Hari-hari seperti biasa, Monika menyiapkan sarapan untuk nenek Gwen, dan juga suaminya. Hari Jumat, adalah kegiatan yang santai. Tetapi untuk Monika, tidak ada yang namanya bersantai. Ia selalu diliputi kesibukan.
Apalagi Rina, sang pembantu sekaligus menjaga nenek Gwen, besok pulang kampung. Maka dari itu Monika harus mencari tiket kepulangan Rina.
Setelah sarapan selesai terhidang di meja ukuran persegi panjang hanya dihadirkan tiga orang. Biasanya untuk satu keluarga. Apalagi orang tua Monika, hanya sekali datang kemudian pulang.
Nico memang tergolong pria yang keras, mandiri, tetapi ego-nya selalu membuat siapa pun datang berkunjung ke rumah tak akan nyaman. Wajah yang selalu Nico hadirkan adalah masam, marah, dan bete.
Sarapan dalam diam, Rina menyuapi nenek Gwen. Sedangkan Nico dan Monika memilih untuk menghabiskan sarapan setelah itu berangkat ke kantor.
"Nak Nico, besok bisa bawa Nenek ke rumah Rui?" Nenek Gwen membuka suara menatap Nico. Sebaliknya Monika juga melirik nenek Gwen dan Nico.
Nico belum menyahuti apa yang nenek Gwen membuka suara. Rina yang di sebelah nenek Gwen turut menunggu, suasana di rumah ini berubah sangat mencengkam.
"Untuk apa ke sana? Rui bukannya sedang dinas luar kota?" jawab Nico dengan nada yang datar tapi tegas.
"Nenek kangen saja sama Rui. Bukannya Rui dinas luar kota hari Senin? Besok Sabtu, jadi masih ada waktu untuk berkunjung. Kalau tidak, nenek menginap di sana, kamu tidak perlu mengantar Nenek kembali ke rumah ini?!" tutur nenek Gwen mencoba untuk membantah. Walau pun ia tak pernah sekali membantah pada cucunya sendiri.
Nico menghela napas pendek, bukan tak mengizinkan nenek Gwen ke rumah Rui. Nico keberatan jika membawa nenek Gwen ke rumah Rui, permasalahannya malas bertemu dengan suami Rui.
"Kalau kamu tidak bisa antar Nenek ke rumah Rui. Monika saja yang antar Nenek ke rumah Rui," sambungnya melirik Monika. Monika yang menatap wajah nenek Gwen, benar-benar sangat rindu.
"Baiklah, besok aku antar Nenek ke rumah Rui. Dengan catatan tidak menginap. Sorenya Monika jemput Nenek," ucap Nico menuruti, suasana di meja makan terasa berbeda.
"Tetapi, Nenek mau menginap, Nak Nico?!" Nenek Gwen bersikeras.
"Please, Nek! Jangan mulai lagi?! Akan ada waktu Nenek bisa menginap di rumah Rui. Rui juga punya keluarga yang harus di urus. Bukan Nenek saja, jika Nenek di sana. Aku tetap tidak ingin merepotkan siapa pun. Masih ada Monika bisa menemani dan menjaga Nenek!" sanggah Nico panjang lebar, nada bicaranya memang sangat besar, seperti memarahi seseorang.
Nenek Gwen tertunduk diam, ia merasa sedih. Ia tau Nico selalu melarang nenek Gwen menginap ke mana pun. Apalagi semalam Monika meminta izin pada Nico soal membawa nenek Gwen ke rumah bibi Rika.
"Aku berangkat dulu," ujar Nico beranjak meninggalkan meja makan. Hanya Monika, nenek Gwen, dan Rina masih di sini. Kesunyian menyambut rasa sedih yang begitu dalam. Monika beranjak dan pindah duduk di sebelah nenek Gwen.
"Maafin Nico, ya, Nek! Jangan masuk ke hati. Mungkin Nico tidak ingin Nenek di repotkan oleh Rui. Besok Monik ikut Nenek ke rumah Rui." Monika menghibur nenek Gwen.
Nenek Gwen melirik Monika, ia sangat beruntung mempunyai cucu menantu yang begitu perhatian. Sampai kapan nenek Gwen bisa bertahan hidup melihat sikap cucunya yang begitu kasar dan keras.
"Tidak apa-apa, Nenek tau Nico berkata benar. Mungkin besok cuma bisa berkunjung sebagai tamu," kata Nenek Gwen.
Monika mengelus-elus lengan nenek Gwen yang melonggar tak seindah kulitnya. Sayangnya Monika tidak pernah melihat wajah neneknya sendiri saat dirinya lahir di dunia. Bagi Monika berusaha akan menjaga nenek Gwen seperti menjaga ibunya di kampung.
****
Hari Sabtu, sesuai janji Nico akan membawa nenek Gwen ke rumah Rui. Nico sebenarnya sangat keberatan harus membawa nenek Gwen ke rumah sepupunya. Bukan itu, tidak suka saja.
Monika tentu ikut menemani nenek Gwen, sebelum menuju ke rumah Rui. Monika meminta izin pada Nico untuk menemani nenek Gwen, apalagi pekerjaan kantor hanya setengah hari. Jadi tak ada salahnya sambil membantu pekerjaan rumah Rui juga.
Setelah diizinkan oleh Nico. Nico tak mengharap banyak untuk Monika, sang istrinya. Tiba nanti di rumah Rui, Nico hanya akan singgah sebentar untuk duduk setelah itu kembali ke kantor. Pekerjaan kantor lebih dipentingkan daripada duduk santai tak unfaedah bagi Nico.
Pembantu yang menjaga nenek Gwen sudah pulang tadi pagi jam enam. Monika sempat mendapatkan tiket murah. Untuk hari minggu takut akan tidak dapat tiket kepulangan Rina di kampung.
Apalagi terbukti saat Rina berpamitan izin untuk pulang. Rina sempat mengucapkan kata maaf kepada Monika. Saat Monika mengantar Rina ke stasiun bus menuju kampung halamannya.
"Terima kasih, Bu. Sudah memperkerjakan saya di rumah Ibu Monika. Akan tetapi, saya minta maaf, kemungkinan saya tidak kembali lagi ke kota ini melanjutkan untuk menjaga nenek Gwen, maafkan saya, Bu!" ungkap Rina menunduk, ia merasa tidak enak hati telah tega berbohong.
Monika yang mendengar pengakuan dari Rina. Pembantu sekaligus menjaga nenek Gwen. Monika kembali teringat kata-kata dari suaminya. Resiko terberat sudah ditangannya sendiri. Mungkin Nico akan sangat marah sekali padanya. Apa daya yang bisa Monika lakukan, membatalkan tiket kepulangan Rina? Dari larut wajah Rina tentu merasa sedih, sudah bertahun-tahun dirinya tinggal bersama dengannya.
Apa setega itu, Monika harus marah padanya? Tidak? Monika bukan wanita yang suka marah-marah tak jelas seperti Nico, sang suami. Monika mengeluarkan tas dompetnya selalu ia bawa kemanapun. Kemudian mengeluarkan beberapa lembar mata uang warna merah berikan kepada Rina. Rina yang melirik lembaran uang itu pun terkejut.
"Ini uang tunjangan selama dua tahun menjaga nenek Gwen. Saya paham, tentu kamu merindukan keluargamu. Bohong atau tidaknya saya selalu percaya bahwa kamu melakukan yang terbaik," ucap Monika senyum. Padahal dalam hati ia merasa kecewa telah salah memilih Rina sebagai kepercayaan.
Siapa yang bisa tahan menjaga nenek Gwen yang sudah lanjut usia? Nenek Gwen bukan wanita paruh baya pendiam di rumah. Meskipun sudah tua, nenek Gwen hanya kesepian.
Sampai di rumah Rui, persimpangan dua jalan Intan, Ir. Juanda. Monika keluar dari mobil Nico. Kemudian Nico sebaliknya juga keluar setelah memarkirkan mobil di depan rumah Rui.
Monika membuka pintu belakang, membantu nenek Gwen untuk turun dari mobil Nico. Nico mengeluarkan kursi roda dari bagasinya. Tak berapa lama kemudian, seseorang keluar dari rumah bertingkat.
"Nenek!" sapa seorang wanita cantik, anggun ketika untuk mengecek siapa yang datang ke rumah.
Nenek Gwen langsung merentangkan kedua tangan setelah duduk di kursi roda. Tentu nenek Gwen menyambut sapaan dari wanita itu adalah Rui Wandira. 26 tahun, wanita cantik, seorang ibu rumah tangga yang hebat. Selalu di sayang oleh keluarga berada.
Rui pun membungkuk setengah badan menyambut dengan pelu kan hangat. Sedangkan Monika dan Nico hanya berdiri di samping nenek Gwen sebagai patungan semata. Inilah mengapa Nico tidak suka membawa nenek Gwen ke rumah Rui.
"Aku kira Nenek bercanda soal kemarin telepon," ucapnya melepaskan pelukan mereka.
"Nenek selalu menetapi janji, Nenek sudah rindu dengan putramu. Apa mereka di rumah?" balas Nenek Gwen sangat senang apalagi menyebutkan anaknya Rui.
Rui tertawa, meskipun keluarga dekat namun kedekatan itu tak pernah bisa pisah jauh. Walaupun nenek Gwen selalu menanyakan kabar cicit mereka.
"Albert ada kok, dia sudah menunggu kedatangan Nenek. Rewel minta ampun," jawabnya, berbincang-bincang hingga Rui melupakan dua orang dewasa itu. Bukan tak disengajain oleh Rui tak menyapa Monika atau Nico.
"Bagaimana kabarmu?" Rui bertanya pada Monika. Langsung Monika menjawab, "Baik! Kamu sendiri?" Monika kembali bertanya.
"Baik, ayo masuk!" jawabnya.
Ketika Monika akan mendorong kursi roda nenek Gwen, Rui langsung melewati dan mengendalikan posisi mendorong nenek Gwen. Monika merasa Rui hanya sengaja untuk mengambil simpati dari nenek Gwen.
Monika detik-detik melirik Nico, namun Nico tak mengatakan apa pun. Nico memilih masuk ke dalam tanpa menggandeng tangan Monika sedikit pun. Monika hanya bisa mengembuskan napas dalam-dalam.
Di rumah begitu meriah, sehingga penghuni rumah itu ramai tak ada yang bisa dihentikan. Suara anak-anak berteriak merebutkan mainan dari saudaranya sendiri.
Untuk kedua kalinya Monika menginjak rumah Rui, sang saudara ipar sepupu dari keluarga suaminya. Dapat dirasakan oleh Monika betapa bahagianya keluarga Rui. Dipenuhi oleh keluarga kecil.
Rui membawa nenek Gwen ke ruang tamu dimana anak-anaknya yang sedang bermain. Lima menit kemudian, Rui membawa segelas teh hangat untuk Monika dan Nico. Lalu ia pun bergabung dengan mereka di sana.
"Silakan di minum tehnya," pinta Rui pada Monika dan Nico. Monika hanya berikan senyuman bertanda iya.
Rui memperhatikan putranya bahagia mengajak nenek Gwen untuk menyusun puzzle pemberian dari suaminya.
"Dari kemarin-kemarin Nenek Gwen terus telepon aku. Dia rindu sekali dengan Albert. Meminta aku datang berkunjung ke rumahmu. Kamu tau sendiri bagaimana perkerjaanku saking banyak tugas, aku tidak bisa membawa Albert ke rumah mu, dan pada akhirnya aku harus merepotkan dirimu dan juga abang sepupu," ucap Rui panjang lebar merasa tak enak hati.
Monika menggeleng pelan, lalu berkata, "Tidak ada yang harus direpotkan kok. Justru aku yang tidak enak hati. Aku yang terlalu sibuk sampai tidak ada waktu untuk Nenek Gwen, mumpung hari ini tidak ada sibuk apa pun. Jadi aku bisa temani Nenek Gwen sampai sore."
"Sore? Loh, bukannya kata Nenek Gwen menginap?" tutur Rui bertanya.
"Eh ... itu." Monika melirihlk Nico yang dari tadi sibuk sama ponselnya. Nico menyadari akan lirih kan Monika.
Rui menunggu jawaban dari Monika, bukan karena apa. Memang nenek Gwen bilang akan menginap. Rui malah lebih senang kalau nenek Gwen menginap apalagi Albert punya teman.
"Ehm ... itu ..." Monika kesulitan untuk menjawab. Lalu Nico pun melanjutkan jawaban dari Monika, "Nenek tidak akan menginap, karena aku tidak ingin merepotkan kalian. Bukankah senin depan kamu akan ke luar kota? Lagipula Nenek sudah tua, akan lebih merepotkan menjaga Albert masih usia belia."
Rui menyimak jawaban Nico yang tegas itu. Tak bisa berkata-kata, Rui hanya bisa berikan senyuman ciut. Sikap Nico sama tidak pernah berubah, walaupun selalu mencoba memisahkan ia dengan nenek Gwen.
"Aku juga tidak memaksa Nenek Gwen untuk menginap. Karena aku juga tau diri, siapa yang bisa menang dengan keluarga yang level tinggi," sindir Rui sengaja mengatakan seperti itu agar Nico semakin jengkel.
Rui sangat tahu sifat Nico seperti apa. Dari cara bicaranya berasa dia paling hebat. Apalagi melihat istrinya, Monika. Rui masih beruntung mempunyai suami seperti Aldo yang selalu sabar dan pengertian.
"Pantas saja, dari cara sikapmu seperti itu, kasihan istrimu. Makan hati terus. Jangan karena hanya kesombongan kamu sudah berlaga sok jagoan! Sudahlah percuma bicara sama batu. Keras, tetap keras!" usai Rui menyindir Nico dan juga Monika. Ia memilih beranjak meninggalkan tempat obrolan. Tinggal Monika dan Nico, Monika hanya bisa menunduk bukan karena malu atau tersinggung dengan ucapan dari Rui.
Nico pun juga menyusul beranjak dari duduknya untuk bersiap ke kantor. Padahal sudah pukul sepuluh, apa lagi yang mau di kantor?
"Sudah tau bagaimana suasana di rumah ini. Masih memilih menetap di sini sampai sore menemani Nenek Gwen? Jangan menyalahkan ku kalau kamu terhina oleh mulut laknat mereka!" ujar Nico berlalu keluar dari rumah Rui.
Monika masih menetap di rumah Rui, ia sudah berjanji akan menemani nenek Gwen hingga Sore. Jika melanggar bukan cucu berbakti. Bukannya Monika sudah kebal dengan cemoohan dan hinaan dari saudara-saudara keluarga Nico.
****
LOVE LOVE LOVE DONG! HEHEHE