"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Min Hua yang saat ini tengah duduk di paviliunnya dengan wajah tegang. Kedua tangannya menggenggam erat cawan teh hingga hampir retak. Ingatan tentang Xin Yao yang berhasil memikat hati Ibu Suri dan bahkan membuat Kaisar kagum padanya terus menghantui.
"Tidak … aku tidak boleh membiarkannya. Seorang tabib buangan tidak pantas berdiri sejajar dengan kami. Aku akan pastikan dia jatuh, kali ini untuk selamanya!" batinnya penuh amarah.
Ia segera memanggil seorang pelayan kepercayaannya, lalu berbisik pelan, “Besok saat dia hendak mengantar ramuan untuk Ibu Suri, kau tahu apa yang harus kau lakukan?”
Pelayan itu menunduk. “Tahu, Nyonya.”
---
Keesokan paginya, Xin Yao membawa nampan berisi ramuan segar yang ia racik sendiri untuk kesehatan Ibu Suri. Aroma herbal memenuhi udara, menandakan ramuan itu baru saja dibuat. Ia melangkah cepat ke arah Istana Chun Ming, ditemani dua pelayan kecil Permaisuri.
Namun di tengah jalan, seorang pelayan berpakaian rapi menghadangnya. Nafasnya terengah, seolah-olah ia baru saja berlari.
“Nona Xin! Cepatlah! Kaisar memanggil Anda ke Istana Hanyuan. Beliau mendadak sakit. Badannya menggigil. Kalau boleh, biar ramuan untuk Ibu Suri saya yang antarkan.”
Xin Yao mengerutkan dahi, kebingungan.
“Aneh sekali … bukankah tadi pagi saat sarapan beliau terlihat sehat? Kenapa tiba-tiba jadi sakit?”
Pelayan itu menunduk lebih dalam, menutupi ekspresinya. “Saya hanya menyampaikan titah, Nona. Kaisar membutuhkan Anda sekarang juga. Jika terlambat, bagaimana bila keadaan beliau semakin parah?”
Xin Yao terdiam sejenak. Logikanya menolak, tetapi rasa tanggung jawab sebagai seorang tabib membuatnya tidak punya pilihan. Ia menatap ramuan di nampan, lalu menyerahkannya pada pelayan itu.
“Baiklah, tolong kau antarkan ramuan ini langsung ke tangan Ibu Suri. Jangan sampai tertukar apalagi tertunda. Ibu Suri harus meminum ramuan ini setelah jam makan malam.”
Pelayan itu tersenyum samar, menerima nampan dengan hormat. “Tentu saja, Nona. Silakan cepat ke Istana Hanyuan.”
Xin Yao pun bergegas pergi.
—
Di istana Hanyuan, suasana terasa tenang, hanya ada dua penjaga yang berdiri di depan kamar Kaisar. Namun, di dalam ruang tidurnya, wajah sang penguasa tampak pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Seorang pelayan yang selalu setia di sampingnya pun panik. “Paduka, apakah perlu saya memanggil Tabib Xin?”
Kaisar mengerjap, menahan rasa pening di kepalanya. Dengan suara serak, ia menjawab, “Tidak usah ... Aku hanya sedikit lelah. Sebentar lagi juga akan sembuh ...”
Namun dalam hati, Kaisar tahu dirinya memang tidak baik-baik saja. Ada sesuatu yang tidak beres sejak siang tadi. Ingin memanggil Xin Yao tapi gengsi. Namun tubuhnya sudah tidak sanggup lagi menahan. Tepat saat ia hendak memberi perintah untuk memanggil Xin Yao, langkah kaki terdengar dari luar pintu.
“Tabib Xin melapor, hamba datang memenuhi panggilan Paduka,” suara Xin Yao terdengar lantang.
Kaisar sontak terbelalak. Apa? Aku bahkan belum sempat mengirim perintah ... Bagaimana mungkin dia bisa tahu aku sakit?
Wajahnya langsung berseri meski tubuhnya masih lemah. “Masuklah!”
Xin Yao melangkah masuk dengan nampan kosong di tangan. Ia segera mendekati tempat tidur. Begitu melihat wajah pucat Kaisar, ia menghela napas panjang. “Astaga ... ternyata benar. Anda memang sakit. Padahal tadi pagi, saya lihat Anda masih segar-bugar.”
Kaisar menatapnya penuh arti, bibirnya melengkung nakal. “Jadi ... kau datang kemari karena mengkhawatirkanku? Apa kau bisa merasakan kondisiku? Hmm, ini pasti ikatan batin antara kita.”
Xin Yao langsung terdiam beberapa detik sebelum akhirnya memutar bola matanya. Rasanya, dia ingin menggetok kepala lelaki yang ada di hadapannya ini. “Ikatan batin apanya! Saya datang karena ada pelayan yang bilang kalau Anda sedang sakit dan memanggil saya.”
“Tapi aku belum sempat menyuruh siapa pun.” Kaisar menyeringai, meski tubuhnya masih lemah. “Itu artinya ... kau datang dengan sendirinya. Lihat? Jelas-jelas batin kita memang terhubung.”
Wajah Xin Yao memerah karena kesal. Ia menekuk bibirnya sambil menyiapkan peralatan obat dari dalam tas kainnya. “Paduka, jangan terlalu banyak menghalu! Kalau saya bisa memilih, saya lebih memilih minum teh hangat di paviliun daripada berurusan dengan Kaisar keras kepala dan juga m***m seperti Anda.”
Kaisar justru terkekeh. “Semakin kau marah, semakin aku yakin kalau kau malu mengakuinya.”
Xin Yao menatapnya dengan tatapan kesal. "Rasanya, aku ingin melempar bantal ke wajahnya." Tapi dia berusaha menahan diri. Ia lalu memeriksa denyut nadi Kaisar dengan jemarinya. Wajahnya berubah serius. “Hmm ... tekanan darah Anda rendah, mungkin karena kelelahan. Saya akan membuatkan ramuan penambah stamina.”
Kaisar masih menatapnya dengan pandangan teduh dan senyum nakal. "Jangan memberikan ramuan penambah stamina, jika aku memintamu melayanimu disini, bagaimana?"
Rasanya, Xin Yao ingin mencekik leher lelaki ini. "Astaga! Ini bukan penambah stamina itu! Ini stamina untuk tenaga, biar Anda kuat dan sehat kembali."
Kaisar hanya menganggukkan kepala, tapi masih dengan menatap Xin Yao penuh makna, dan itu membuat Xin Yao salah tingkah. “Apa lagi? Kenapa Anda menatap saya begitu?”
Dengan suara rendah, Kaisar menjawab, “Karena hanya kau yang bisa membuatku merasa tenang, Xin Yao.”
Xin Yao langsung terbatuk kaget, nyaris menjatuhkan botol ramuan kecil di tangannya. “Ya ampun ... Kaisar, tolong jangan bicara yang aneh-aneh saat saya sedang bekerja!”
Saat ia hendak berdiri dari sisi ranjang, tiba-tiba tangan Kaisar yang hangat menarik pergelangannya. “Jangan pergi dulu ...”
“Eh?!” teriak Xin Yao kaget. Tubuhnya tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan terjatuh tepat di d**a Kaisar. Yang lebih naas lagi, bibir mungilnya tanpa sengaja menempel pada bibir Kaisar.
Mata mereka sama-sama membelalak. Detik itu terasa lama. Kaisar justru tersenyum puas. Xin Yao hendak bangkit, tapi Kaisar justru menahan tengkuknya agar bibir mereka menempel lebih lama.
Hati dan pikiran Xin Yao bertolak belakang. Pikirannya tidak ingin menerima. Namun, hatinya tak bisa menampik, ia nyaman dengan kelembutan Kaisar.
Kaisar memegang kepala Xin Yao. Lelaki itu pun mulai memagut bibir seksi yang selalu ceriwis itu. Awalnya, Xin yao hanya diam, tapi pagutan liar sang Kaisar membuat Xin Yao hanyut dan terbuai.
Setelah puas mencium Xin Yao, Kaisar pun melepaskannya. “Nah, sekarang kau tak bisa menyangkal lagi kalau kita punya ikatan batin.”
“APA-APAAN?!” Xin Yao buru-buru hendak bangkit, wajahnya merah padam.
Namun sebelum sempat ia menjauh, suara berat penuh wibawa menggema dari pintu.
“Apa yang sedang kalian lakukan?”