“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri di hadapan Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni surga; mereka kekal di dalamnya,”
( Q.S Al-Hud : 23 )
Malam ini Roni, Silvi dan Bunda sudah duduk bertiga di ruang tamu. Ditemani dengan teh hangat dan camilan, mereka tengah membicarakan proses selanjutnya setelah acara lamaran kemarin.
“Jadi bagaimana Sil?” tanya Roni pada Silvi.
“Soal apa, Mas?” jawab Silvi balik bertanya.
“Soal proses pernikahanmu,” jawab Roni.
“Mengenai itu Silvi serahkan sama mas saja,” kata Silvi sembari tersenyum tipis.
“Ya tidak bisa begitu, mas juga harus meminta pendapat Silvi. Yang akan menikah Silvi, jadi mas harus benar-benar melakukannya sesuai dengan kemauan Silvi,” sanggah Roni.
“Silvi percaya pada mas Roni,” putus Silvi membuat kakak lelakinya itu menghela napas panjang, tidak sanggup menyanggah.
“Baiklah kalau begitu,” kata Roni mengalah.
“Mengenai tanggal pernikahanmu, karena ini termasuk pertemuan dan lamaran yang sungguh cepat dan tidak terduga, mas pikir pernikahannya 10 hari dari sekarang, tepatnya tanggal 15 Januari. Bagaimana?” tanya Roni.
Silvi dan Bunda terdiam, mereka terkejut dengan rencana Roni yang bahkan lebih cepat daripada saat memilih baju di pasar.
Roni menautkan alisnya saat melihat kedua wanita di depannya hanya diam saja. Dia pun melanjutkan rencana yang sudah dipikirkannya.
“Soal acara akad nikah, kita adakan di rumah saja. Kita bisa mengadakan acara resepsi kecil-kecilan di halaman rumah kita setelah acara akad selesai. Mengenai undangan pernikahan, Roni sudah menghubungi Slamet, teman mas saat kuliah dulu. Dia sanggup membuatkan undangannya dalam waktu tiga hari. Jadi sebaiknya kamu mulai menyusun siapa saja yang akan kamu undang Silvi!” kata Roni melanjutkan.
Silvi hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tertutup hijab.
“Kata mas ini sebuah pertemuan dan lamaran yang sungguh tidak terduga, tetapi saat mendengar rencana mas, itu terdengar seperti sesuatu yang sangat direncanakan,” ujar Silvi.
Roni hanya tersenyum kecil mendengar ucapan Silvi.
“Tentu saja aku sangat memikirkan dan merencanakannya, Silvi. Kamu adalah adikku yang paling bungsu, sudah jadi kewajiban mas untuk menjadi walimu saat menikah karena ayah dan kakek sudah meninggal dunia.”
Silvi sekali lagi memberikan senyuman tipis untuk Roni.
“Subhanallah, sungguh Silvi merasa beruntung memilikimu mas,” ucap Silvi penuh rasa syukur.
“Alhamdulillah jika kamu berpikir demikian. Sungguh aku ingin melihatmu bahagia, Sil,” kata Roni tertahan, mata lelaki itu mulai berkaca-kaca.
"Tentu saja Silvi bersyukur mas, tidak ada yang lebih membahagiakan dari mempunyai saudara lelaki yang senantiasa memperhatikan saudara perempuannya," ucap Silvi dengan senyuman manis tersungging di bibirnya.
Roni menghela napas panjang.
"Namun kebanyakan para wanita akan tidak senang jika saudara lelakinya ikut campur dalam urusan mereka," elak Roni dengan sedikit merasa sedih.
Silvi mendekat pada Roni dan menepuk pelan tangan saudara kandungnya itu.
"Bagi Silvi mas bukan hanya sebagai saudara, tetapi juga ayah bagi Silvi. Mas yang menjaga Silvi dari gangguan lelaki yang terus merayu Silvi untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Mas pula yang menjauhkan lelaki itu dari Silvi dengan menjadi saudara yang bersikap galak dan tegas. Silvi bersyukur mas, sungguh." kata Silvi meyakinkan.
Roni tersenyum lebar, hatinya lega karena adiknya merasa begitu.
"Berbahagialah adikku, mas akan merasa gagal jika kamu tidak bahagia," ucap Roni.
"Insya'allah, Allah telah pilihkan jodoh terbaik untuk Silvi, Mas. Percayalah ketetapan Allah itu indah," kata Silvi dengan lembut.
Roni mengangguk.
"Mas hanya tidak mau kamu bernasib sama dengan Hafsah, Sil. Mas tidak sanggup melihat wajah mendung dan sok tegarnya itu. Karena itu akan lebih tidak sanggup lagi jika kalian berdua, adik mas, memasang wajah mendung yang sama." Roni masih merasa gusar.
"Ron," panggil Bunda pelan. Wanita paruh baya yang sejak tadi diam itu akhirnya ikut angkat bicara.
"Dalam kehidupan ini, setiap manusia akan diuji. Ada yang hidupnya biasa diuji dengan suami yang kurang tepat, seperti Hafsah misalkan. Ada yang hidupnya sengsara tetapi dianugerahi suami dan anak yang baik. Ada yang hidupnya penuh kekayaan tetapi hatinya kesepian, demikian pula sebaliknya. Semua manusia memiliki ujiannya masing-masing. Janganlah gusar dan resah! Karena manusia tidak bisa memprediksi masa depan makanya harus berusaha dan bertawakal dalam menjalani hidupnya," nasehat Bunda panjang-lebar.
Roni terdiam, mencerna nasehat bunda lalu dia mulai beristigfar karena telah membandingkan kehidupan kedua adiknya tanpa memikirkan bahwa garis hidup manusia itu telah ditetapkan bahkan sebelum manusia itu dilahirkan.
"Astagfirullah, Roni khilaf Bun," ucap Roni tersadar akan kesalahannya.
Bunda tersenyum tipis.
"Tidak apa, Ron. Kini kamu sudah menyadarinya dan itu sudah wajar jika manusia lupa dan khilaf," kata Bunda.
"Benar, Mas!" kata Silvi setuju dengan ucapan Bunda.
"Baiklah, kalau begitu mahar apakah yang engkau inginkan adikku?" tanya Roni melanjutkan pembahasan mereka tentang rencana pernikahan Silvi dan Damar.
Silvi tersenyum sejenak.
"Silvi hanya ingin yang sederhana saja, Mas!" jawab Silvi.
Roni menggeleng pelan.
"Tidak ada mahar yang sederhana adikku, seperti apapun mahar yang engkau pinta, itu akan menjadi tanggunganmu dunia akherat," elak Roni.
Silvi terdiam, dia masih kurang memahami apa yang barusan Roni katakan. Roni tersenyum tipis seolah dia memahami ketidakpahaman yang sedang Silvi rasakan.
"Adikku, maksudku adalah mahar yang suami berikan harus engkau amalkan. Harus kamu gunakan secara benar dan tidak boleh engkau berikan pada suami kembali. Karena mahar itu adalah hak-mu." Roni menjelaskan.
"Jika yang kamu pinta adalah seperangkat alat sholat dan kitab suci Al-qur'an maka kamu harus mengamalkan keduanya, tidak boleh lalai. Jika yang kamu pinta adalah uang, maka pergunakan uang itu untuk keperluanmu yang akan membawamu lebih dekat kepada Alllah Subhanallahu wa Ta’ala. Paham?" kata Roni menambahkan.
Silvi mengangguk pelan.
"Insyallah paham, Mas. Silvi pun akan lebih mempelajari fiqih soal pernikahan agar lebih berhati-hati," kata Silvi mantap.
Roni tersenyum senang.
"Alhamdulillah jika kamu berniat begitu adikku," sahut Roni.
"Kalau Bunda dulu sih cincin emas saja," celetuk Bunda.
Roni dan Silvi menoleh bersamaan pada Bunda dengan wajah heran.
"Mengapa begitu, Bun?" tanya Roni.
"Bunda takut lalai mengamalkan jika maharnya seperangkat alat sholat dan Al-qur'an," jawab Bunda sambil tersenyum geli.
Roni dan Silvi mendadak bermuka datar.
"Bunda,"
"Ya?"
"Terbaik dah kalau urusan kehati-hatian," puji Silvi setengah menyindir.
Bunda hanya terkekeh.
"Lebih baik mencegah daripada mengobati, Sil!" elak Bunda.
"Eh, itu slogan apa ya," kata Bunda sambil mencoba mengingat-ngingat.
Roni hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Lagi serius malah ngelawak," gumam Roni.
Bunda tergelak sekali lagi, wanita paruh baya itu tertawa lepas sembari menutup mulutnya dengan tangan.
"Kalau terlalu serius nanti stress, Ron!" kata Bunda beralasan.
"Iyadah," sahut Roni mengalah.
Bunda pun mendekati Silvi dan mengelus-ngelus pipi anak perempuannya itu.
"Anakku, setelah akad nanti kamu bukan lagi tanggungjawab Bunda. Kamu akan sepenuhnya menjadi tanggungjawab suamimu. Maka berbaktilah engkau kepadanya dan janganlah sampai kamu melawannya tanpa alasan yang diperbolehkan agama. Kamu mengerti sayang?" pesan Bunda.
Silvi hanya mengangguk dengan wajah yang mulai berlinang air mata. Roni yang menyaksikan adegan itu pun juga tidak bisa menyembunyikan rasa haru yang tengah dirasakannya.
"Ngomong-ngomong, Silvi kok cepet nikah sih? Padahal rasanya baru kemarin bunda ganti popok Silvi," kata Bunda yang kemudian disambut oleh wajah datar Silvi.
"Yang nanyain dan nyuruh Silvi cepet nikah tiap hari siapa coba? Yang ngebet jodohin Silvi siapa hayo? Giliran udah mau nikah malah bilang gitu. Labil deh!" gerutu Silvis sedikit heran dan kesal.
Bunda tertawa geli sekali lagi.
"Ya kan cuma nanyain, nggak maksa tuh!" elak Bunda.
"Apanya yang nggak maksa, Bun? Jika ditanya terus begitu, itu artinya Bunda sudah kode-kode, itu pemaksaan yang halus lho!" ujar Silvi menyanggah elakan Bunda.
"Nggak, kok! Bunda kan cuma mengungkapkan keinginan, selebihnya ya terserah Silvi." Bunda bersikeras.
"Hm." Silvi terdiam, kehilangan kata-kata untuk melawan Bunda.
Bunda yang melihat Silvi sudah tidak bisa melawannya, tersenyum puas.
Wanita paruh baya itu tiba-tiba memeluk Silvi erat.
"Bunda sayang Silvi," ucapnya membuat Silvi tidak sanggup lagi menahan air matanya.
"Silvi juga sayang Bunda," balas Silvi.
Keduanya berpelukan dengan erat. Sementara itu Roni hanya tersenyum tipis melihat Bunda dan adik perempuannya saling berpelukan dengan tangis bahagia dan mengharukan yang pecah.
Bun, Roni tahu bahwasanya tidak ada yang lebih berat bagi seorang ibu daripada saat melepas anak perempuannya untuk menikah. Maka untuk engkau yang sudah melahirkan aku dan Silvi, bagi kami, selamanya engkau adalah Surga. Roni membatin.