Bab 6 : Dimana Cincinmu?

1296 Kata
Mobil Porsche hitam itu melaju dalam keheningan. Di dalamnya, Dante dan Salina duduk diam, masing-masing larut dalam pikirannya sendiri. Dante sudah menyalakan pemanas sejak mereka masuk, berharap bisa mengusir dingin yang masih menyelimuti tubuh mereka setelah hujan deras di pemakaman tadi. Tapi entah kenapa, suasana di dalam mobil terasa lebih dingin dari sebelumnya. Salina tetap membisu, tatapannya tertuju pada jendela di sampingnya. Butiran air hujan yang menempel di kaca terlihat seperti garis-garis samar, seolah mewakili pikirannya yang juga berantakan. Ia tidak ingin berbicara. Tidak ada yang perlu dibicarakan. Dante melirik sekilas ke arahnya sebelum akhirnya membuka suara dengan nada datarnya. "Mami telepon tadi," katanya tanpa basa-basi. "Beliau ingin kita makan malam di rumah malam ini." Salina tidak langsung merespons. Pandangannya tetap terpaku pada jendela, menatap bayangan lampu jalan yang berpendar di antara rinai hujan. "Kamu saja yang pergi. Aku akan pulang," ucapnya akhirnya, suaranya dingin. Dante tidak membalas, hanya menghela napas pelan dan kembali fokus mengemudi. Tangannya menggenggam setir erat, tapi sesekali matanya melirik Salina yang masih setia memunggunginya. Saat itulah, matanya menangkap sesuatu. Jari manisnya. Cincin itu tidak ada. Dante mengerutkan kening. Ada perasaan aneh yang menyusup ke dalam dadanya saat melihat jari Salina yang kosong. Sementara itu, di jarinya sendiri, cincin pernikahan mereka masih melingkar dengan sempurna—cincin perak yang selama ini tidak pernah ia lepaskan. "Di mana cincinmu?" tanyanya tiba-tiba. Salina mengalihkan pandangannya dari jendela, tapi tidak menoleh ke arahnya. "Di rumah," jawabnya singkat. Dante hanya berdecak. Ia meraih ponsel dari dashboard mobil, menekan beberapa tombol, lalu menyambungkan panggilan ke speaker mobil. Salina bisa mendengar suara seseorang di ujung sana. "Ya, Tuan?" "Aku butuh sesuatu dari kamar Salina," ujar Dante, nadanya tetap tenang, tapi ada ketegasan di dalamnya. "Ambil cincinnya. Pastikan kau membawanya ke butik yang alamatnya akan kukirimkan." Salina yang sedari tadi diam langsung menoleh, matanya membulat penuh amarah. "Apa?!" sentaknya. Dante tetap fokus pada jalan di depannya, seakan tidak peduli dengan ekspresi terkejut istrinya. Salina tidak bisa menahan kekesalannya lagi. "Ngapain lo nyuruh orang masuk ke kamar gue?!" bentaknya kasar. Dante meliriknya sekilas, sedikit terkejut dengan perubahan sikap istrinya yang semakin berani. "Kenapa?" tanyanya santai, seolah tidak mengerti kenapa Salina begitu marah. "Apanya yang kenapa? Lo budek?!" Salina menoleh penuh, menatapnya dengan tajam. Dante mendengus. "Jaga bicaramu, Salina." "Kenapa? Lo nggak terima?!" Suaranya semakin meninggi, penuh emosi. Dante menghela napas panjang, kesabarannya mulai terkikis. "Saya sudah bilang ke kamu," ucapnya, kali ini lebih pelan tapi penuh tekanan. "Mami ingin kita makan malam di sana. Karena beliau kangen sama kamu." Salina langsung terdiam. Dante tahu betul kelemahannya. Selama ini, hanya mami dan papi mertuanya—Mami Rere dan Papi Bram—yang menerimanya dengan tulus. Mereka yang selalu memperlakukannya seperti anak sendiri, berbeda dengan Dante yang selalu menjaga jarak. Jika ia menolak, bukankah itu sama saja dengan mengecewakan mereka? Salina mengepalkan tangannya di pangkuannua. Sial. Kenapa harus seperti ini? Ia tidak ingin makan malam bersama Dante. Tapi ia juga tidak bisa menolak permintaan mertuanya. Dante, di sisi lain, tetap menjaga ekspresi dinginnya. Ia tidak ingin wanita itu melihat kecemasan dalam dirinya. Seakan semuanya baik-baik saja. Seakan ia tidak peduli. Padahal, hatinya bergejolak. --- Dante dan Salina tiba di butik mewah yang terletak di pusat kota. Hujan masih turun dengan deras, tapi tak menyurutkan langkah pria itu yang langsung membuka pintu mobil untuk Salina. "Turun," perintahnya tegas. Salina mendengus. "Ngapain gue harus nurut?" matanya menatap Dante dengan tajam. Dante mendekat, kedua tangannya bertumpu di atap mobil sementara tubuhnya sedikit membungkuk ke arah Salina. "Jangan bikin ribut. Masuk," suaranya rendah, tapi sarat akan perintah yang sulit ditolak. Salina mendecak kesal sebelum akhirnya turun dari mobil. Begitu masuk ke dalam butik, suara lonceng kecil berbunyi, menandakan kedatangan mereka. Seorang wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang dan pakaian modis segera menghampiri dengan senyum manis. "Dante!" serunya, lalu menatap Salina yang berdiri di samping pria itu. "Salina?" Salina mengernyit sebelum akhirnya menyadari siapa wanita itu. "Kalia?" "Hai! Ya Tuhan, udah lama banget nggak ketemu!" Kalia langsung memeluknya erat, membuat Salina sedikit terkejut tapi akhirnya membalas pelukan itu. Sementara itu, seorang wanita lain datang menghampiri mereka. Wajahnya cantik dan elegan, dengan sorot mata yang tenang. "Kalian lama banget," katanya sambil tersenyum kecil. Dante menoleh. "Bella," sapanya singkat. Bella mengangkat alis sebelum tatapannya beralih ke Salina. "Akhirnya kita ketemu lagi. Kamu tambah cantik," katanya ramah. Salina membalas dengan anggukan kecil. "Lo juga." Kalia terkekeh. "Oke, jadi... ada acara apa malam ini? Lo tiba-tiba datang ke butik gue, pasti ada sesuatu yang penting," ujarnya sambil melirik Dante. Dante menghela napas. "Mami minta kami makan malam di rumah. Salina butuh pakaian yang cocok." Salina menoleh cepat. "Apa?!" Kalia dan Bella bertukar pandang sebelum Kalia terkekeh lagi. "Oh, jadi lo maksa Salina buat ikut? Pantes wajahnya kesel banget," celetuknya sambil menatap Salina. Salina memutar bola matanya. "Gue bisa pilih baju sendiri." "Silakan," Bella menunjuk ke rak pakaian. "Kebetulan ada koleksi terbaru, pilih yang lo suka." Salina berjalan dengan malas ke arah rak pakaian, sementara Dante masih berdiri dengan ekspresi dinginnya. Kalia menatap pria itu dengan tatapan menyelidik. "Lo yakin Salina nggak bakal kabur dari lo, Dan?" goda Kalia dengan senyum menggoda. Dante hanya mendesah. "Dia nggak akan ke mana-mana." Salina, yang masih memilih baju, melirik sekilas ke arah mereka. Pikirannya berkecamuk. Untuk apa Dante repot-repot mengatur ini semua? Kenapa pria itu tiba-tiba seperti peduli? Sementara itu, Bella mendekati Salina dan berbisik pelan, "Apa pun yang terjadi, tenang aja, oke? Lo nggak sendirian." Salina menatap Bella sekilas sebelum menghela napas pelan. "Gue nggak tau harus ngapain, Bel." Bella tersenyum kecil. "Kita lihat aja nanti." Salina terdiam. Entah kenapa, ada sesuatu yang terasa berbeda malam ini. Salina melangkah keluar dari ruang ganti dengan percaya diri. Gaun berwarna hitam pekat membalut tubuhnya dengan sempurna, mempertegas lekuk tubuhnya tanpa terkesan berlebihan. Potongan bahu terbuka menampilkan kulitnya yang sehalus porselen, sementara belahan tinggi di sisi rok gaunnya memberi kesan berani namun tetap elegan. Rambut panjangnya yang sedikit bergelombang dibiarkan tergerai, menciptakan kontras yang tajam dengan riasan bold di wajahnya—lipstik merah gelap dan mata yang dihiasi smokey eyes yang menambah kesan tajam. Sementara itu, Dante sudah lebih dulu menunggu di depan butik, mengenakan setelan hitam slim-fit yang begitu rapi, dengan kemeja berwarna sama di dalamnya. Tanpa dasi, dua kancing atas sengaja dibiarkan terbuka, memberikan kesan kasual namun tetap berwibawa. Sepatu kulitnya yang mengilap menambah kesan maskulin, dan jam tangan mewah yang melingkar di pergelangannya semakin menegaskan status pria itu. Saat Salina keluar, langkah Dante terhenti. Matanya mengunci pada sosok istrinya—bukan, pada wanitanya. Wanitanya. Dante baru menyadari betapa luar biasanya wanita yang selama ini ia abaikan. Dua tahun berlalu tanpa ia benar-benar melihatnya, dan kini, saat Salina berdiri di hadapannya dalam balutan elegansi yang tak terbantahkan, sesuatu di dalam dirinya bergemuruh. Kalia, yang berdiri di samping mereka, tersenyum miring sambil berbisik pelan kepada Bella. "Dan, lo baru sadar istri lo segini gilanya cantik?" Bella hanya terkekeh kecil, melirik ke arah Salina yang berdiri dengan kepala tegak. Dante menelan ludahnya perlahan. "Kita pergi," katanya, suaranya sedikit lebih berat dari biasanya. Salina hanya mengangkat dagunya sedikit, tak ingin memberikan reaksi apa pun. Namun, saat Dante mendekat dan dengan gerakan alami meraih pinggangnya, tubuhnya sedikit menegang. "Jangan bikin drama di depan mereka," Dante berbisik di dekat telinganya, nada suaranya rendah dan mengintimidasi. Salina mendengus pelan, namun tak menepis tangan pria itu. Ia membiarkan Dante menggiringnya keluar butik menuju mobil mereka, sementara pikirannya masih berkecamuk. Dante membuka pintu untuknya, sesuatu yang jarang ia lakukan. Salina meliriknya sekilas sebelum masuk, sementara Dante sendiri berjalan ke sisi kemudi dan masuk ke dalam mobil. Saat mesin mobil dinyalakan, Salina akhirnya bersuara, "Lo sadar kan, lo nggak bisa maksa gue terus?" Dante hanya tersenyum kecil, senyum yang mengandung sesuatu yang tak bisa Salina artikan. "Kita lihat saja," jawabnya ringan, sebelum melajukan mobil di bawah langit malam yang mulai cerah setelah hujan reda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN