Mario menatapku dalam-dalam. Tanda tanya besar dan ragu memenuhi pancaran matanya saat kubalas menatapnya. Aku tidak menyalahkan Mario. Ia memang berhak meragukanku, jika itu yang ada dalam pikirannya “Kamu yakin dengan ucapanmu, Baby?” Aku bahkan tidak tahu apa yang aku ucapkan barusan. Aku hanya ingin melupakan kesedihanku. Mungkin kalau aku hamil dan menikah dengan Mario aku bisa dengan cepat melupakan kisah sedih ini. “Iya.” Mario tersenyum. Senyuman termiris yang pernah kulihat di wajahnya. Mungkin saat ini Mario sedang mengasihaniku, tapi aku memang layak dikasihani. Aku tidak berdaya menghadapi duka ini sendirian. Mario mengecup pipiku sekali lagi. Ia bergerak naik menindih tubuhku sebelum menyapukan bibirnya di dahiku, menciumi selebar wajahku, dan berakhir di bibir. Hisapann

