Sudah lima hari mereka lalui bersama, Sabelle merasa Peter terlihat sedikit bosan di rumah saja dan kadang Peter hanya membuat lagu di ruang pribadinya.
Sama seperti hari ini, Peter hanya berada di ruang pribadinya dan terlihat ketika ia ingin makan saja. Shalter bahkan tidak berani mengajak Peter bermain karena pria itu terlihat serius membuat lagu.
Sabelle dengan inisiatifnya membuatkan Peter coklat panas, cuaca hari ini juga lumayan dingin, hampir mendekati delapan derajat celcius. Sabelle membawa nampan berisi minuman ke dalam ruang pribadi Peter dan melihat suaminya terlihat sibuk menulis sesuatu di kertas.
"Peter," panggil Sabelle dan barulah Peter sadar jika Sabelle berada di ruangan itu.
"Ada apa?"
Sabelle meletakkan minuman itu di sisi meja yang kosong. "Aku membuatkanmu coklat panas. Kau terlihat sibuk hari ini," ucap Sabelle sembari menatap Peter.
Peter mengangguk lemah sembari mengurut pangkal hidungnya yang terasa berdenyut.
"Apa yang kau kerjakan?"
Peter membalikkan kertas-kertas itu sembari menjawab, "Membuat lagu seperti biasanya."
Sabelle mengangguk lalu berjalan ke sofa yang berada di depan meja Peter dan duduk di sana.
"Shalter hari ini terlihat diam, Peter. Kau tidak ingin mengajaknya bermain?"
"Benarkah? Aku lupa waktu jika sedang membuat lagu, kau tahu itu."
"Ya." Sabelle menatap sekeliling ruangan.
"Masih ada yang ingin kau bicarakan?" tanya Shalter yang terdengar seperti usiran halus.
Sabelle menggeleng lalu berdiri. "Itu saja yang ingin kukatakan."
"Baiklah," balas Peter.
Sabelle berjalan menuju pintu dan keluar dari ruangan itu tapi sebelum ia menutup kembali ruangan itu, ia mendengar dering ponsel dari ruangan tersebut, alhasil Sabelle tidak menutup pintu itu rapat-rapat untuk dapat mendengar siapa yang menelepon Peter.
Peter melihat ponselnya yang berada di samping pensilnya. Nama Anne kembali menghiasi layar ponsel itu, hampir tiap harinya. Kali ini Peter mengangkat panggilan tersebut dan berharap ada hal yang benar-benar penting untuk ia dengar, Peter mengloudspeaker panggilan itu karena ia masih harus menyusun lagu buatannya.
"Halo, Anne?"
"Astaga, Peter! Mengapa kau tidak mengangkat panggilanku?!"
"Jangan berteriak, aku sedang membuat lagu," balas Peter. "Jadi apa yang ingin kau katakan?"
"Ini gila, aku rasa aku sudah memberitahumu kemarin tapi tidak apa, aku akan memberitahumu sekali lagi jika kau akan rekaman di New York dengan fasilitas gila!"
Tangan Peter yang tadi sibuk mencoret kertas-kertas, kini terhenti. Ia meletakkan pensilnya dan segera mengambil ponsel itu. Panggilan yang tadinya ia loudspeaker kini ia matikan hingga hanya ia yang dapat mendengar.
"Kau bercanda?"
Peter memegangi kepalanya saking tidak percaya akan apa yang ia dengar saat ini. Bahkan Peter terlihat sangat bersemangat saat Anne dari sebrang telepon menjelaskan lebih lanjut atas apa yang terjadi.
Sabelle yang masih berada di luar dan mendengar sedikit percakapan tadi membuat hatinya sakit. Sebenarnya apa yang diinginkan Peter? Mengapa pria itu lebih semangat akan apa yang ia inginkan daripada keluarganya sendiri. Mendengar percakapan Peter dan manajernya lebih lanjut membuat Sabelle sakit hati, lebih baik ia tidak mendengar apapun lagi.
Sabelle menutup pintu ruangan itu dengan pelan dan pergi menuju kamar anaknya, Shalter, yang sedang bermain mobilan di atas kasur.
"Mommy," sahut Shalter saat melihat Sabelle.
Sabelle mendekati Shalter yang berada di kasur dan mengambil tempat di sebelahnya. "Ingin menemani Mommy berbelanja?" tanya Sabelle.
"Bersama daddy?" tanya Shalter.
Sabelle tersentak. Sebegitu inginnya Shalter untuk pergi bersama Peter tetapi keadaan membuat mereka tidak bisa melakukan hal itu.
"Kali ini, daddy masih tidak bisa ikut, bagaimana lain kali kita ajak lagi?"
Shalter mengangguk walaupun rasa kecewa begitu kentara di wajahnya.
"Kalau begitu, ayo siap-siap!" ucap Sabelle dan membawa Shalter turun dari kasur untuk memakai jaket dan syal.
"Sudah siap, ayo pergi tapi kita izin dulu pada Daddy."
Shalter mengangguk dan mereka berjalan keluar dari kamar tersebut untuk menjumpai Peter yang berada di ruangannya. Sabelle membuka pintu dan mendapatkan Peter masih saja berteleponan.
"Shalter, Sabelle, kalian ingin kemana?" tanya Peter sesaat ia menjauhkan ponsel itu dari telinganya.
"Kami ingin berbelanja, mungkin kami akan sedikit lama," jelas Sabelle.
"Baiklah, bersenang-senanglah, minions!" ucap Peter pada Shalter yang mana minions adalah film kesukaannya Shalter.
"Hmm, Peter. Dengan siapa kau berbicara?" tanya Sabelle sembari melihat tangan Peter yang memegang ponsel.
"Tidak ada," bohong Peter.
Sabelle tersenyum terpaksa. "Begitu, kami pergi dulu."
Peter mengangguk dan menatap kepergian Sabelle dan Shalter. Setelah itu ia melihat kembali ponselnya yang masih terhubung.
"Halo, Anne?"
"Ya, itu Sabelle?"
"Ya, dia hendak pergi berbelanja."
"Baguslah. Aku ingin membicarakan sesuatu padamu tentang karirmu dan keluargamu."
Peter mengernyit. "Apa itu?"
"Aku mendapat informasi jika mereka akan menyelidikimu lebih dalam termasuk apa yang kau sembunyikan."
"Siapa itu?" tanya Peter dan ia merasa cemas.
"Paparazi dan juga pihak yang mendanaimu rekaman di New York. Kau tahu sekali jika hal itu sangat buruk bagimu. Bagaimana jika mereka mengetahui semuanya?"
Peter menghela napas dan kemudian berdiri dari tempat duduknya untuk berjalan melihat jendela besar yang menampilkan kota California. Apartmennya memang sangat bagus untuk melihat kota California.
"Peter?"
"Ya."
"Bagaimana?"
"Aku tidak tahu Anne."
"Bagaimana jika kau mengikuti perkataanku saja. Kau masih ingin menjadi seorang bintang, bukan?"
"Tentu saja aku ingin."
"Kalau begitu dengarkan aku. Aku akan membuatmu menjadi penyanyi terkenal asal kau mengikuti perkataanku."
"Baiklah, apa itu?"
•••
Sabelle memasuki apartemen dan langsung mendapati Peter yang sedang mengambil minuman dari atas meja.
"Kami pulang!" seru Shalter dan berlari menuju sofa.
Peter mendekati Shalter. "Apa menyenangkan berbelanja bersama Mommy?" tanya Peter dan ia duduk di samping anaknya.
"Ya, tapi akan lebih menyenangkan jika bersama Daddy!" ucapan Shalter tentunya menyentil hati Sabelle dan Peter. Sebagaimana mereka merasa kurang untuk memberi kasih sayang pada buah hati mereka.
Peter menghembuskan napasnya. "Maafkan Daddy tidak bisa mengajakmu pergi atau keluar, Shalter. Tapi Daddy janji lain kali Ayah akan mengajakmu keluar."
Shalter tersenyum pada Peter lalu meletakkan kepalanya di pangkuan pria itu. "Tidak apa, Daddy tidak perlu berjanji," ucap Shalter yang membuat hati Peter sangat sakit.
"Maafkan aku, Shalter," lirih Peter.
"Ya, it's okay, Dad."
Sabelle meletakkan barang belanjaannya di bar kitchen. Sembari mengeluarkan barang-barang dari dalam tas belanjanya, Sabelle juga termenung karena perkataan Shalter tadi. Shalter terlihat dewasa dari umurnya, ia bahkan bisa menerima apa hal yang anak lain tidak bisa terima, yaitu mencoba untuk mengerti semuanya.
Sabelle kadang merasa sangat beruntung memiliki anak seperti Shalter yang dapat mengerti tanpa harus dijelaskan secara rinci. Tapi sayangnya Shalter bukan tipe anak yang mengatakan apa yang ia tidak suka di dalam hatinya, Shalter lebih memendam kesakitannya sendiri.
Setelah mengeluarkan barang belanjaannya. Sabelle memilih ikut bergabung dengan anak dan suaminya di ruang keluarga. Mereka terlihat sedang menonton film kartun kesukaan Shalter.
"Peter," panggilku.
Peter menoleh pada Sabelle sembari memberikan tatapan bertanya.
Sabelle menunjuk Shalter. "Apa ia sedang tertidur?"
Peter melihat Shalter dan menatap Sabelle kemudian. "Ya, aku tidak menyangka ia telah tertidur."
Sabelle tersenyum. "Ayo bawa dia ke kamarnya."
Peter mengangguk dan menggendong Shalter, Sabelle mengikuti dari belakang. Peter meletakkan Shalter di atas kasur lalu menyelimuti putranya. Tidak lupa Peter mencium puncak kepala Shalter.
"Mimpi indah, Minions."