Nafas Kalia masih belum stabil saat ia membelakangi tubuh hangat suaminya yang memeluknya dari belakang. Keringat mereka belum mengering, dan selimut tipis hanya menggantung di pinggang, menutupi sebagian tubuh yang telanjang setelah badai malam itu mereda—atau lebih tepatnya, hampir mereda. Denta, seperti biasa, belum menyerah. “Apalagi… udah, Mas. Capek akunya,” gumam Kalia dengan suara serak, lelah tapi manja. Suaranya seperti bisikan angin, tapi cukup untuk membuat Denta tersenyum. Ia tak menjawab. Hanya mendekatkan wajah ke bahu Kalia, menciumi kulit lembut di sana, menyusuri ke arah leher, menyapu aroma tubuh istrinya yang masih menyisakan jejak hasrat. Ciumannya pelan, tapi berniat menghasut. “Lagi, sayang... satu kali lagi ya,” bisiknya, nyaris seperti merayu. Kalia mendengus,

