Chapter 6 : Narrow World

2287 Kata
Savana." Maxent menginterupsi. Terdengar berat. Saat menangkap basah putrinya, dalam keadaan mengendap. Menenteng sepatu heels, takut. Bagaimana tidak, meski mengabari, ini kali pertamanya Savana tidak pulang ke Mansion. Bahkan melewati jam makan siang. Savana ingkar janji. "Savana siapa yang mengantarmu? Kenapa tidak suruh masuk?" tanya Laura. Memperburuk keadaan. Padahal gadis itu mati-matian menghindari Maxent. Ia jauh lebih takut terhadap pria itu. Baginya, omongan Maxent adalah perintah. "Savana duduk!" tegas Maxent. Membuat Laura mengerutkan kening. "Maxe, dia baru...." "Duduk!" lagi! Tegas Maxent. Serak. Membuat Savana berlari. Memutar tiang tinggi dengan marmer berwarna gold. Langsung menjatuhkan tubuh ke dasar sofa. Menatap Maxent. Pucat. "Kau menginap dimana semalam?" tanya Maxent. Tegas. Oh Lord! Savana terdiam, belum mempersiapkan jawaban. Ia terlalu percaya diri, bahwa Maxent tidak di mansion. Biasanya, jika libur, pria itu keluar bersama Laura untuk bermain golf, atau liburan keluar kota. "Aku. Aku. Ah. Aku semalam...." "Jangan membohongiku, Savana!" tutur Maxent. Menangkap kecurigaan dari tindak-tanduk putrinya itu. Savana memang tidak lihai berbohong. "Aku minta maaf, dad!" celetuk Savana. Menggosok-gosok ujung pakaiannya. Maxent menatapnya. Hening sejenak. "Hmm. Kau sudah dewasa. Bukan masalah bagiku jika kau tidak pulang. Tapi, kabari aku lebih cepat kalau kau menginap!" "Maxe!" sergah Laura. Protes. "Pergilah ke kamar. Istirahat!" titah Maxent. Membuat Savana tersenyum. Mengangguk segan. "Thanks, dad. I miss you!" Savana berlari. Lekas menghilang. "Apa yang kau katakan pada putrimu? Setelah membuatnya ketakutan, kau malah seakan-akan menyetujui tindakan Savana." "Tenang saja. Aku tidak semudah itu membebaskannya!" tegas Maxent. Meraih ponsel dari dalam saku celana kain hitam yang ia kenakan. "Ck. Tapi, tetap saja. Aku takut. Usianya baru tujuh belas tahun. Bagaimana jika dia hamil? Kuliahnya masih di awal!" papar Laura. "Savana lebih pintar dan rasional darimu. Jadi santai saja!" tegas Maxent. "Dasar! Anak dan ayah sama saja!" dengus Laura. Sarkas. "Dia lebih mirip denganmu. Keras kepala. Jika aku kekang, Savana akan nekat. Aku tidak suka ada kebohongan apalagi pertengkaran di rumah ini!" "Tapi, kau tahu Savana berbohong!" tegas Laura. "Dia tidak membohongiku, Laura. Savana tidak mengatakan dimana ia berada semalam. Meskipun aku tahu dari Marck. Akan ku pastikan!" timpal Maxent. Kini mencari nama Marck di kontak panggilan. "Kau mau apa?" tanya Laura. "Kau lihat mobil yang mengantar Savana?" balas Maxent. Menaruh ponselnya di telinga. "Sepertinya, Audi." "Warna?" "Hitam!" ingat Laura. Jelas. Menghela napas. Lalu, panggilan Maxent langsung tersambung pada Marck. "Putriku baru saja pulang. Apa putramu, Vernon. Memiliki mobil Audi hitam?" tanya Maxent. Penasaran. "Ya. Itu mobilnya, kebetulan aku baru saja mengirimkan beberapa gambar padamu!" kekeh Marck. Terdengar serak. Membuat Maxent sejenak hening, memerhatikan layar ponsel. Marck, mengirimkan foto kedekatan putrinya bersama Vernon di Villa. Bukti jelas. "Sepertinya mereka memang dekat," bisik Laura. Pelan. Membuat Maxent menganggukkan kepala. "Baiklah. Kalau begitu, aku percayakan putriku. Namun, jika terjadi sesuatu kedepannya. Kau tahu, aku tidak pernah menggunakan keluargaku untuk bisnis." "Kau tenang saja. Aku juga tidak akan menggunakan anak sebagai bagian dari bisnis. Tapi, kau sudah tahu dari awal. Aku ingin Vernon mengambil alih perusahaan milikku. Jadi, jika kita tetap bekerja sama. Dia mungkin juga akan menjalin relasi denganmu!" jelas Marck. "Aku paham." "Dan seperti kataku. Tolong, sembunyikan kenyataan, bahwa kau tahu tentang identitas Vernon. Aku berjanji, selama dia berhubungan bersama putrimu. Aku akan selalu membantu mengawasinya!" "I promise!" sigap Maxent. "Baiklah. Kalau begitu, tiga hari lagi, kita bisa mulai penandatanganan kontrak. Berkas milikku hampir selesai. Menantuku yang akan membantu proses jangka panjang nantinya!" "Baik. Aku juga akan menyerahkan proyek ini pada Victor." "Aku berharap, kerja sama ini berjalan lancar!" tegas Marck. "Akan ku usahakan. Terimakasih, karena sudah berinvestasi dengan perusahaan ku, Mr. Resseauo." *** Savana melenguh. Menatap dirinya lewat pantulan kaca. Ia menghela napas. Memerhatikan dadanya. Penuh kissmark. Tidak di sangka, pria ramah dan lembut seperti Vernon, membuat Savana jatuh. Bahkan memberi tubuhnya. Gila memang. "Aku akan menjejaki seluruh tubuhmu, Savana!" merinding. Savana langsung mundur. Begitu mengingat kalimat terakhir yang dikatakan Vernon. Akan tetapi, saat bercinta. Kalimat seperti itulah yang dibutuhkan Savana. Rasanya cukup panas, seakan tidak cukup sekali untuk menggapai kepuasan. "Oh. Sepertinya aku benar-benar sudah gila!" Savana memukul kepalanya. Lantas, kembali terkejut saat ponsel miliknya berdering. "f**k!" umpat Savana. Emosi. Hampir membanting ponsel. Namun, kedua matanya langsung segar saat melihat nama yang tertera di layar. Vernon "Ya?" sambut Savana sigap. "Kau sedang apa?" tanya Vernon. Seperti habis bahan. Maklum saja, ia terlalu lama tidak membangun hubungan. Kaku. "Aku? Hmm. Sedang melihat bekas mu di tubuhku," aku Savana. Jujur. Menggigit ujung jarinya. Tersenyum senang. Vernon terdengar mendengus. Sejenak hening tanpa suara. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Tapi pastinya, Vernon sangat menikmati seks mereka. Meski Savana terbilang pemula. Ia hebat, saat menjadi dirinya sendiri. "Baiklah. Jangan lupa belajar. Senin ini, kau akan ada test di Resseauo, 'kan?" tanya Vernon. "Ya. Kau tahu dari mana? Kita bahkan tidak membicarakan Resseauo," decak Savana. Curiga. Mengelap lehernya dengan handuk kecil. Menghangatkan tubuh agar bekas kissmark memudar. "Aku dosen di Resseaou." "Savana!" bersamaan, seseorang memanggil. Membuat gadis itu menurunkan ponsel. Tidak mendengar apapun yang dikatakan Vernon. "Yah, Mom!" balas Savana. Kencang. Tahu jika Laura masuk ke kamarnya. "Vernon, maaf. Aku harus menutup panggilan. Mommy ku di luar bathroom!" segera gadis itu menutup telpon. Menarik bathrobe untuk menutupi tubuh. Oh. Ia tidak mau ketahuan Laura, jika alasannya menginap adalah untuk bercinta dengan pria yang bahkan baru ia kenal dalam beberapa hari. "Kau baik-baik saja? Jawab mommy!" pinta Laura. Serak. "Aku baik-baik saja, Mom. Kau tahu aku sedang mandi," timpal Savana. Begitu membukakan pintu bathroom. "Mommy khawatir. Kau tampak pucat. Matamu hitam. Kau tidak tidur semalam?" tanya Laura. Mengusap wajah Savana. "Sedikit. Makanya, aku ingin segera mandi, lalu kembali tidur. Boleh, 'kan?" tanya Savana. Manja. Melingkarkan kedua tangan leher Laura. Hingga dengan jelas wanita itu melihat beberapa ruam kemerahan di d**a Savana. Laura menelan ludah, tidak membahas langsung. "Mom," panggil Savana. Pelan. "Oh. Ya. Boleh. Mommy keluar dulu, jika kau butuh sesuatu bilang saja, Ya!" "Aku bisa melakukan apapun sendiri, Mom." tolak Savana. Terbiasa mandiri. "I miss you, honey!" kecup Laura. Mencium pipi chubby putrinya, penuh kasih sayang. Segera, Laura berputar, pastinya pergi menemui Maxent. Savana menarik napas lega. Mengacak-acak rambutnya yang lembab. Sungguh, rasanya begitu nyaman, setelah bisa mandi di ruang sendiri, seperti biasa. Lalu, untuk kedua kalinya, lagi-lagi, ponsel Savana berdering. Membuat gadis itu kembali mengutuk. Kesal. Memang menyebalkan. Jelas, kali ini ia mendapat panggilan dari pria yang tidak ingin ia lihat sementara waktu. Victor "Untuk apa dia menghubungiku!" decak Savana. Lama berpikir. Tapi akhirnya, Savana tetap mengangkat panggilan. Menerima Victor. Sudahlah, mungkin memang sepenuh hatinya untuk pria itu. Victor cinta pertamanya. Savana mulai merasakan perbedaan bahkan sejak berusia lima belas tahun. Lama, ia mendekati Victor. Mereka kompak sebelumnya. "Savana. Kita harus bicara." "Saat ini aku letih. Mungkin...." "Aku tahu kau sudah dewasa. Savana, kau menyukaiku, 'kan?" Hening. Savana mundur. Bersandar pada tembok marmer. Merasakan hawa dinginnya. "Vic!" "Aku tunggu di taman malam ini pukul delapan. Jika kau tidak datang, aku tidak akan pergi!" Victor menyela. Tidak ingin begitu basa-basi. Ia hanya butuh menemui Savana. Cukup! "Oke!" *** "Aku pikir, kau tidak akan datang!" leguh Victor. Begitu menangkap kedatangan Savana. Menatap gadis itu dengan sudut mata sayu. "Apa yang ingin kau katakan?" tegas Savana. Melipat kedua tangan di d**a. "Soal malam ulang tahunmu. Ada yang ingin aku berikan!" "Aku tidak butuh hadiah darimu!" tolak Savana. "Oke. Akan ku jelaskan dulu tentang apa yang terjadi di gudang. Savana aku tahu, kau pasti terkejut." "Ya! Aku sangat terkejut Vic. Itu malam ulang tahunku. Kau bahkan tidak hadir saat aku meniup lilin. Ternyata, kau sibuk bercinta di gudang. Kau tidak malu dengan kelakuan mu?" Savana berang. Tampak begitu marah. Suaranya terdengar melengking. Keras. Victor takut, seseorang mendengar mereka. "Savana aku terpaksa!" "Apa? Terpaksa? Kau ingin akting menjadi korban?" tanya Savana. Tersenyum smirk. "Semua yang aku lakukan untuk daddy-mu!" sergah Victor. Berat. Mengulum bibirnya yang merah. Savana bungkam. Mantap raut wajah Victor. Seakan mencari letak kebohongan di sana. "Apa maksudmu?" "Daddy mu akan memulai kontrak besar. Aku akan di percayakan. Namun, butuh pengorbanan untuk menyakinkan orang-orang di dalam kerja sama. Aku terpaksa, meniduri salah satunya untuk....." "Oh. Maksudmu. Kau menjebak para wanita dengan seks?" Savana mencebik. Lalu terkekeh hina. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Aku bisa kehilangan posisi jika gagal. Kau tahu betapa pentingnya perusahan bagiku? Aku bekerja keras untuk semua ini, Savana!" "Kau tidak harus merendahkan dirimu untuk mendapatkan segalanya!" papar Savana. "Aku menyukaimu," ujar Victor. Mendadak. Berhasil membekukan seluruh tubuh Savana. Kalimat itu, memang di tunggu nya sejak lama. Akan tetapi, kenapa rasanya begitu berkurang saat ini. Aneh. Perlahan, Victor mendekat. Memegang pinggul Savana guna merapatkan diri. Gadis itu menelan ludah. Merasakan napas sedikit menggebu panas. Tatapan keduanya menghujam, lekat. Savana bergetar. Dalam beberapa detik, Victor semakin sampai, mencoba meraih bibir dominan Savana. Hampir saja, Savana lantas sadar akan janjinya terhadap Vernon. "Kau milikku, dan aku milikmu!" Kata itu. Membelenggu kuat. Seakan tertanam dalam benak Savana. Seketika, gadis itu berpaling, dan menunduk. Victor mundur, mengangguk berat. Ia ditolak. "Kau sepertinya sangat membenciku!" papar Victor. "Aku mencintaimu. Tapi..." Savana serak. Merasa bodoh karena mengakui perasaannya, ceroboh. Sial. Sulit baginya untuk bisa mengontrol diri. "Aku akan mendengarkan mu," sambut Victor. "Aku masih belum bisa melupakan kejadian di gudang. Mungkin, kita bisa bersikap seperti biasa. Aku beri kau kesempatan. Jangan ulangi! Jika kau melakukan hal yang sama. Dalam bentuk dan alasan apapun, aku akan mengatakannya pada daddy!" "I promise! Aku tidak akan melakukannya. Aku juga akan berhenti meniduri wanita demi kau!" "Aku tidak berhak melarangmu. Tapi, aku hanya ingin kau tidak melakukan hal itu di mansion atau di kantor daddy-ku," jelas Savana. "Pasti!" angguk Victor. Kembali bergerak mendekat. Menangkup wajah Savana dengan kedua tangan. Mengusap lembut. "Aku minta maaf." Savana mengangguk. Mendiamkan diri sejenak. Entah, ia harus senang atau lega. Setidaknya, malam ini Victor mengakui perasaan terhadapnya. Savana resah. Tapi, kini bukan saat tepat untuk membuka peluang bagi Victor. Tidak harus semudah itu, Savana percaya. "Aku harus kembali ke kamar." "Ya. Goodnight. I love you," bisik Victor. Terdengar mudah. Savana menelan ludah. Menggenggam tangan. Ia menunduk, tidak menghiraukan dan pergi. Savana meraih ponsel di saku celana jeans pendeknya. Mencari nama Vernon di sana. Entah kenapa, saat emosional seperti ini, Savana begitu ingin menemui Vernon, meski sekadar berpelukan. Sumpah, Savana butuh Vernon. Sosok pria itu berhasil menghadirkan ketenangan dalam wujud apapun. Sementara, Victor masih mendongak. Menatap langkah Savana yang kian menjauh. Sudut bibirnya melengkung tipis. Memerhatikan tanpa kedip. "Gadis ini, ternyata cukup menarik. Apa perlu, aku juga menidurinya, agar bisa mengamankan posisiku?" pikir Victor. Menggigit bibir bawahnya. Picik. "Akan ku tunggu. Jika dia berani mengusikku. Maka dengan senang hati ku lakukan! Heh! Savana, harusnya kau tidak melihat semua itu." *** Senin. Savana kembali pada aktifitasnya. Hari ini, lumayan sibuk, karena Resseauo memberikan psikotest, untuk murid yang jelas terdaftar di dalam kampus. Bukan hal aneh, Resseaou memang sangat hati-hati dalam memilah. Makanya, Resseaou masuk dalam salah satu kampus terkenal dan bergengsi. "Savana. I'm coming," sambut Lily. Tersenyum lebar. Duduk dengan sigap, tepat di sebelah sahabatnya. "Jangan mengusikku!" pinta Savana. Sekadar bercanda. "Hmm. Melihat senyummu, sepertinya ada sesuatu yang terjadi selama liburan. Apa kau tidur dengan si pangeran tampan itu?" tanya Lily. Berbisik pelan. Mencubit-cubit gemas lengan Savana. "Sinting!" gumam Savana. Malu. Tampak begitu merona. "Ha! Wajahmu merah. Jadi benar? Kau tidur dengannya?" "Lily tutup mulutmu! Semua orang bisa mendengarmu!" pinta Savana. "Katakan dulu. Iya atau tidak?" tanya Lily. Penasaran. Menaruh kuping, begitu dekat. Berharap mendengar jawaban terbaik. "Ya!" angguk Savana. Jujur. "Oh my God! Savana. Akkkk!" Lily berdiri. Berlari seperti anak kecil. Memutar-mutar hanya pada bagian Savana menaruh diri. "Dasar!" gemas Savana. Ikut tersenyum. Lalu kembali menatap tumpukan buku di hadapannya. Menatap benda itu sambil menggigit ujung pena. Sial! Ia malah terangsang sekarang. Memikirkan Vernon. Oh! Savana ingin semua ini lekas berakhir. Ia ada janji dengan pria itu malam ini, lagi. "Oh ya. Hari ini, katanya dosen baru yang tampan itu akan masuk kelas kita sebagai pengawas psikotest. Aku juga dengar, bagaimana para senior menggambarkan ketampanan nya. Aku tidak sabar, melihatnya berdiri di depan kita nanti." Lily menghayal. Menatap ke arah papan kelas. Memegang d**a, sambil menarik napas. "Kau harusnya fokus. Jika tidak, kau bisa di tendang keluar Resseaou," ujar Savana. Mengingatkan. Tanpa menoleh. Tetap memerhatikan buku. "Tidak ada salahnya melirik pria tampan. Tuhan menciptakan mata untuk melihat yang baik," kekeh Lily. Begitu aktif. Menebar begitu banyak kebahagiaan. Savana menggeleng kepala. Hanya mengeluh, membalik lembar buku. "Hmm. Dosen tampan, adalah hal baik di Resseauo," ujar Lily. Masih menari. Tidak memperdulikan sekitar. Ia terlalu bahagia. Sampai akhirnya, ia menyaksikan sosok dosen pria yang tengah menjadi topik utamanya. Masuk, bergerak tegap, dengan sepasang suit hitam yang mahal. Seketika. Kelas hening. Tanpa suara. "S-sa.sa.sa.. Savana.." panggilnya gugup. Memukul-mukul lengan sahabatnya, tanpa berkedip. "Duduklah Lily!" usir Savana mulai kesal. Benar. Langkah Lily menjauh. Segera mengambil tempat. Tepat di sebelah Savana. Berkali-kali, Lily menelan ludah. Meremas ujung meja kecil berwarna putih. "Morning!" sapa dosen tersebut, dengan suaranya yang khas. "Morning," sambut seluruh murid. Termasuk Savana. Tanpa berniat menoleh. Otaknya masih belum mampu menampung bisikan Lily. "Namaku Vernon Zeke, salah satu professor bisnis Resseoau. Namun, hari ini kita bertemu bukan untuk kelas, Melainkan untuk menguji kalian dalam psikotest, dimana hasilnya akan menentukan, bahwa kalian masih bisa atau tidak berada di Resseaou. Kalian siap?" ucap Vernon. Tegas. Padat. Begitu familiar ditelinga Savana. Gadis itu mengingat, tapi terlalu takut untuk memastikan. Sampai ia menyadari, sebuah aroma parfum yang begitu dikenalnya, tercium dekat. Lekat. "Kau mengerti?" tanya Vernon. Mengetuk ujung ballpoint nya, tepat di sisi meja Savana. Lily hanya membeku bisu. Takut bersuara. Savana menelan ludah. Bersikeras menegakkan punggung. Perlahan mengangkat pandangan, dan spontan saja, jantung Savana berdebar. Begitu matanya tertuju langsung pada Vernon. Sungguh, ia baru saja menyadari, bahwa telah mempercayakan tubuh pada dosennya sendiri. Ini gila. Savana ingin berlari. Bersembunyi ke tempat yang tidak bisa ditemukan. Namun, apapun yang kini berada di otaknya. Malah membuat Savana mengangguk patuh. Sulit bergerak bahkan bernapas. Vernon yakin, mereka akan membicarakan banyak hal setelah psikotest selesai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN