan memiliki d**a bidang yang lebar. Savana yakin, dibalik kaos hitam Vernon, ia memiliki otot perut. "Tato mu bagus." Savana memuji. Lekas bergerak mendekat. Memerhatikan pergelangan tangan Vernon yang memiliki gambar dua garis melingkar penuh. "Aku membuatnya enam bulan lalu," papar Vernon. "Aku juga punya, Love!" sebut Savana. Membuka beberapa kancing kemejanya. Lalu menurunkan kerah pakaian ke bawah pundak. Vernon menelan ludah. Memerhatikan tajam. Savana sangat berani. "Love. Apa artinya tato ini untukmu?" tanya Vernon. Serak. Menarik napas cukup dalam. Sampai Savana kembali mengancing pakaian. Menutup asetnya yang sempat terlihat. Vernon jeli. "Tidak ada arti khusus. Hanya suka," jelas Savana. "Hmm. Sebaiknya kita minum bersama. Kau mau Mocha Macchiato?" tawar Vernon. Mengangkat gelas. "Dari mama kau tahu minuman favoritku!" Savana tersenyum. Mengangguk cepat. Sigap, Vernon menuang minuman. Mengisi gelas kosong lainnya. Jujur, Vernon hanya menebak. "Aku pikir. Kau akan menyiapkan alkohol untukku!" decak Savana. Sedikit kecewa. "Kau dibawah umur!" jelas Vernon. "Kau seperti daddy-ku. Pelit. Ayolah. Sekali saja! Cukup satu gelas. Kau pasti punya, 'kan?" tanya Savana. Mendekatkan wajah. Tampak memohon. Vernon melirik. Mendorong kening Savana dengan ujung jarinya. "Tidak!" *** Setelah melakukan banyak hal. Savana meraih sofa di living room. Duduk, tenang. Sesekali menggerakkan tubuh, mendengarkan musik favorit Vernon yang diputar pada home teather. Selera mereka sama. Savana bahkan hapal semua lagu-lagunya. Mendadak. Tenggorokan Savana terasa kering. Minumannya habis. Bergegas, ia beranjak. Bergerak menuju dapur. Vernon masih mandi di bathroom tengah, setelah tanpa sengaja Savana menumpahkan segelas minuman manis di pakainya pria itu. Lengket, jika tidak segera dibersihkan. "Kenapa dia lama sekali," keluh Savana. Menuang minuman dingin ke dalam gelas. Tidak sabar membasahi kerongkongan. Tampaknya, ia mulai bosan. Mereka hampir seharian bersama. Banyak hal yang telah dilakukan dan dibicarakan. Mengenal akrab. Ditengah pikiran Savana. Ia terkejut. Mendengar ponselnya berdering. Mungkin dari Laura. Wanita itu sering khawatir, jika Savana tidak di mansion. Namun, ternyata bukan. Savana salah tebak. Sejenak, ia menarik napas. Mendongak, congkak. Berkali-kali ia mengeja nama penelpon di layar nya. Lama. Hingga ponselnya mati. "Ah. Sial!" umpat Savana. Malah menelpon ulang. Tanpa menunggu lama, panggilannya langsung di angkat. "Vic. Ada apa?" tanya Savana. Datar. "Kau dimana? Aku dengar dari Lily kau pergi bersama pria." "Lily memberitahu mu?" ulas Savana. Kesal. "Aku tadi ke kampus. Ada hadiah yang ingin aku berikan langsung." "Oh. Aku pulang sebentar lagi," sergah Savana. "Baiklah. Aku akan menunggumu! Oh ya, kau kenal Ruby Rovenstine? Anak Walikota, dia hadir di acara ulang tahunmu." "Tidak. Aku bahkan tidak melihatnya," keluh Savana. Melipat salah satu tangan pada lengannya. "Memang, kenapa?" "Jika kau kenal, aku ingin kau membantuku untuk mendapatkan kontaknya. Dia juga kuliah di Resseauo. Sama sepertimu! Aku...." "Vic. Kita bicara lagi nanti, Ya!" tutup Savana jengah. Terlebih, ia mendengar suara pintu terbuka. Mungkin, Vernon selesai membersihkan diri. Buru-buru Savana berlari, keluar dari dapur. Mencari sumber suara. "Hmm. Christian Dior Eau Sauvage," hirup Savana. Mencium aroma segar dari Vernon. Melempar senyum manis. "Kau sepertinya tahu banyak tentang parfum," balas Vernon. Mendekat. Rapat. "Hanya beberapa. Tapi, Dior favoritku!" timpal Savana. "Aku dengar tadi kau bicara dengan seseorang. Orang tuamu menelpon? Kau mau ku antar pulang?" tanya Vernon. Tanpa mengalihkan pandangan. Tetap menatap Savana. Ini gila. Gadis itu membuatnya pening. Seharian bersama Savana membuat Vernon senang. "Bukan. Daddy jarang menelpon saat aku diluar. Terlebih, aku sudah mengabarinya." "Kalau kau ingin pulang. Katakan saja. Akan ku antar!" pinta Vernon. Berharap Savana mengandalkannya. "Hmm. Sepertinya aku ingin menginap. Kau punya kamar lebih, 'kan?" tanya Savana tanpa ragu. Diam. Vernon mendadak bungkam. Ia berpikir, mengedarkan mata secara keseluruhan pada Savana. "Asher mungkin pulang tengah malam. Jika mau kau bisa gunakan kamarku." "Bagaimana denganmu?" tanya Savana. "Aku bisa tidur di sofa atau bersama Asher!" celetuk Vernon. Kali ini, Savana bungkam. Ia menahan napas. Menggigit kuku. Damn! Otaknya tengah memikirkan Victor. Masih sempatnya, Savana merasa sesak saat mengingat kejadian yang tidak seharusnya ia lihat. Victor sungguh kejam. Bukankah pria itu juga tahu, Savana mencintainya. Mustahil, Victor tidak peka. Sekarang, malah pria itu menghubunginya untuk meminta bantuan. Sungguh pria yang memalukan. "Savana!" panggil Vernon. Berat. Ketika gadis itu malah melamun. Tidak merespon. Savana menunduk, tidak langsung menjawab. Namun beberapa detik kemudian, lagi-lagi, gadis itu mendekat. Memeluk Vernon rapat. "Kenapa kau selalu ada saat aku merasa lemah?" tanya Savana. Serak. Membuat Vernon mengerutkan kening. "Kau bisa menceritakan apapun padaku!" pinta Vernon. Berbisik pelan. Tepat ditelinga Savana. Gadis itu mendongak. Membuat jarak pandang mereka begitu lekat. Vernon menurunkan pandangan. Menatap bibir tebal Savana. Merah. Merekah. Sedikit terbuka. Vernon ingin memilikinya. "Kau bisa memiliki tubuhku. Tanpa mencium bibirku!" ucap Savana. Tepat saat Vernon ingin menyatukan bibir. Savana menatapnya. Tajam dan serius. Tanpa pikir panjang. Vernon mengaitkan tubuh Savana ke dalam ceruk pelukannya. Savana melipat kedua tangan di leher Vernon, dan kaki yang melingkar pada pinggul pria tersebut. Savana tidak peduli, kemana pria itu menaruhnya. Ia ingin merasakan, bagaimana disentuh. Jangan salahkan Vernon, ia pria yang memiliki nafsu. Savana mengizinkannya. Memberi dengan syarat mudah. Bibir? Tidak perlu. Vernon merasa akan menang jika tubuh Savana ia miliki. Perasaan wanita mudah terluka, dan mudah diobati. Katakanlah ini Gila. Vernon tertarik akan Savana. Sangat! Gadis itu tampak seperti magnet, yang menariknya dalam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN