Denting jam di dinding terdengar samar di antara deru AC yang mendinginkan ruangan. Sebuah ruangan luas dengan dinding kaca yang menampilkan pemandangan Kota Surabaya dari lantai tertinggi gedung Bratama Corp. Mewah, elegan, tetapi juga terasa dingin—sama seperti pemiliknya.
Di belakang meja kerja besar, Dante Attala Bramasta, pria berusia 31 tahun dengan wajah tampan namun nyaris tanpa ekspresi, tengah menatap layar laptopnya. Matanya yang hitam pekat memantulkan cahaya dari layar, kontras dengan kulitnya yang bersih dan rahangnya yang tegas. Setelan jas hitamnya tampak sempurna, mencerminkan sikapnya yang selalu rapi dan berkelas.
Namun, ketenangan itu hancur dalam sekejap.
Brakk!
Sebuah amplop cokelat terlempar ke atas meja, tepat di hadapannya.
“Aku ingin kita bercerai.”
Suara itu tajam, tegas, tanpa keraguan sedikit pun.
Dante mengangkat wajahnya perlahan, tatapannya bertemu dengan sepasang mata cokelat tajam yang menatapnya tanpa takut. Salina Hanum Pranata, wanita yang selama dua tahun ini berstatus sebagai istrinya—tanpa cinta, tanpa kehangatan, hanya sebatas nama dalam dokumen.
Berbeda dengan Dante yang selalu terlihat dingin, Salina memiliki aura yang lebih hidup. Kulitnya yang putih bersih kontras dengan rambut panjang bergelombang yang ia biarkan tergerai. Meski tubuhnya ramping, ada ketegasan dalam caranya berdiri, memperlihatkan bahwa ia bukan wanita yang mudah dipermainkan.
Dante tidak langsung menjawab. Ia menatap amplop itu selama beberapa detik, lalu meraihnya dengan gerakan lambat. Ia membuka isinya, membaca kata demi kata yang tertulis di dalamnya. Gugatan cerai.
Rahangnya mengeras.
“Talak aku sekarang juga.” Salina mengulang kata-katanya dengan nada lebih menekan, ekspresi wajahnya mencerminkan betapa ia ingin segera mengakhiri ini.
Dante menghela napas panjang. Ia berdiri dari kursinya, tubuhnya yang tinggi menjulang membuat aura dominannya semakin terasa. Dengan tatapan yang gelap dan sulit ditebak, ia menatap Salina lekat-lekat, seakan mencari sesuatu dalam dirinya.
“Sudah selesai?” suara Dante terdengar rendah, datar, tetapi cukup tajam untuk menusuk ke dalam kesunyian ruangan.
Salina mengerutkan kening, menahan amarah yang mulai mendidih. “Kau tuli, Dante?” sarkasnya.
Namun, pria itu tidak menunjukkan reaksi. Ia hanya merapikan jasnya dengan tenang, sebelum akhirnya berucap, “Saya sibuk. Pergi dari sini.”
Salina membeku.
Apa?
Sebelum ia bisa memproses kata-kata itu, Dante sudah melangkah pergi, berjalan melewati dirinya seolah ia hanyalah udara.
Tidak. Tidak bisa seperti ini.
“Dante!” Salina meraih tangannya, kedua tangannya yang kecil dan hangat menggenggam pergelangan tangan Dante yang dingin dan besar.
Pria itu berhenti di tempat.
Ia tidak langsung menoleh, tetapi Salina bisa merasakan ketegangan di tubuh pria itu. Seolah ada badai yang bergejolak dalam dirinya, tetapi tetap terkunci rapat di balik ekspresi dinginnya.
Perlahan, Dante menoleh. Pandangannya turun ke dua tangan Salina yang masih menggenggamnya, lalu naik kembali ke mata wanita itu.
Salina menelan ludah. Detik ini, ia bisa melihat sesuatu yang berbeda dalam tatapan Dante—bukan hanya kemarahan atau ketidakpedulian. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, dan lebih… menyakitkan.
Jari-jari Dante sedikit mengepal sebelum ia menarik tangannya dengan paksa.
“Tanda tangan dulu, baru kau boleh pergi,” kata Salina, suaranya bergetar, tetapi tetap penuh tekad.
Dante menatapnya lama, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Salina, cukup dekat hingga ia bisa merasakan napas pria itu menyapu kulitnya.
“Ada hal lain yang lebih penting dari ini,” jawabnya dingin, sebelum menarik tangannya lepas dan berjalan pergi.
Salina menggigit bibirnya. Tangannya mengepal keras di samping tubuhnya, dadanya naik turun menahan emosi yang meluap-luap.
“Dante! b*****t, tanda tangan dulu baru pergi! Kau tuli, Dante?! Ceraikan aku!” Teriaknya penuh frustrasi.
Namun, pria itu tetap melangkah pergi, tanpa menoleh sedikit pun. Seolah apa pun yang Salina katakan tidak ada artinya.
Salina menendang kursi di dekatnya dengan kesal. “Sampai kapan aku harus terkurung di pernikahan ini, b*****t!” gerutunya.
Matanya menatap amplop cerai yang masih tergeletak di atas meja. Surat itu tetap di sana, tak tersentuh, sama seperti perasaannya selama dua tahun ini—tak dianggap, tak berharga.
Pernikahan ini bukanlah pernikahan. Tak ada sentuhan, tak ada empati, tak ada kehangatan. Yang ada hanya jarak yang tak kasat mata, sebuah hubungan yang dibangun atas nama kesepakatan, bukan cinta.
Dan sekarang, ketika ia ingin mengakhirinya… Dante tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
Salina melangkah keluar dari ruangan Dante dengan langkah cepat, tumit stiletto-nya beradu dengan lantai marmer, menghasilkan bunyi nyaring yang mencerminkan emosi yang berkecamuk di dalam dadanya.
Jengkel. Kesal. Marah.
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, jemari lentiknya hampir menghancurkan ponsel yang digenggamnya. Napasnya berat, dan wajahnya yang biasanya selalu tampak tenang kini penuh ekspresi frustasi.
Dante Attala Bramasta memang b******k.
Ia tidak tahu harus berapa kali mengingatkan dirinya sendiri bahwa pria itu bukan seseorang yang bisa diajak bicara dengan cara biasa. Ia berpikir Dante akan menandatangani surat itu dengan mudah, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Dante menolaknya. Seolah dirinya hanyalah boneka yang bisa dikendalikan sesuka hati pria itu.
Salina menelusuri lorong panjang lantai eksekutif gedung Bratama Corp, melewati deretan meja asisten dan staf yang langsung berdiri ketika melihatnya keluar dari ruangan CEO.
Seorang wanita dengan rambut dikuncir rendah dan setelan formal—sekretaris pribadi Dante, Clara—menghampiri dengan senyum sopan. “Bu Salina, apakah Anda ingin saya menyiapkan—”
Salina mengangkat satu tangan, menghentikan Clara sebelum wanita itu bisa menyelesaikan kalimatnya. “Tidak perlu.”
Tanpa menunggu respons, Salina terus berjalan, menerobos lorong dengan langkah cepat, seakan tempat ini membuatnya sulit bernapas.
Di sekelilingnya, beberapa karyawan yang sedang bekerja mulai meliriknya. Mereka semua tahu siapa dirinya. Salina Hanum Pranata. Istri dari Dante Attala Bramasta.
Wanita yang dinikahi pewaris pertama Bratama Corp dalam sebuah pernikahan megah yang dipenuhi kemewahan dua tahun lalu. Sejak saat itu, setiap orang di perusahaan ini mengenalnya—bukan hanya sebagai istri CEO mereka, tetapi juga sebagai seorang wanita cerdas yang berasal dari keluarga terpandang.
Namun hari ini, wajah cantik itu terlihat berbeda.
Biasanya, Salina dikenal sebagai wanita yang anggun dan tenang. Sikapnya selalu terkontrol, ucapannya penuh perhitungan. Tapi saat ini, ekspresi wajahnya tajam dan penuh emosi—sesuatu yang jarang terlihat dari seorang Salina Pranata.
Mata-mata penasaran memperhatikannya saat ia melewati mereka. Beberapa orang bertukar bisik-bisik, menduga-duga apa yang telah terjadi di dalam ruangan CEO.
Apa yang dikatakan Tuan Dante hingga istrinya keluar dengan wajah seperti itu?
Salina mengabaikan semua tatapan itu. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, terlalu sibuk menahan kekesalan yang hampir meledak.
Saat mencapai lift, ia menekan tombolnya dengan keras. Detik demi detik terasa lambat.
Sial! Kenapa liftnya lambat sekali?!
Salina mendesis pelan, mencoba mengatur napasnya yang memburu.
Dante…
Apa sebenarnya yang pria itu inginkan darinya? Kenapa ia tidak bisa melepasnya begitu saja?
Salina ingin pergi. Ingin lepas dari pernikahan ini. Tapi Dante menahannya seolah ia adalah miliknya, seolah ia tidak berhak memiliki kebebasannya sendiri.
Denting lift berbunyi.
Pintu terbuka. Salina melangkah masuk tanpa ragu, membiarkan pintu menutup di belakangnya.
Saat itu juga, mata cokelatnya membara. Ini belum selesai. Jika Dante berpikir dia akan menyerah hanya karena pria itu bersikap dingin dan mengabaikannya…
Maka pria itu tidak mengenalnya sama sekali.