Chapter 5.

1387 Kata
Pada akhirnya Nico harus menginap di rumah sepupunya, Rui. Rengekan tadi saat menikmati makan siang bersama, Albert menangis meminta, dan memohon pada Rui untuk mengizinkan Monika dan Nico menginap. Padahal Rui kurang nyaman jika Nico harus menginap ke rumahnya. Apalagi Monika, tentu Rui selalu berjaga waspada melihat sikap lugu dan polosnya Monika. Kenapa Rui paling tidak suka jika Monika ada di rumah ini. Dirinya merasa takut di saingi penampilannya. Apalagi, Aldo turut terpesona akan kelembutan Monika meskipun larut wajah Aldo tidak menyukai adanya Nico di rumahnya. Nico juga tak mengharapkan untuk menginap, jika bukan Albert merengek dan menangis tak berhenti-henti. Nico pun tak sudi akan inap di rumah sepupunya penuh mulut laknat dan tidak memiliki etika sopan santun. Nico tak merasa iri atau sirih pada siapa pun. Walau parasnya tidak setampan Aldo. Baginya ia puas dengan miliknya sendiri. "Omong-omong, aku dengar pemasaran di Jakarta turun drastis, ya?" Aldo mengangkat lebih dulu percakapan dari suasana yang dari tadi hening. "Tidak juga, bukannya pemasaran mu yang setiap turun naik terus? Apa ada masalah dengan pengolahan atau kekurangan bahan-bahan untuk di produksi?" jawabnya santai dan tenang untung Nico selalu membawa laptop ke mana pun untuk menghilangkan rasa jenuhnya. Aldo diam sebentar setelah menyimak pembicaraan Nico tadi, ada rasa kesal juga dengan jawaban Nico yang begitu angkuh dan sombong. "Tidak perlu malu-malu, jika kamu butuh dana untuk pengolahan yang kurang untuk usahamu. Kamu bisa datang kapan saja ke kantorku. Aku dengan senantiasa membantu mu, bukankah kamu itu juga termasuk di keluarga ku? Walau tak sedarah dan tak se-marga," tambah lagi Nico berbicara seolah-olah dirinya paling hebat dan paling kuasa. Aldo menahan untuk tidak terpancing akan omongan Nico tadi, hanya kepalan tangan yang membuat ia untuk lebih sabar menghadapi pria sombong itu. Nico menarik seulas senyum di balik wajahnya yang terlihat menyeramkan. Walau Nico terlihat seram bukan berarti ia malu akan bekas luka terbakar di bagian samping pipinya yang selalu di tutupi oleh brewoknya. Nico adalah pria yang tak sempurna, meski begitu ia mempunyai cara sendiri. Dari kekurangan yang ia miliki. Kerja keras untuk bisa melampaui saudara-saudaranya adalah dendam. Nico memiliki segala kedendaman pada Aldo tentunya. Bagaimana bisa? Apa permasalahan sehingga Nico sangat benci terhadap Aldo? Bukankah Aldo tak tau seluk beluk pribadi Nico? Apakah ada kaitan dengan adik sepupunya? Rui? Ya, mungkin saja. Apalagi Rui juga sangat benci dengan sikap angkuh dan kesombongan dimiliki oleh Nico tersebut. Ketika Nico, Monika, dan nenek Gwen datang ke rumah Rui. Rui tak menyambut mereka berdua melainkan menyambut nenek Gwen. Pasti ada alasan kenapa Nico selalu membalas omongan dari pertanyaan Aldo ataupun Rui. Bahkan jawaban Nico terlihat sangat santai dan menganggap pertanyaan mereka itu hanya angin lalu. Mungkin ada masa lalu di kehidupan Nico sebelum dirinya menikah dengan Monika. Sampai saat ini Nico masih terlihat santai tidak pernah memikirkan kapan memiliki keturunan. Ya, pasti banyak hujatan yang didapat oleh Monika. Hujatan itu sudah tidak asing untuk Monika pastinya. Setiap detik-detik bersama seperti Nico itu tak ada alasan jelas. Nico berwatak keras, suka-suka, merasa omongannya itu benar, tidak suka di atur, merasa dirinya hebat dan disegani. Terlalu angkuh, tidak pernah memandang bulu. Mau orang itu kaya, atau miskin. Baginya ia paling hebat. Karena sukses pesat atas kerja kerasnya selama ini. "Heehhh!" Nico mendesah, lalu meninggalkan tempat kesunyian yang tak ada bahan untuk obrolan lagi. Aldo sedari tadi membisu, mungkin malas berargumentasi dengan Nico yang terlalu angkuh itu. Nico menuju kamarnya untuk istirahat, akan tetapi Nico berhenti di salah satu kamar, di mana Monika tengah menyanyikan sebuah lagu untuk Albert dalam keadaan tidur di pangkuannya. Dapat Nico lihat dari larut wajah istrinya ketika mengelus rambut kepala Albert yang telah terlelap itu. **** Monika masuk ke kamar setelah menidurkan Albert. Kemudian, Nico keluar dari kamar mandi menyegarkan dirinya dengan air dingin. Monika sejenak berhenti menatap suaminya hanya mengenakan celana tidur panjang tanpa penutup bagian atasnya. Nico malah sebaliknya melirik istrinya sejenak, Monika dengan segenap raga memalingkan pandangan tempat lain. Bukan maksud malu, atau ilfil dengan tubuh suaminya sendiri. Justru Monika sudah tak merasa malu jika Nico selalu melakukan di kamar dengan keadaan telanjang da*da. Sah-sah saja, untuk Monika. Bukankah Nico adalah suaminya? Bukan berarti belum pernah melakukan hubungan suami istri. Tentu sudah pernah pastinya, namun tidak sedalam hubungan dalam percintaan. Hanya sentuhan manis. Tatapan tajam melihat punggung Monika begitu intens, ada hasrat di dalam benak Nico. Namun sayangnya Nico menolak untuk tak saling menyakiti. Tak lama kemudian, Monika keluar dari kamar mandi untuk membersihkan wajahnya yang kusam. Lebih segar, Nico telah berada di tempat tidur memainkan ponsel miliknya. Monika menyusul ke tempat tidur, kedua matanya sudah mengantuk. Tak ada satu kata yang keluar dari bibir mereka berdua. Hari-hari seperti inilah yang selalu ada dipernikahan Monika dan Nico. Sekali-kali Nico mencuri perhatian pada istrinya. Monika bersiap untuk tidur, ia melepaskan ikatan rambut yang dari tadi diikat. Nico kembali melihat ponselnya, karena Monika dalam posisi menghadap dirinya. Akan tetapi posisi itu kurang nyaman hingga Monika memilih membelakanginya. Nico juga ikut menyusul, dan lebih dekat untuk bisa memeluk istrinya. Monika yang dalam keadaan terpejam, membuka matanya. Sebuah pelukan dari suaminya tengah mempersatukan diri. Embusan napas yang datar dapat dirasakan olehnya. "Sepertinya kamu sangat menyayangi Albert?" bisik Nico pelan, Monika bisa mendengar sangat cermat. Monika tidak menjawab, Nico semakin mengeratkan peluknya dari belakang. Monika tidak bisa menolak, ada sesuatu yang ganjil dibenaknya. Bukan karena ia tidak mau menjawab setiap ucapan Nico padanya. "Maaf, jika aku terlalu keras padamu. Maaf, jika hingga detik ini aku belum bisa berikan keturunan padamu," bisiknya lagi. Monika mengerti segala kalimat terlontar dari Nico. Monika juga tak bisa menyalahkan suaminya. Bukan karena tak bisa memberikan keturunan. Perasaan Monika berkecamuk setiap memori masa lalunya selalu timbul penuh cobaan pahit. Dengkuran tenang dari Nico, Monika baru bisa menghela panjang namun pelan. Ia pelan-pelan memutar posisi yang tadi membelakangi suaminya. Kini telah berhadapan dengannya, jarak wajahnya dengan Nico tinggal beberapa senti. Monika memandang wajah Nico dalam-dalam, bekas luka di mata turun di sudut bibir bekas jahitan tertutup oleh bulu tebal itu. Selama pernikahan dengan Nico, hubungan suami istri hanya janji ikatan suci biasa. Monika selalu menolak untuk melakukan hubungan serius, karena ia belum siap untuk hujatan mulut dari Nico yang iblis. Monika terpaksa menikah dengan Nico juga karena perjodohan mendadak dari orangtuanya. Monika akui, kehidupannya tak akan pernah seindah kehidupan seperti Fera dengan suaminya, Chandra, atau seperti Rui dengan suaminya, Aldo. Bahkan teman-teman lainnya. Ia menikah secara sederhana, tertutup. Itu yang diinginkan olehnya. Menikah tanpa cinta, itu sulit baginya. Sebaliknya dengan Nico juga. Akan tetapi, Monika menerima semua kekurangan dari Nico, walau pria di depannya sangat mengerikan. Jika Monika mengingat kembali perjumpaan dengan seorang pria yang mapan, orang terpandang. Kini usianya 29 tahun, menikah di usia 24 tahun. Menikah saja sudah syukur, masih mengeluh lagi? Itu bukan dirinya, baginya Nico pria cukup mengerti walau tidak seluruhnya. "Maafkan, aku juga. Jika aku belum bisa berikan sesuatu untuk pernikahan kita," ucap Monika dalam hati. Kemudian, ia pun memejamkan untuk menyusul ke alam mimpi. Sebaliknya di kamar sepasang suami istri, Rui dan Aldo. Rui sedang di kamar mandi sambil bersenandung bahagia. Sementara Aldo, masih sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang ia lihat di layar ponselnya itu. Namun, dibalik wajah tampan ada se-curas kerinduan. Sebuah senyuman bahagia di gambar media sosial. Asli, Aldo senyum-senyum getir meng-scroll galeri milik seseorang. Pastinya nama itu masih tersimpan di memorinya. Suara pintu kamar mandi terdengar, Aldo langsung keluar dari galeri sosial media. Kemudian membuka google lain. Rui hanya membaluti handuk ditubuhnya. Lalu duduk di sebelah Aldo. "Sayang, buat adik untuk Albert, yuk?!" ajak Rui, tanpa ada se-urat malu pun. Aldo langsung menatap istrinya, bukan tak ingin. Malahan ia belum ingin menambah satu penghuni di rumah. Satu anak saja sudah lelah, apalagi dua. "Nanti saja, besok senin kita masih banyak pekerjaan. Kalau kamu kelelahan akan merepotkan diriku nanti. Apalagi usaha yang kita bangun saja belum naik pesat," tolak Aldo kembali melihat berita politik online. Raut wajah Rui berubah seketika setiap dirinya mengajak Aldo untuk bercinta, selalu banyak alasan. Kadang Rui tidak habis pikir dengan sikap Aldo terlalu cuek. Padahal saat menikah dengan Aldo, sikapnya tidak seperti ini. Rui sudah berusaha semaksimal agar bisa menjaga keharmonisan rumah tangga dengan suaminya dan anaknya juga. Apa lagi yang kurang? Mengikuti jejak suaminya membuka usaha pengolahan makanan snack dengan hasil kerja keras mereka. Agar tidak ada orang lain meremehkan kepribadian. Kalau bukan karena cinta Rui tidak akan mau mengikuti jejak suami dari nol. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN