ZZ|06

1434 Kata
Tania menatap tak peduli selembar kertas ulangan harian matematika yang sudah dinilai. Di sana tertulis angka dua puluh yang ditulis dengan tinta merah. Perihal nilai bukan masalah untuknya, mungkin jika orang yang menempati peringkat pertama di kelas mendapatkan nilai ini ia akan menangis histeris karenanya. Tak berbeda jauh dengan Tania, nilai ulangan yang didapatkan Gista hanya dua angka lebih besar daripada Tania. Sedikit aneh memang, kenapa nilai mereka berbeda padahal mereka mengerjakannya bersama. Parahnya lagi, Gista lah yang menyontek pada Tania. Memang mengesalkan ketika kita mengerjakan soal lalu orang lain menyontek, namun hasil yang didapat penyontek lebih besar. “Gue yang mikir, kok nilai lo lebih besar daripada gue??” Tania menyimpan kertas ulangan hariannya di meja dengan keras. Gista hanya terkekeh. “Mungkin tulisan gue lebih rapih kali, jadi nilai gue lebih besar.” Gista mengibaskan kertas di tangannya. “Awas aja lo, gak lagi deh gue kasih contekan!” ancam Tania. “Halah, lagian nyontek sama lo gak bikin nilai gue gede.” “Daripada lo gak mikir sama sekali!” sentak Tania kesal, ia melirik pada Zevania yang bahkan tak mengambil kertas ulangannya di meja guru. “Van, nilai lo berapa?” Zevania yang semula bermain ponsel mengalihkan perhatiannya, dia mengendikkan bahunya. “Bentar, Gue ambil dulu.” Zevania berjalan menghampiri meja yang disediakan untuk guru. Ada dua kertas ulangan tersisa di sana. Satu kertas miliknya, dan satu lagi milik Reynaldi. Zevania pun mengambil keduanya. “Lima puluh enam.” Nilainya tidak cukup buruk jika dibandingkan dengan kedua temannya. “Gila! Kok Rey nilainya delapan puluh sembilan sih? Nyontek sama siapa nih makhluk?” Zevania menatap kaget kertas ulangan milik Reynaldi. Nilai sebagus itu tak mungkin Reynaldi dapatkan dengan murni, pasti ada otak orang lain yang bekerja di sini. “Ya iyalah, orang Rey nyontek sama gue,” sahut Vina. Pantas saja, Reynaldi menyontek pada juara kelas rupanya. “Nyesel gue gak nyontek sama Vina!!” sesal Gista yang sudah memegang kertas ulangan Reynaldi. “Lagian lo juga sih, nyontek sama orang yang sama-sama d***u,” tutur Zevania tanpa memperdulikan pelototan Tania yang merasa tersinggung. Zevania, Tania dan Gista adalah kombinasi yang pas. Zevania yang bengal, berani, bebas dan gila. Tania mungkin yang terbaik di antara mereka, dia adalah yang paling bisa mengendalikan diri dan mau berpikir, namun sangat emosional. Gista yang paling polos, dan kekanak-kanakan. Sebenarnya, jika berbicara masalah kegilaan, mereka bertiga masuk kategori itu. Dan kehadiran Reynaldi membuat mereka seakan menjadi paket komplit. Reynaldi yang keras kepala, gokil dan royal. “Pernah sakit, tapi tak pernah sesakit ini. Karena pernah cinta, tapi tak pernah sedalam ini.” Reynaldi memasuki kelas dengan sebuah nyanyian di bibirnya. Mungkin lagu yang sedang naik daun itu mewakili perasaannya sekarang. Setelah kejadian di kantin beberapa waktu yang lalu, atas paksaan tiga cewek yang menjadi sahabatnya, akhirnya Reynaldi memutuskan tali kasihnya bersama Farah. Saat itu Farah menangis, namun keesokan harinya ia sudah bersama Leon. Mungkin ketiga sahabatnya benar, Farah tidak baik untuknya. “Salah harusnya lo ganti jadi gini ‘Pernah bodoh, tapi tak pernah sebodoh ini’ gitu. Kemarin itu lo bukan cinta, tapi bodoh!!” tekan Tania mengganti lirik lagu yang dinyanyikan Reynaldi. “Yang penting sekarang enggak!” balas Reynaldi yang sudah duduk di samping Zevania. “Bohong banget, gue tahu lo masih suka merhatiin tuh cewek kalau lagi sama Leon.” Zevania tak segan menoyor kepala Reynaldi yang langsung mendapat dengusan. “Biarin, gue mau lihat si Leon nyesel!!” Geram Reynaldi, kemudian ia melihat kertas yang ada di atas meja. Seketika ia terpekik senang. “Wow, tuh kan gue tuh tahu, kalau gue emang pinter.” Dengan bangga Reynaldi mengambil kertas ulangannya. “Halah, nilai dapat nyontek aja bangga lo!” ejek Gista. “Lo apa kabar Gis?” 0o0 “Kita jadi nongkrong di kafe?” tanya Ilham kepada Zidan yang sedang menghisap rokok. Mereka kini berada di warung jendela, asap rokok seakan menjadi sahabat mereka. Mereka tahu merokok tidak baik, namun sudah menjadi rahasia umum jika berhenti dari merokok adalah hal sulit. Harusnya, sejak dulu mereka jangan pernah mencobanya sekalipun. Mungkin mereka tak akan kecanduan seperti saat ini. “Jadi, Raf siapin duitnya.” Rafael hanya mengacungkan jempolnya pada Zidan. “Kafe mana?” tanya Ilham lagi. “Kita cari kafe baru, kafe biasa tutup,” jelas Zidan yang hanya dijawab anggukan oleh Ilham. Nongkrong, adalah salah satu kebiasaan D’Zebra. Biasanya mereka memilih tempat-tempat terbuka atau kafe yang menyediakan fasilitas outdoor. Mereka rela membayar mahal untuk suatu ketenangan, dan ketenangan dapat mereka dapatkan dengan nongkrong dan merokok, tentu saja. “Mana Leon?” tanya Zidan, padahal biasanya ia tak peduli di manapun keberadaan sahabatnya. Namun, kejadian di kantin saat itu membuat ia tak suka jika Leon bersama Farah. “Sama si Parah,” jawab Rafael Benar dugaan Zidan, Leon sedang bersama Farah. Ia sebenarnya tak setuju dengan pilihan sahabatnya itu, tapi ia tak punya hak sama sekali untuk melarangnya. Zidan hanya tidak mau Leon terus bertengkar dengan Reynaldi, meskipun ia tahu Reynaldi sudah memutuskan Farah. “Tuh anak gak kapok sama sekali,” ujar Ilham dengan dengusan diakhir kalimatnya. “Namanya juga kemakan sama cinta,” timpal Rafael yang sudah selesai dengan rokoknya. “Biarinlah, sesuka dia aja,” imbuh Zidan. Kata orang, ketika sedang membicarakan seseorang dan kemudian seseorang itu datang, maka orang itu panjang umur. Benar atau tidak itu tidak penting, yang pasti sekarang Leon datang. Namun, ada tiga cewek yang mengekorinya. “Ngapain lo bawa mereka?” sinis Rafael menatap Wilona, Farah dan Khanza yang berjalan di belakang Leon. “Kenapa emang?” tanya Leon, ia merasa tak ada salahnya membawa mereka ke warung jendela ini. “Tenang aja, mereka gak mungkin kok ngelaporin kita ke guru,” ujar Leon seraya duduk di dekat Ilham yang kemudian diikuti Farah. Sedangkan Wilona, ia menghampiri Zidan. Dan Khanza, ia hanya berdiri saja di tempatnya tanpa berniat duduk. “Hai, Zidan. Oh jadi ini ya tempat nongkrong lo? Kalau tahu gitu, gue juga kalau ngerokok di sini aja,” tutur Wilona dengan senyum menggodanya. Meski perempuan, Wilona dan Khanza adalah perokok. Kebiasaan itu dimulai sejak mereka masuk SMA ketika salah satu teman cowok di kelas mereka meminta mereka untuk mencoba merokok hingga akhirnya itu menjadi candu. Sedangkan Farah, cewek itu terselamatkan akibat dari larangan Reynaldi untuk merokok. “Hemm,” balas Zidan dan mematikan rokoknya. “Gue duluan!” pamit Zidan dan langsung pergi meninggalkan warung jendela. “Ihh, Zidan gue ikut!!” Wilona berteriak kesal dan berlari menyusul kepergian Zidan. 0o0 Zevania menggerutu kesal ketika ia keluar dari toilet dan tidak mendapati Tania ataupun Gista di sana. Padahal, ketika ia masuk ke dalam toilet tadi, dua cewek itu berkata akan menunggunya di luar. Mencoba untuk tak peduli, Zevania memilih untuk berjalan ke arah parkiran. Ia akan mengambil buku yang disimpan di motor Reynaldi. Memang tadi pagi cowok itu menjemputnya untuk berangkat bersama ke sekolah. Baru kali ini Reynaldi menjemputnya, tentu saja karena biasanya Reynaldi menjemput Farah. Putusnya dua orang itu ada untungnya juga bagi Zevania. Ketika sampai di parkiran Zevania menatap dua sosok yang di kenalnya baru saja melewati gerbang sekolah secara bersamaan. Bagaimana bisa seorang Wilona berjalan berdampingan dengan Zidan? Dari mana mereka? Apakah mereka mulai dekat? Zevania tak suka ketika Wilona ada satu langkah di depannya. Dengan terbirit-b***t Zevania menghampiri keduanya. “Zidan, kamu dari mana? Kenapa kamu sama makhluk aneh ini??” Tangan Zevania langsung melingkar sempurna di lengan Zidan, beruntung cowok itu tak menepisnya. “Enak aja lo bilang gue aneh, yang ada lo tuh yang aneh maen ganggu aja. Gue tuh abis menghabiskan waktu istirahat berdua sama Zidan, jadi lo jangan ganggu kita!!” bentak Wilona, ia juga melingkarkan tangannya di lengan kiri Zidan. Mungkin jika cowok yang digandeng dua cewek cantik sekaligus itu bukan Zidan, maka cowok itu akan terpekik senang. Tapi ini Zidan, bukan cowok lain. Dengan sedikit tenaga, Zidan berusaha melepaskan keduanya. “Jangan ganggu gue!” tutur Zidan dan meninggalkan keduanya. Zevania dan Wilona saling menatap sinis, namun tak bertahan lama karena setelah itu Zevania berlari menyusul Zidan. Tak ingin kalah, Wilona pun melakukan hal yang sama. “Zidan tungguin gue!” ucap Zevania yang berhasil meraih tangan Zidan. Hanya berselang beberapa detik, Wilona pun sudah ada di depan mereka. “Ayo Zidan, kita pergi aja. Ganggu aja nih orang.” Wilona menggandeng kembali lengan Zidan dan berusaha menariknya agar pergi. “Jangan pegang Zidan, gue cemburu!!!!” teriak Zevania dan menepis tangan Wilona. Matanya menatap tajam Wilona. “Gue cemburu!!!!!” teriak Zevania lagi, ia tak peduli kini Zidan menatapnya dengan heran. “Gue cemburu,” ulang Zevania, namun kali ini ia berbicara sangat pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN