13. Capek dan Malu

1877 Kata
"Siksaan model baru lagi hari ini?" tanya Yuta dengan nada menyindir saat Dani membawanya pergi dengan mobil tanpa memberi tahu tujuan mereka. Dani melirik sebal sambil memutar bola matanya. “Nada lo gitu amat deh.” Yuta memilih tidak menanggapi ucapan Dani. Dibawa ke mana-mana dan diminta melakukan hal-hal aneh setiap hari oleh Dani sudah mulai jadi hal yang biasa bagi Yuta. Tidak ada hari tanpa siksaan dari lelaki itu. Terkadang rasanya mau menangis, tetapi Yuta menguatkan hati jika ini adalah jalannya menuju kesuksesan. Sebenarnya bukan hanya Yuta yang tersiksa, Dani pun tertekan. Pekerjaan utamanya kini beralih. Bukan lagi mengurusi Lauritz 24 jam sehari, tetapi gadis cerewet dan keras kepala yang sering banyak tanya pula. Pekerjaan Dani sendiri dialihkan kepada asisten junior di bawah bimbingan lelaki itu, Yoga namanya. Yoga sudah dua tahun ikut bekerja bersama Lauritz dan telah cukup paham seluk-beluk keseharian pemuda itu. Jadi, setidaknya Dani bisa sedikit lega. "Hari ini lo mulai kerja," ujar Dani tanpa ditanya. Mendengar kata ‘kerja’ Yuta langsung merasa heran sekaligus antusias. "Bukannya aku masih belum siap kerja?" "Percobaan dulu aja." "Kerjanya di mana?" "Ikut aja. Nanti juga tahu,” balas Dani malas. “Gue jelasin juga percuma, lo enggak tahu banyak daerah Jakarta, 'kan?" Yuta mengangguk. Harus dia akui perkataan Dani memang benar. Yuta belum banyak tahu daerah di Jakarta karena dia baru berada di sini sekitar empat bulan. Masih diliputi penasaran, Yuta bertanya lagi, "Kerjaan apa yang harus aku lakuin hari ini?" "Ada dua kerjaan buat hari ini,” ujar Dani sambil melemparkan tatapan misterius ke arah Yuta. “Pertama kerjaan capek tanpa malu, kedua kerjaan yang capek dan bikin malu juga." "Hah?" Sontak saja Yuta mendelik ngeri. Apa pula maksud ucapan Dani barusan? Dani seolah tidak peduli dengan keterkejutan Yuta. Dia malah melanjutkan dengan santai, "Lo pilih aja mau yang mana duluan." “Capek dan buat malu seperti apa?” Meski tahu kemungkinan besar Dani tidak akan menjelaskan dengan murah hati, malah mungkin bisa marah-marah, Yuta tidak takut lagi untuk bertanya. Dia tahu, mulut Dani memang pedas dan galak, tetapi sebenarnya lelaki itu baik. “Nanti juga tahu.” Dani mengangkat bahunya cuek. “Pilih aja mau yang mana dulu." Yuta terdiam cukup lama. Pertanyaan Dani sangat sulit untuk dijawab, dia tidak tahu harus memutuskan yang mana. Dua-duanya sama-sama tidak mengenakkan. Akhirnya, Yuta memutuskan. "Yang enggak bikin malu." "Oke!” Dani mengangguk puas. “Sesuai niat gue semula." Selanjutnya, tidak ada pembicaraan lagi. Sepanjang perjalanan, Yuta sibuk menebak-nebak pekerjaan apa yang akan menantinya. Sekitar 30 menit kemudian, mobil Dani berhenti di depan sebuah ruko. Yuta mengikuti Dani turun tanpa bertanya sama sekali. Ketika memasuki bagian dalam ruko, Yuta mengamati sekeliling dan kembali coba menebak. Namun, tidak ada dekorasi spesifik yang dapat dijadikan petunjuk. Dani melenggang santai menaiki tangga dan menyapa ceria sosok wanita yang ditemuinya di lantai atas, "Hai, Sayang!" "Hai, Ann!” balas wanita dengan penampilan eksentrik yang langsung berdiri menyambut Dani. “Tambah cerah aja kamu." Dani terkikik centil. "Bisa aja deh kamu!" "Mana orang yang katanya mau kamu bawa ke sini?" tanya wanita itu celingukan. Dani menoleh ke belakang dan hanya menemukan udara kosong di sana. Segera saja mulut cerewetnya mengoceh, "Eh, itu anak bukannya naik!” Dani melongok ke bawah tangga dan berteriak tidak sabar, "Maharani! Sini naik!” Ragu-ragu Yuta menaiki tangga. “Kenalin, ini Madam Ladiva." Dani menarik lengan Yuta begitu gadis itu tiba di lantai atas. “Hai!” sapa wanita yang Dani perkenalkan sebagai Madam Ladiva. “Siapa nama kamu?” “Saya Yuta,” ujar Yuta gugup. Diliriknya penampilan Ladiva yang mencolok. Pakaian serba hitam, riasan wajah tebal yang terkesan seram, tetapi senyumnya terlihat baik. “Seperti yang sudah Ann sebutkan, saya Madam Ladiva,” ujar Ladiva ramah. “Sudah siap untuk pelajaran hari ini?” Sontak saja Yuta celingukan. “Pelajaran apa?” “Ann belum jelaskan apa-apa sama kamu?” tanya Ladiva heran. Yuta melirik Dani, lalu menggeleng pasrah. “Belum.” “Langsung dicoba aja,” ujar Dani santai. “Oke! Yuk, masuk!” Ladiva mengajak Yuta menuju satu pintu yang berada di lantai 2. “Ann …,” bisik Yuta lirih. “Sana masuk!” usir Dani kejam. “Kamu enggak ikut masuk?” tanya Yuta senewen. “Enggak. Gue tunggu di sini aja,” tolak Dani malas. “Aku takut,” desah Yuta gusar. Dani mendelik tidak sabar. “Takut apa?” “Di dalam ada siapa lagi?” tanya Yuta curiga. Siapa tahu saja di dalam ada kejutan lain yang menunggunya. “Enggak ada siapa-siapa!” Dani menggeleng tidak sabar. “Lo cuma berdua sama Madam Ladiva.” “Yuta! Ayo, masuk!” teriak Ladiva dari dalam. “Temani aku, tolong …,” pinta Yuta ketakutan. “Ribet deh, ah!” desis Dani sebal, tetapi akhirnya menuruti juga permintaan Yuta. “Ayo!” Begitu masuk ke dalam, Yuta melihat sebuah ruangan cukup besar berlantai kayu dengan beberapa alat musik tertata rapi di dalamnya. “Silakan bernyanyi!” ujar Ladiva tiba-tiba. “Nyanyi?” Yuta melongo bodoh. Dia sama sekali tidak menduga kalau akan diminta bernyanyi. Pikirnya mungkin ia akan disuruh berlenggak-lenggok atau melakukan hal-hal aneh lainnya. Ladiva mengangguk santai. “Saya mau coba dengar suara kamu.” “Nyanyi apa?” tanya Yuta bingung. “Apa saja. Bebas.” “Cepetan!” Dani mendorong bahu Yuta tidak sabar. “Tapi lagu apa?” tanya Yuta putus asa. Kepalanya kosong, sama sekali tidak ada daftar lagu di sana. “Ya apa aja!” desis Dani gemas. “Masa lo enggak tau satu lagu juga yang ada di muka bumi ini?” “Aku hanya tahu lagu-lagu lama,” bisik Yuta ragu. “Ya udah nyanyi aja!” desak Dani. Akhirnya, Yuta menyanyikan lagu pertama yang melintas dalam benaknya. “Bintang kecil di langit-” Namun, baru beberapa kata Yuta menyanyi, Dani langsung menghentikannya dengan galak. “Kenapa malah nyanyi lagu itu?” “Kan udah aku bilang, aku cuma tahu lagu lama,” jawab Yuta pasrah. “Ya enggak lagu itu juga kali!” sahut Dani geram. “Itu sih bukan lagu lama tapi lagu bocah!” Melihat perdebatan antara Yuta dengan Dani, Ladiva hanya menggeleng geli. “Lagu lain masa tidak ada?” Yuta terlihat berpikir-pikir sejenak. “Jangan lagu anak-anak lagi!” Dani memperingatkan dengan galak. Akhirnya, Yuta kembali bernyanyi. “Tanah airku Indonesia …” “Astaga …,” desah Dani tidak percaya. Bisa-bisanya Yuta menyanyikan lagu-lagu di luar dugaan, padahal begitu banyak lagu pop yang sedang hits saat ini. Cepat-cepat Ladiva menahan Dani yang hendak menghardik Yuta lagi. “Sudah tidak apa.” “Memuja pulau … nan indah permai ….” Yuta terus melanjutkan nyanyiannya disaksikan oleh kedua pendengar yang terlihat serius mendengarkan. “Gimana, Say? Ada harapan?” tanya Dani tanpa harapan saat Yuta selesai bernyanyi. “Sabar, Ann. Kita coba dulu yang lain,” sahut Ladiva santai, lalu bertanya kepada Yuta, “Kamu bisa main alat musik?” Yuta menggeleng malu. “Cuma pernah main suling waktu SD.” “Coba duduk sini.” Ladiva memanggil Yuta mendekat. “Saya ajarkan kamu cara memainkan gitar.” “Say, ngantuk.” Dani menyela Ladiva yang tengah mengajari dasar-dasar bermain gitar kepada Yuta. “Aku tinggal ngopi dulu ya.” Selama ditinggal oleh Dani, pelajaran Yuta terus berlanjut. Hampir dua jam gadis itu berlatih olah vokal dan memainkan alat musik bersama Ladiva sampai akhirnya Dani kembali menjemput. “Gimana, gimana?” Dani bertanya antusias saat masuk ke ruang latihan, “Udah selesai hari ini?” “Hari ini cukup dulu,” jawab Ladiva. “Kesimpulannya?” tanya Dani penuh harap. “Untuk urusan menyanyi ada bakat. Yuta punya modal suara yang khas dan unik, tapi kalau urusan alat musik lebih baik lupakan saja,” ujar Ladiva terus terang. “Jadi bisa dilanjut?” Ladiva langsung mengangguk. “Tinggal atur jadwalnya saja.” “Berapa kali seminggu?” “Kita coba tiga kali seminggu dulu saja,” usul Ladiva. “Oke, urusan jadwal nanti aku kontak kamu lagi ya!” sahut Dani senang. Selesai dengan misi pertama, Dani membawa Yuta berpindah lokasi. Dalam perjalanan, Dani bertanya heran, “Kenapa lo diam aja? Tumben enggak banyak tanya.” “Nanti banyak tanya dimarahi,” jawab Yuta lesu. “Ngambek dia,” bisik Dani kaget. Melihat Yuta yang tanpa semangat, Dani jadi tidak enak hati. “Lo enggak penasaran mau gue ajak ke mana setelah ini?” Yuta menggeleng tanpa minat. “Aku pasrah saja.” “Lo kalo diam gini enggak seru, deh!” keluh Dani gusar. “Aku boleh tidur sebentar?” tanya Yuta penuh harap. Dani menoleh ke samping dan bertanya khawatir, “Lo capek?” “Hm.” Yuta mengangguk kecil. “Tidur deh.” Dani langsung memberi izin tanpa banyak bicara lagi. Dibiarkannya Yuta tertidur sepanjang perjalanan menuju lokasi berikutnya. Tiba di tujuan, Dani membangunkan Yuta hati-hati. “Yuta, bangun!” “Hm?” Untungnya Yuta mudah dibangunkan kalau tertidur di tempat lain. Andai di tempat tidur, Yuta pasti sulit dibangunkan. “Ayo, turun! Udah sampai nih! Nanti abis ini selesai gue ajak pulang, lo bisa tidur sepuasnya,” ucap Dani setengah membujuk. Yuta turun tanpa banyak bicara dan mengikuti langkah Dani. Kali ini Dani membawanya masuk ke sebuah gedung di deretan perkantoran yang cukup padat. “Ramai sekali …,” desah Yuta kaget saat memasuki bagian dalam gedung. “Kan gue udah bilang selain capek lo bakal malu di sini.” Segera saja Yuta menyambar lengan Dani dan memegangnya erat-erat. “Boleh tolong jangan tinggalin aku?” “Lo kayak anak ilang aja deh.” Dani menggeleng heran. “Boleh …?” pinta Yuta memelas. “Lo jangan pasang muka sedih gitu,” keluh Dani sebal. “Gue kan jadi enggak tega.” “Anjani!” Tiba-tiba saja ada seorang pria berteriak dan melambai ke arah mereka. “Mas Iqbal!” Dani balas melambai dan berjalan cepat menghampiri. “Sudah lama enggak ke sini, Ann. Sibuk kamu?” sapa Iqbal. “Biasa deh, Mas!” Diam-diam Yuta mengamati dengan takjub. Ternyata Dani sangat luwes dan cukup populer. Di mana-mana ada saja yang mengenalnya. Yuta juga baru menyadari satu hal. Ternyata satu-satunya orang yang memanggil Dani dengan nama aslinya hanya Lauritz saja. “Ada apa ke sini?” “Mas Iqbal lupa ya? Kan kemarin udah janjian!” ujar Dani gemas. “Oh, iya!” Iqbal terkekeh malu. “Mana orang yang kamu maksud?” “Ini, Mas.” Dani langsung menarik Yuta ke sampingnya. “Namanya Yuta. Titipan dari Mas Lau.” Iqbal terlihat mengamati Yuta penuh minat, dari kepala hingga ujung kaki. “Hm …, menarik ….” Meski sudah berusaha untuk tidak berpikir aneh-aneh karena mengingat janji Lauritz, tetap saja Yuta masih sering merasa waswas. Bisa saja dia tiba-tiba dialihkan kepada lelaki lain untuk dibawa pulang, seperti yang Fadi lakukan sampai dirinya jatuh ke tangan Lauritz. Mau berusaha sekeras apa pun untuk melawan, pikiran buruk terus saja menguasai benak Yuta dengan liar. “Salaman, dong!” Dani menyikut lengan Yuta. Yuta langsung melakukan perintah Dani dengan patuh meski tangannya gemetaran. “Yuta, Mas.” Iqbal menyambut uluran tangan Yuta, kemudian bertanya kepada Dani, “Mau langsung?” Dani langsung mengangguk cepat. “Langsung aja, Mas. Biar cepat selesai.” Iqbal segera merangkul bahu Yuta dan mengajaknya berlalu. “Ayo, ikut saya!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN