Kembali ke Kelas, Kembali ke Realita.

1293 Kata
Sampai detik berikutnya, Rani datang dari belakang, menepuk bahu Nayla keras-keras. “Lo tadi salah sebut ‘date’ ya?” “Diam, Ran ....” “Lo liat gak? Mukanya Pak Adrian kayak nahan ketawa tadi.” Rani tertawa puas. Lalu, sambil menatap temannya dengan ekspresi mengintimidasi manis, dia berujar pelan, “Lo jatuh cinta beneran, Nay.” Nayla diam. Senyum muncul di sudut bibirnya—entah karena tuduhan itu benar, atau karena ia belum mau mengakuinya bahkan pada dirinya sendiri. *** “Lo jatuh cinta beneran, Nay.” Kalimat itu masih terngiang-ngiang di kepala Nayla sepanjang perjalanan pulang. Padahal Rani mengatakannya sambil cengengesan dan menepuk pundaknya—seolah itu cuma candaan—tapi efeknya sungguh serius. Nayla belum siap menjawabnya, bahkan untuk dirinya sendiri. Jatuh cinta? Pada Adrian? Lucu. Mustahil. Aneh. Dan justru karena ketiga hal itulah, Nayla panik. Selama tiga hari setelah itu, dia benar-benar menghindari semua yang berbau Adrian. Melewatkan jam makan siang di ruang dosen, sengaja mengatur jadwal lab supaya tak bertemu, bahkan pura-pura sibuk saat Adrian lewat. Masalahnya? Dunia sepertinya sedang kompak untuk menjodohkan mereka. Sejak insiden slip of the tongue di kelas—yang membuat kata “date” keluar begitu saja dari mulutnya—Nayla memutuskan satu hal: menghindari Adrian sebisa mungkin. Sayangnya, dunia tidak memihaknya. “Pak Adrian minta kamu bantu data skripsi angkatan bawah,” kata Bu Sri, staf akademik jurusan, dua hari kemudian. “Pak Adrian nitip absen seminar ke kamu juga ya, Nay,” tambah Bu Yuni, dosen lain. “Pak Adrian nanya, kamu udah makan?” Itu dari Fani. Entah kenapa Adrian mulai menitip pesan-pesan pribadi lewat teman-temannya sekarang. Nayla frustrasi. “Dia dosen, atau ibu kos sih?” Fani hanya terkikik. “Atau pacar diam-diam lo?” Nayla melempar notes ke arahnya. Namun sekeras apapun Nayla mencoba menghindar, realita berkata lain. Namanya selalu muncul di daftar tugas Adrian. Mulai dari bantu input data survei, koreksi tugas-tugas presentasi, bahkan jadwal seminar internal jurusan—semuanya seolah tak bisa lepas dari perintah sang dosen. Awalnya Nayla mengira itu kebetulan. Tapi setelah seminggu berturut-turut berurusan dengan laki-laki itu, dia mulai curiga. Apalagi ada hal-hal kecil yang membuat hatinya goyah. *** Suatu pagi, saat Nayla terburu-buru ke kampus tanpa sempat sarapan, Adrian menyodorkan sepotong roti gandum dan kotak kecil berisi vitamin C. “Wajah kamu pucat. Makan ini dulu. Jangan kerja kalau belum sarapan,” ucapnya tanpa basa-basi. Nayla nyaris kehilangan kata. “Pak, saya bukan anak TK .…” “Kalau kamu pingsan di ruang jurusan, saya juga yang repot,” katanya, lalu pergi begitu saja. Di kesempatan lain, Nayla terlambat masuk ruang seminar karena harus print materi. Saat masuk dengan napas ngos-ngosan, Adrian hanya menatap jam tangannya lalu menggeser botol air mineral ke arahnya. “Tarik napas. Duduk. Jangan panik,” ucapnya tenang, seperti sudah hapal betul kebiasaan Nayla yang selalu kepanikan saat diburu waktu. Kebaikan-kebaikan kecil itu perlahan menghancurkan dinding yang berusaha Nayla bangun. Bahkan kadang Nayla ingin percaya, mungkin ... mungkin ada sesuatu yang berbalas. *** Malam itu, Nayla sedang di ruang perpustakaan lantai tiga, membantu koreksi data bimbingan mahasiswa lain. Adrian duduk di seberang, membaca satu bundel proposal dengan kaca mata bulat tipis yang jarang dia pakai di kelas. Nayla menunduk dalam-dalam. Kacamatanya itu terlalu bahaya. Cowok ini makin kelihatan seperti karakter utama novel romansa kampus. “Gimana data observasi si Anya?” tanya Adrian, tanpa menoleh. “Valid, Pak. Tapi analisis teorinya kurang kuat,” jawab Nayla, mencoba netral. Adrian mengangguk. “Tolong ditulis catatan koreksinya. Kamu bisa bantu dia revisi juga ya.” “Baik, Pak.” Hening beberapa saat. Hanya suara kipas dan gesekan kertas. Lalu Adrian berkata, suaranya lebih pelan. “Terima kasih ya, Nay.” Nayla mendongak. “Untuk apa?” “Bantuin semua ini. Kamu mahasiswa, bukan staf kampus. Tapi kamu kerja lebih cepat dari mereka.” Nayla tersenyum tipis. “Saya anggap ini magang tanpa gaji aja, Pak.” Adrian tersenyum kecil. “Kalau bisa digaji, saya kasih.” Mereka tertawa. Malam itu berjalan lebih ringan dari biasanya. Tak ada ketegangan. Tak ada canggung. Hanya dua orang yang perlahan merasa nyaman di kehadiran satu sama lain. Jam menunjukkan pukul 21.15 saat Nayla akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Ia mengemasi tas, menyampirkan jaket denim tipis. “Saya pulang dulu ya, Pak.” "Saya antar, sekalian cari makan." *** Malam itu, Jakarta gerimis ringan. Hujan tipis-tipis seperti soundtrack lembut yang mengiringi langkah Nayla menuju sebuah restoran kecil di sudut Blok M. Tempatnya bukan restoran mahal atau kafe Instagramable, tapi warung makan rumahan bergaya vintage yang tenang dan nyaman. Nayla melangkah masuk. Begitu melihat interior warung makan itu yang penuh kursi kayu dan lampu remang hangat, dia langsung ingin balik kanan. “... Saya baru ke sini.” Dan seolah semesta ikut mengoloknya, Adrian muncul dari sisi kiri restoran—dengan kemeja polos digulung ke siku dan celana chino santai. “Wah,” komentarnya sambil tersenyum. “Serius?" Nayla memelototinya. “Saya kira kita mau dinner proper.” Adrian menarikkan kursi untuknya. “Ini proper. Buat saya, makan nasi goreng yang enak lebih penting daripada steak 500 ribu yang rasanya kayak ban sepeda.” Nayla duduk, masih dengan wajah separuh malu. “Kalau gitu ... saya pesan es teh tawar aja.” Mereka memesan makanan. Adrian memilih nasi goreng kambing favoritnya, Nayla akhirnya menjatuhkan pilihan pada mi goreng telur. Pelayan pergi, menyisakan dua orang yang biasanya ngobrol soal teori komunikasi ... kini hanya bisa saling menatap dan menahan gugup. “Ini rasanya absurd ya,” ujar Nayla sambil menatap gelas. “Yang mana?” “Dinner sama dosen sendiri. Di warung makan. Setelah tertukar koper dan tahu ukuran pakaian masing-masing.” Adrian tertawa. “Kalau kamu pikir ini absurd, tunggu sampai kamu tahu saya dulu pernah ngajak seseorang date ke pameran keramik.” “Kenapa keramik?” “Saya kira estetik. Ternyata dua jam liatin piring. Nggak ada yang mau diajak ngedate lagi sesudah itu.” Nayla terkikik. “Jadi saya ini korban selanjutnya?” Adrian menggeleng. “Kamu beda. Kamu bikin saya lupa kalau ini hal yang nggak seharusnya terjadi.” Makanan datang. Aroma nasi goreng kambing yang kuat langsung memenuhi meja. “Kalau kamu tahu betapa seringnya saya makan junk food belakangan ini, kamu pasti kasihan,” ujar Adrian sambil menyendok makanannya. “Kalau tahu begitu, saya bikinin bekal tadi siang,” balas Nayla sambil menyuap mi-nya. “Beneran?” “Ya ... kalau kamu baik-baik ngomong.” Adrian menatapnya sesaat. “Nayla.” “Heum?” “Bikinin saya bekal besok.” Nayla hampir tersedak es tehnya. “Itu ... permintaan atau perintah akademik?” “Permintaan dari seseorang yang suka rasa rumahan. Dan suka kamu.” Seketika Nayla membeku. Adrian menyambung cepat, “Suka sebagai ... teman makan. Teman ngobrol. Teman ... yang bukan mahasiswa.” Nayla menatap piringnya. “Saya nggak janji masakan saya enak.” “Kalau kamu masaknya pakai senyum kayak sekarang, saya yakin rasanya bakal susah dilupain.” Malam makin larut. Mereka selesai makan, dan memutuskan berjalan kaki sebentar ke arah halte terdekat. Hujan masih rintik-rintik. Adrian memayungi mereka berdua. Nayla berjalan di sampingnya, sedikit canggung tapi hangat. “Jadi ...,” kata Nayla sambil memandangi aspal basah, “kita ini sekarang apa?” Adrian menatap ke depan. “Kita ... lagi cari tahu. Tapi jujur aja, Nayla, kamu satu-satunya orang yang bikin saya mau tahu lebih banyak.” Nayla berhenti sebentar, lalu menatapnya. “Saya juga.” Adrian mengangkat alis. “Kamu juga bikin saya penasaran?” “Bukan. Maksud saya ... saya juga suka kamu.” Mereka saling berpandangan. Hujan membingkai mereka seperti adegan film indie yang terlalu sempurna untuk disebut kebetulan. Dan saat itu, tidak ada dosen. Tidak ada mahasiswa. Tidak ada batas. Hanya dua hati yang mulai belajar bicara jujur—di bawah satu payung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN