"Kak Xan ...." Suara Defnie menguar lembut, menyapa Xander yang sedang duduk di sofa seraya kushyuk mengerjakan sesuatu dari laptop dipangkuannya.
"Hey." Xander segera menanggalkan laptop ke atas meja dan meminta Defnie duduk di sebelahnya dengan gestur tepukan tangan pada sofa. Wanita itu pun manut dan segera melesatkan b****g di sebelah Xander.
Setelah insiden Defnie menari balet dan hampir mencelakai diri dan juga kandungannya kemarin, Xander memberi wanita itu ruang setelah ditenangkan.
Namun, hati Xander tentu belum sepenuhnya lega untuk meninggalkan mantan iparnya sendirian di Penthouse. Pria itu lantas memutuskan untuk bekerja dari rumah hari ini.
"Mengapa kau tidak ke kantor, Kak? Apa ini gara-gara ulahku kemarin?" tanya Defnie diliputi perasaan bersalah. "Jika iya, aku minta maaf."
"Cih, kau terlalu besar kepala. Aku bisa bekerja kapanpun dimanapun, Def," ledek Xander yang sebenarnya berusaha menghilang kecanggungan.
Defnie sontak memutar bola mata dengan malas. Ia tahu betul Xander sedang berkelit agar tidak membahas hal kemarin lebih jauh. Xander merupakan tipikal pria yang rela berkorban apapun demi orang-orang yang ia sayangi. Meski begitu, Defnie tidak mengetahui bahwa perasaan Xander terlampau spesial untuknya.
"Omong-omong ... pasti dokter Shin yg membocorkan kondisi kehamilanku pada kakak. Ugh, bisakah doktermu profesional?" Defnie kini memprotes dokter pribadi Xander.
"Tidak, aku yang menguping pembicaraan kalian," aku Xander enteng.
Bibir Defnie sontak terbuka lebar tak percaya lalu dikerucutkan masam. "Dasar kakak ipar licik," umpat Defnie meledek Xander.
"Apa kau bilang? Aku yang perhatian dan tampan ini kau bilang licik." Kedua netra Xander menyipit tak terima.
Namun, bagi Defnie sikap Xander saat ini terlihat menggemaskan. Tawa lepas pun menguar dari belah ranumnya. Sementara, Xander merasa bangga jika bisa kembali membawa tawa puan yang sebelumnya sedang bersedih.
"Terus seperti ini, Def," tutur Xander mengalir begitu saja.
"Maksudmu?" tanya Defnie tak mengerti maksud ucapan Xander barusan.
"Kau sangat cantik saat tertawa."
Pujian dari Xander yang diiringi tatapan syahdu ke arah sang puan, sukses membuat jantung Defnie seketika berdebar hebat. Bahkan momen yang ia rasakan nyaris sama saat Defnie sedang bersitatap dengan mendiang suami, Evander.
"Kak. Aku—"
"Apa yang sedang kalian lakukan?" Suara wanita tiba-tiba menginterupsi dengan lantang seiiring presensinya semakin mendekat.
"Mama!" Xander sontak menoleh seraya terperanjat.
"Sial, aku lupa merubah password," umpat Xander spontan dalam batin.
Selain Vico sang sahabat, Xander juga mempercayakan password elevator pribadi menuju Penthouse kepada sang mama.
"Apa yang kau lakukan di sini, Ma? Mengapa kau datang tanpa mengabari dulu?" Xander sedikit menaikkan nada bicara. Sejujurnya, pria itu masih kesal imbas sang mama yang mengusir Defnie begitu saja.
"Jangan meninggikan suaramu, Xan. Aku adalah mamamu," sentak balik Laura melayangkan tatapan sengit.
Xander lantas menghela napas pasrah. Bagaimanapun, Laura adalah ibu kandung yang harus senantiasa ia hormati. "Baiklah, maaf. Aku tidak bermaksud seperti itu, Ma. Tapi setidaknya kau kabari aku dulu jika akan berkunjung."
"Cih, kau juga di sini rupanya?" Kali ini nada sinis Laura ditujukan untuk Defnie yang terlihat bergeming di tempat.
"Aku—"
"Jangan katakan apapun, Def," sela Xander kepada Defnie. "Maaf, Ma. Kau tidak berhak ikut campur keputusanku terlebih kau telah mengusir wanita yang dicintai Evan." Xander berujar tegas agar supaya Laura tidak mengusik ranahnya dan juga Defnie.
"Hmm, kau tenang saja, Xan." Laura tiba-tiba berkata dengan enteng seraya mengalihkan pandangan pada jemari lentik berkutek merah miliknya seolah meremehkan. "Bukan aku, tapi masalalumu yang belum usai yang akan membuat gembel ini sadar diri untuk segera meninggalkan Penthouse ini."
"Apa maksudmu, Ma?"
"Xander." Tak sampai sepersekian detik, sapaan lembut Yuna menyeruak di tengah persiteruan.
"Yu-na?" Netra Xander kontan terbelalak saat melihat presensi wanita cantik dengan rambut lurus tergerai indah sebatas tulang belikat yang masih berstatus sebagai istri sah, Yuna Lewis.
"Bisakah kita bicara, Xan? Ada hal penting yang ingin kusampaikan?" pinta Yuna.
"Tidak. Aku tidak memiliki waktu," tolak Xander to the point.
"Jangan begitu, Xan. Yuna masih istri sah mu," bela Laura yang tentu ditujukkan kepada menantu emasnya.
Tak hanya Xander, reaksi terkejut lainnya tergambar jelas di wajah Defnie. Imbas nasib malang yang tengah menimpanya belakangan, Defnie hampir lupa bahwa kakak iparnya sudah beristri.
"Kalau begitu, aku permisi dulu, Kak," pamit Defnie beranjak memberi privasi.
Meski sempat dicegah sang kakak ipar, Defnie tak menghiraukannya dan terus melenggang ke arah elevator untuk keluar dari Penthouse. Namun, ketika elevator hendak tertutup, pintu kembali terbuka otomatis.
"Defnie." Bukan Xander melainkan Laura yang menyusul Defnie dan memintanya untuk bicara secara empat mata.
Hanya anggukan singkat yang Defnie layangkan sebagai tanda persetujuan. Pintu elevator pun tertutup sempurna membawa Defnie dan Laura turun ke lobby.
"Cepat apa yang ingin kau katakan. Aku benar-benar tidak ada waktu meladenimu, Yun," sinis Xander seraya memutar bola mata dengan malas.
"Sekali lagi aku minta maaf atas perbuatanku, Xan. Sungguh, aku menyesal sekarang." Yuna mulai bersandiwara memasang mimik penuh kesedihan. "Aku menyadari bahwa aku mencintaimu dan ingin kembali padamu."
Elmer sontak terkesiap diikuti bimbang mulai menyelimuti benak. Sosok Yuna memang pernah bertahta di hati, lebih tepatnya mengobati patah hati karena Defnie menjatuhkan pilihan pada adiknya.
Tetapi, sayang. Xander menciduk istrinya melakukan kesalahan cukup fatal yang berujung pada gugatan cerai.