Bab 6

1902 Kata
    Mataku mengedarkan pandangan mencari sosok Azel, tapi di sudut mana pun, sosoknya masih belum dapat kutemukan.     Apa mungkin Azel ada di ruangan lain? Apa mungkin Azel datang terlambat? Atau mungkin hari ini Azel tidak hadir?     “Lula?” panggil seseorang.     Kepalaku menoleh ke arah pintu, di mana suara tersebut berasal. Sekarang kudapati Fanda tengah tersenyum lebar kepadaku seraya berjalan mendekat ke arahku.     “Hai, lo ngapain di sini?” tanyaku bingung.     “Gue kan anak UKM ini,” jawabnya yang membuatku mengangguk. “Jangan-jangan lo ikut UKM ini juga? Nggak nyangka gue.” Fanda menampakkan ekpresi terkejut yang membuatku terkekeh.     “Iya, gue ikut Sinematografi. Kenapa, sih?” tanyaku bingung sendiri.      Memangnya kenapa kalau aku ikut sinematografi? Kenapa Fanda sepertinya kaget sekali gitu? Apa ada yang salah?     Walaupun aku bukan pecinta 'sinematografi' atau semua yang berhubungan dengan perfilman, tapi aku suka sama Azel. Kurasa itu adalah alasan yang cukup untukku memasuki UKM ini. Ya. Aku rasa begitu.        “Gue nggak nyangka aja, Lul. Karena—”     “Sore semua.” Sebuah suara berat memotong ucapan Fanda. Jantungku kini rasanya seperti dipukul layaknya sebuah gong dan menghasilkan getaran yang tiadak henti ketika mendengar suara tersebut.     Perasaanku mendadak jadi tidak enak.     “Nah, karena itu.” Fanda menunjuk ke arah pintu dengan dagunya, di mana suara tersebut berasal. Kini aku menolehkan kepalaku ke arah tersebut. Dan di sana, di depan pintu, kulihat sosok Aric tengah berjalan menuju ke depan kelas. Sosoknya terlihat begitu mengintimidasi.     Astaga, apa yang Aric lakukan di sini? Bukan, apa yang aku lakukan di sini? Kenapa aku bisa ada di sini, di tempat di mana Aric berada?      “Ngapain Aric di sini?” tanyaku panik seraya menoleh ke arah Fanda.     “Lo nggak tau? Dia kan ketua UKM ini, Lul. Emang kemarin gue nggak bilang ke lo?” tanya Fanda balik.     Aku kembali mengingat percakapanku dengan Fanda kemarin. Dan kurasa Fanda tidak mengatakan jika Sinematografi adalah tempat di mana Aric berada. Tapi sepertinya ada orang yang pernah berkata kepadaku jika ingin menemui Aric, aku bisa datang ke basecamp Sinematografi. Aku sungguh melupakan hal penting itu. Ya Tuhan, kenapa aku bodoh sekali? Entah mengapa aku seperti tengah menggali kuburanku sendiri.     “Pinka?” tanyaku memandang ke arah Pinka yang kini ikut memasuki ruangan ini.     “Dia juga. Di mana ada Aric, di situ ada Pinka,” jawab Fanda santai.     “Kai juga?” tanyaku kaget ketika melihat Kai tiba-tiba memasuki ruangan ini. Bahkan Kai sudah tersenyum lebar ke arahku dan Fanda ketika melihat ke arah kami. Dia pun melambaikan tangan kepada kami.     “Yap.” Fanda membalas lambaian tangan dari Kai.     Aku mengembuskan napas panjang. Astaga. Kenapa aku bisa berada di sini?     “Azel?” tanyaku lagi menoleh ke arah Fanda. Fanda yang kini sudah duduk di sebelahku menggelengkan kepala.     “Dia bukan anak sini, dia anak fotografi,” jawabnya.     “Tapi waktu ekspo kemarin, Azel ngasihin formulir pendaftaran dan jaga stand di UKM ini,” kataku mengingat ketika Azel menyodoriku formulis pendaftaran UKM ini.     “Ya kan bukan berarti dia anak UKM ini, Lul. Gue aja kemarin sempet bantuin jaga stand UKM Teater gara-gara anak-anaknya ada jadwal kuliah,” katanya tertawa pelan.     Ya, saling bantu membantu. Kenapa tidak?     “Ya udah deh, gue cabut dulu.” Mataku mengerling ke arah depan, di mana Aric, Pinka dan Kai berada. Kini Kai tengah memperkenalkan diri ke para anggota baru. Aric dan Pinka hanya berdiri di samping Kai. Mereka berdua tadi sudah memperkenalkan diri terlebih dahulu.     “Kenapa cabut?” tanya Fanda terdengar bingung.     “Tempat ini kayak neraka,” jawabku memandangnya horror.     “Neraka?” tanya Fanda dengan nada geli. Aku mengangguk yang malah membuat Fanda terkekeh.     Aku harus segera pergi dari sini sebelum Aric melihatku. Sudah cukup siksaan yang Aric berikan, aku tak ingin tambah lagi. Apa pun yang berhubungan dengan Aric sangatlah mengandung risiko. Jadi, sebaiknya aku cepat menyelamatkan diri sebelum semuanya terlambat.     Kemudian aku bangkit dari posisi dudukku, berniat pergi dari ruangan ini. Namun sebelum sempat melangkah ke arah pintu yang berada di samping kananku, kudengar seseorang memanggil namaku.     “Nah, Lula si biduan kampus, silakan memperkenalkan diri!” seru suara dari arah depan. Seketika kudengar tepuk tangan dan sorakan dari sekitarku.     Kai!     “Ayo Lul, maju ke depan," kata Kai lagi yang membuatku melotot ke arahnya. Kudengar derai tawa dari arah sebelahku. Fanda menertawakanku.     “Nggak, gue balik duduk aja,” jawabku cengengesan seraya duduk kembali.     Seharusnya aku mengumpulkan informasi terlebih dahulu sebelum aku benar-benar masuk ke UKM ini. Bagaimana bisa aku terjebak di sini, di mana Azel tidak ada? Apalagi di sini ada Aric. Benar-benar tamat riwayatku.     “Iya maju sini, ke depan,” kata Aric tiba-tiba memandang ke arahku dengan tatapan tak peduli.     Habis aku.   Aku ingin sekali menolak, tapi aku masih sayang nyawa. Jadi aku mengangguk. “Iya, ini maju,” jawabku dengan takut-takut.     Ragu-ragu aku mulai bangkit dari posisi dudukku. Kutolehkan kepalaku ke arah Fanda yang duduk di sebelahku untuk meminta pertolongan. Namun Fanda hanya terkekeh, menertawakanku. Pandanganku beralih ke arah depan. Kini kulihat Kai tersenyum lebar ke arahku sambil bertepuk tangan menyambut kehadiranku di sana. Pinka memandangku malas sambil memainkan rambut panjangnya yang selalu tampak indah. Sedangkan Aric, aku tak berniat memandangnya.     Kini aku sudah berjalan menuju ke arah depan. Kurasakan banyak pasang mata tengah memandang ke arahku. Dan kurasa, Aric pun sekarang tengah mengamatiku. Aku hanya bisa menunduk dan menyesali keberadaanku di sini. Aku masih tidak paham kenapa aku bisa seapes ini, sih?     “Ric!” Panggilan itu berasal dari arah pintu. Segera aku menoleh ke arah tersebut. Di sana sudah ada Azel yang kini tengah memandang ke arah depan kelas, di mana Aric berada. Setelah itu kulihat Aric berjalan keluar dari ruangan ini untuk menghampiri Azel. Dan tentu, Pinka pun mengekor di belakang Aric.     Azel menyelamatkanku.     “Lul, sini cepetan,” seru suara dari arah depan. Aku menoleh ke arah sana dan kudapati Kai tengah memberiku kode agar segera berjalan ke arahnya.     Tidak, aku tidak akan maju ke depan. Mumpung Aric sudah tidak ada di sini, aku harus kabur. Aku harus segera pergi dari tempat ini sebelum Aric kembali.     “Maaf, Kai. Gue pamit dulu. Bye!" kataku cepat seraya berjalan kembali ke kursiku tadi.     “Lo kenapa, sih?” tanya Fanda terdengar bingung ketika aku sudah kembali ke kursiku.     “Gue lagi mencoba menyelamatkan diri. Gue harus pergi sebelum Aric balik. Gue mau hidup tenang di kampus ini tanpa bayang-bayang Aric,” kataku seraya mengambil tas yang berada di kursi. “Gue duluan, Fan. Bye.”     Kemudian aku berjalan ke arah pintu berada. Membayangkan satu UKM dengan Aric sudah begitu menakutkan begini. Kalau aku tinggal di sini, bisa-bisa aku mati karena tekanan batin. Ketika kakiku hendak melangkah keluar dari pintu ruangan ini, tiba-tiba ada sebuah tangan yang menghadangku. Seketika aku berhenti dan mendongak memandang pemilik tangan tersebut.     MATI GUE.     INI ARIC!     “Mau ke mana?” tanyanya memandangku dengan kernyitan di dahi.     “Mau ... mau ... mau ... itu,” jawabku bingung sendiri.     “’Apa?” tanyanya lagi santai dengan tatapan tajam ke arahku.     “Pulang,” jawabku lirih.     Kulihat Aric menaikkan sebelah alisnya. Sumpah, aku benar-benar ingin segera pergi dari sini. Aku tak sanggup lagi jika harus berhadapan dengan Aric seperti ini. Karena rasanya seperti mau meninggal!     “Jadi gini,” kataku kepadanya. Kini kutarik napas panjang sebelum aku melanjutkan perkataanku. “Gue lagi mens. Terus tembus. Gue nggak bawa pembalut. Jadi gue mau balik. Gitu,” kataku sangat cepat tanpa banyak berpikir.     Aric menelengkan kepalanya dan menatapku bingung. “Ha?” ucapnya.     “Bye,” kataku mendorong tangannya agar aku bisa lewat. Setelah itu, segera aku berlari meninggalkan Aric.     “Hei! Balik lo sini!” teriak Aric.     “Nggak!” teriakku balik, berlari semakin kencang.     Aku tak peduli apa yang akan terjadi denganku besok. Yang penting, hari ini, detik ini, aku selamat. ***     Kini aku berada di kantin. Harusnya aku langsung pulang setelah kejadian tadi. Tapi ya bagaimana, aku haus gara-gara lari menghindar dari Aric.     Kenapa aku jadi sial begini, sih?     Aku kira, untuk bertemu dan bernostalgia dengan Azel akan sangat mudah sekali. Aku hanya tinggal masuk ke kampus ini dan selesai, semuanya beres. Tapi ternyata tidak. Aku harus berhadapan dengan Aric yang sejak awal menjadi penghalang di antara aku dan Azel. Belum lagi Azel yang ternyata tidak mengingatku. Aku tak tahu jika semuanya akan menjadi sesulit ini.     Tiba-tiba seseorang kini telah duduk di hadapanku. Seketika kutegakkan badanku dan memandangnya kaget.     “Azel,” ucapku memandangnya dengan tatapan tak percaya.     “Oh hai,” katanya seraya menaruh kamera di atas meja. “Gue duduk sini nggak apa-apa kan? Mejanya penuh semua.”     Sontak aku menyisir meja-meja yang memang sudah penuh terisi mahasiswa yang tampak pada kelaparan. Meskipun sudah sore ternyata kantin tetap ramai. “Nggak apa-apa. Nggak apa-apa banget,” balasku tersenyum ke arahnya.     Azel tersenyum kecil dan mengangguk.     “Jadi, lo nggak ikut UKM sinematografi ya?” tanyaku kepadanya.    Azel menggelengkan kepala. “Enggak. Gue ikut fotografi,” jawabku cepat.     “Gue kira lo ikut sinematografi,” kataku dengan decakan sebal.     Azel kembali tersenyum dan menggelengkan kepala. Aku sendiri kini sudah cemberut karena telah salah mengira bahwa ia anak sinematografi sehingga aku mengikuti UKM tersebut yang malah membuatku bertemu dengan Aric.     Sebenarnya aku masih penasaran kenapa Azel tidak mengingatku. Dan hal tersebut membuatku kesal, juga sedih.     “Apa lo pernah gagar otak terus hilang ingatan?” tanyaku kepadanya.     Azel tampak bingung dengan pertanyaanku itu.     “Amnesiaaaa ...?” tanyaku lagi.     “Nggak pernah, Lul,” jawabnya sambil terkekeh.     “Atau nggak, kepala lo pernah terbentur tembok? Atau terbentur lantai, lemari, pintu, kulkas, tiang listrik?” tanyaku.     Azel menggelengkan kepala dan kembali terkekeh.     “Atau mungkin kepala lo pernah kena jitak sampai bikin lo lupa banyak hal?” tanyaku lagi tak mau menyerah.     “Nggaklah,” jawabnya dengan ekspresi geli. Seolah pertanyaanku itu sangatlah aneh.     Aku menaikkan sebelah alisku. “Yakin?” tanyaku.     Azel menganggukkan kepala. “Iya, yakin,” jawabnya mantap.     “Masa, sih?” tanyaku masih tak mempercayai ucapannya.      “Kenapa nanya hal kayak gitu? Aneh tau,” ucapnya malah tertawa.     Ya gimana, aku kan penasaran. Bagaimana mungkin Azel bisa melupakanku semudah itu? Apa aku sebegitu tak berartinya sehingga ia tak mengingatku sama sekali?     “Penasaran aja, habis kayaknya lo pelupa banget,” kataku seraya menggelembungkan kedua pipinya.     “Pelupa gimana?” tanyanya penasaran.     “Ya gitulah pokoknya,” jawabku sebal.     Kulihat Azel malah terkekeh dan menggelengkan kepala. Sepertinya Azel terhibur dengan diriku yang sedang kesal.     Kenapa malah seneng, sih?     “Heh lo!”      Terdengar teriakan dari arah belakang Azel. Seketika aku dan Azel menoleh ke arah tersebut. Kulihat beberapa orang yang berada di kantin pun melakukan hal yang sama.     Kini, di ujung kantin, terlihatlah sosok Aric yang sedang berjalan ke arahku. Matanya bahkan menatapku tajam.     “Mati gue,” gumamku panik.     Kenapa Aric selalu muncul di saat-saat tidak tepat, sih?     “Zel, gue pergi dulu,” kataku cepat-cepat seraya bangkit dari posisi dudukku.     “Mau ke mana?” tanya Azel bingung.     “Menyelamatkan diri. Bye!”     “Diem di situ, jangan lari!” teriak Aric lagi menunjuk ke arahku. Bahkan sekarang ia sudah mempercepat jalannya agar segera sampai ke mejaku.     "Sorry, Ric! Gue harus pergi. Ada keadaan darurat!” kataku setengah berteriak.     “Jangan lari!” teriak Aric lagi yang tentu saja kuabaikan. Sekarang aku sudah berlari meninggalkan kantin, juga Azel. Lihat kan, di saat aku sudah bisa mengobrol santai dengan Azel, Aric selalu jadi pengganggu.     Sungguh sangat menyebalkan sekali!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN