Hal yang paling menyakitkan bagi gue adalah saat gue masih cinta lo tetapi lo udah nggak.
Aku menghentikan mobilku di tepi jalan lalu mulai mengingat sesuatu yang penting. Memang, aku ingin mengantar Anestesi pulang tetapi aku tidak tahu rumahnya. Terlebih karena terlalu tergesa-gesa aku lupa menanyakan alamatnya pada guru BK, membawa tasku dan tas Anestesi serta lupa membawa handphoneku. Tidak ada petunjuk dan aku tidak tahu harus melakukan apa setelah ini. Kembali ke sekolah aku rasa bukan pilihan yang bijak terlebih setelah aku melakukan keributan semacam tadi. Gengsi.
Seorang Ribut Jagad Satria gengsi? Ayolah. Aku bukan malaikat apalagi iblis. Hanya manusia biasa. Boleh percaya atau tidak, sifat gengsi sebenarnya sejak dari dulu termasuk dalam sifat alami yang menempel di tulang manusia sejak pertama kali dilahirkan. Mungkin karena itu bayi saat dilahirkan pipis sembarangan dan menangis tidak karuan. Sebabnya? Gengsi minta diantarkan ke kamar mandi dan minta minum. Ngawur? Tidak juga. Bisa dibilang, ini adalah pikiran irasional. Bukan Matematika? Iya tahu, aku juga tidak mengatakan ini adalah bagian dari mata pelajaran yang banyak dibenci itu. Walau sejujurnya, aku suka mata pelajaran itu. Suka saja, kalau mencernanya belum tentu.
Aku menoleh ke belakang, menatap Anestesi yang masih memejamkan matanya. Belum sadar sepertinya. Mulutnya sedikit terbuka dan keringatnya semakin banyak. Aku sangat khawatir padanya. Kunyalakan AC mobilku, berharap semoga sedikit mengurangi keringatnya. Kuperhatikan wajah Anestesi baik-baik, entah kenapa rasanya menyenangkan melihatnya lama-lama. Bulu matanya lumayan panjang ternyata. Bibirnya ranum dan memiliki sudut yang sempurna. Jadi rasanya wajar saja saat dia tersenyum, dia begitu menyilaukan.
Aku menautkan alisku, teringat sesuatu. Aku menemukan cara bagaimana aku bisa membawa Anestesi pulang tanpa harus kembali ke sekolah. Aku pun menyalakan mesin mobilku dan mulai melajukannya. Tiba di tujuan aku turun dari mobil. Melapor sebentar pada satpam lalu diantarkan menuju ke ruang BK. Di sana seorang guru menyambutku.
“Perlu sama siapa, Nak?” tanya seorang guru dengan ramah.
“Saya perlu dengan Sigma Kanna, Bu!” jawabku sambil tersenyum ramah pula.
“Kelas berapa?” tanya guru itu lagi.
“XII IPA-1,”
“Keperluannya?” tanya guru itu.
“Mau minta izin agar bisa pulang duluan, Bu!” jawabku.
“Ada apa?” Guru itu menanyakan alasan mengapa aku ingin membawa Sigma pulang duluan dari sekolahnya.
“Kepentingan keluarga,”
“Kamu keluarganya?”
Aku hanya tersenyum.
“Boleh, Bu? Ini darurat!”
“Oke, tunggu sebentar!” kata guru itu lalu menulis surat izin di selembar kertas. Setelah itu guru itu keluar, meminta salah satu murid yang lewat untuk pergi ke kelas Sigma dan membawa cewek itu ke sini.
“Silahkan duduk dulu!” kata guru itu mempersilahkan aku duduk di sofa yang berada di ruang tamu.
Aku mengucapkan terimakasih lalu duduk di sofa, menunggu Sigma datang. Sebenarnya aku tidak ingin menemuinya lagi, tetapi ini darurat dan hanya dia satu-satunya petunjuk yang bisa membuatku bisa mengantar Anestesi pulang. Ini bukan modus, bukan alasan atau pembenaran. Ini demi Anestesi. Itu saja.
Tak lama kemudian Sigma datang. Dia langsung menekuk wajahnya ketika melihatku.
“Ngapain lo kesini?” tanyanya dengan judes.
“Sigma, ini saudaranya mau membawamu pulang!” kata guru itu membuat Sigma mendecih kesal.
“Dia bukan keluarga saya, Bu!” bantah Sigma yang membuat guru itu menoleh heran ke arahku.
“Kami memang tidak akur, Bu!” jelasku.
“Dih, apaan lo ngaku-ngaku. Ada apaan?” ketus Sigma lagi.
“Anestesi sakit,” jawabku.
Sigma melebarkan pupil matanya.
“Sakit? Apaan, pagi tadi gue anter dia baik-baik aja!” elak Sigma heran.
“Dia terkunci di Lab,” kataku.
“Huh? Lo apain dia huh?” Sigma meraih kerah bajuku dengan kedua tangan sehingga kini berhadapan.
“Sig, ini sekolah lo!” ucapku pelan.
Sigma melepaskan kerah bajuku lalu tersenyum pada guru yang menatap kami dengan ekspresi heran dan bingung.
“Ini keluarga Sigma, Bu. Sigma pamit pulang dulu kalau gitu!” pamit Sigma lalu bersalaman pada guru BK itu lalu menarik dasiku.
“Buruan!”
Aku hanya pasrah, mengikutinya yang berjalan sambil menarik dasiku. Tiba di luar sekolah, dia segera berlari menuju mobilku. Rupanya dia masih hafal.
“Cepet buka!” suruhnya.
Aku membuka pintu mobilku. Sigma segera masuk, mengecek kondisi Anestesi.
“Kita bawa dia pulang aja, obatnya di rumah!” gumam Sigma.
“Dia sakit apa?” tanyaku.
“Lo nggak usah kepo, deh!” sahut Sigma sewot.
Sigma menutup kembali pintu mobil lalu beralih duduk di depan, di samping kursi pengemudi. Aku pun mulai melajukan mobilku.
“Lo nekat amat ke sekolah gue,” kata Sigma memecah keheningan di antara kami.
“Nggak ada pilihan,” sahutku sekenanya.
“Lo nggak ada pilihan? Ribut gitulah, si genius!” kata Sigma setengah menyindir.
“Emang bener gitu,” kataku mencoba meyakinkannya.
“Iya dah terserah lo!” sahut Sigma.
“Habis ini kemana nih?” tanyaku.
“Pulanglah! Lo mau ngajak gue kencan? Sorry nggak sudi!” jawab Sigma angkuh.
“Jangan baper, gue nanya habis ini kemana? Lurus, belok kiri atau belok kanan?” kataku mempertegas pertanyaanku.
“Oh,” Sigma menggaruk pelipisnya. “Belok kanan, lurus, belok kiri trus masuk area perumahan!” Sigma memberikan arahan.
Aku hanya mengangguk mengerti dan keadaan menjadi hening lagi. Sebenarnya aku senang, bisa mendengar ocehan Sigma. Bisa melihatnya duduk di sampingku seperti saat ini, rasanya adalah moment yang sudah lama aku rindukan di sudut hatiku yang terdalam. Aku akui itu. Karena sejujurnya tidak bisa kupungkiri itu walau tidak bisa kukatakan dengan lantang, aku memang masih mencintainya.
“Nah, rumah bercat kuning tuh!” tunjuk Sigma pada sebuah rumah di depan.
Aku menautkan alisku.
“Itu kan rumah lo?” tanyaku kebingungan.
“Iya, dia tinggal di rumah gue!” jawab Sigma.
“Oh,” sahutku datar.
Kuhentikan mobilku dan segera membantu Sigma yang berusaha menggendong Anestesi sendirian.
“Gue aja,” kataku lalu memapah tubuh Anestesi yang sedang dicoba untuk Sigma gendong.
Sigma mengalah, cewek itu menyerahkan urusan Anestesi padaku sementara dia berlari membuka pintu gerbang rumahnya. Aku masuk ke dalam dengan Anestesi di punggungku. Sigma memintaku membawa Anestesi ke kamarnya dan kuturuti. Aku turunkan tubuh Anestesi perlahan dari punggungku dan merebahkan cewek itu di kasur. Sigma pun menutupi tubuh Anestesi dengan selimut, menyalakan kipas dan juga menempelkan kompres hangat di kening Anestesi. Setelah itu dia menyuruhku keluar.
“Gue pamit,” kataku.
“Nggak mau ngeteh?” kata Sigma menawarkan.
“Boleh?” tanyaku ragu.
Sigma hanya tersenyum.
“Kalau lo sudi ngeteh di rumah mantan ya nggak apa-apa,” jawab Sigma sedikit menyindirku.
“Sudi-sudi aja,” kataku lalu duduk di sofa ruang tamunya.
Sigma hanya tertawa kecil lalu berjalan menuju dapur.
Aku memperhatikan rumah Sigma. Masih sama. Kecuali dindingnya yang kini bercat kuning. Dulu, seingatku, dinding rumahnya bercat biru. Aku tekan-tekan sofa yang kududuki, masih empuk. Benar-benar dejavu. Dulu, aku sering kesini saat malam minggu, ngapelin si Sigma. Ya, dulu. Saat cewek itu masih jadi pacarku. Walau pada akhirnya kami putus dan berakhir menyedihkan. Namun kurasa, sekarang, keadaan tiba-tiba membaik. Sungguh keajaiban.
Tak lama kemudian Sigma datang membawa nampan dengan dua gelas es teh di atasnya. Sigma meletakkan dua gelas itu di meja dan masuk lagi ke dapurnya. Sejurus kemudian dia kembali dengan satu toples cemilan.
“Kesukaan lo nih!” ucapnya sambil membuka toplesnya.
Aku melihat isi toplesnya, keripik pisang. Kusunggingkan sebuah senyuman, senang karena Sigma masih mengingat makanan kesukaanku.
“Masih inget aja lo?” ucapku lalu mengambil satu kripik pisang dan memsasukkannya ke mulutku.
“Ingatlah! Lo kan mantan terburuk!” sahutnya yang langsung membuatku tersedak.
Uhuk.
Sigma tertawa kecil melihat reaksiku.
“Canggung amat lo! Gue cuma bercanda!” katanya lalu duduk di sebelahku. Tidak benar-benar di sebelah, ada jarak di antara kami.
“Oh ya, thanks udah ngebawa Novem pulang!” katanya dengan tulus.
“Novem?” tanyaku heran.
“Anestesi, kalau di rumah dia dipanggil Novem,” jelas Sigma.
“Oh,”
“Thanks ya,”
“Sama-sama,”
“Tapi bukan lo yang ngebuat Novem gitu kan?” katanya sambil menatapku dengan curiga sehingga aku buru-buru menggelengkan kepalaku dengan cepat.
“Bukan! Bukan gue, Sig! Sumpah!” bantahku tegas.
Sigma cekikikan.
“Iya, gue percaya. Tapi gimana ceritanya Novem bisa gitu?” tanya Sigma penasaran.
Aku terdiam, enggan bercerita.
“Karena lo?” selidik Sigma.
“Bukan, kok! Dibilangin juga bukan!” sanggahku.
“Terus?”
“Dia nggak sengaja ke kunci di Lab,” jawabku.
“Kok bisa kekunci?” tanya Sigma lagi.
“Nggak tahu. Gue hanya bantuin pas tahu dia kekunci!” jelasku.
“Oh gitu, dia emang nggak bisa sih dalam situasi kekunci gitu makanya dia sampe pingsan,” gumam Sigma sambil menaik-turunkan kepalanya.
“Emang dia kenapa?” tanyaku.
“Hm,” Sigma memandangku ragu.
“Apa? Jangan buat gue penasaran,” bujukku.
“Iya, iya, gue cerita!” kata Sigma.
“Novem punya klaustrofobia,” imbuhnya.
Aku menautkan alisku.
“Lo genius kan? Ngerti dong?” kata Sigma sembari tersenyum mengejek.
Aku berdecak pelan.
“Iya, paham gue!” ucapku.
“Apaan?” tanya Sigma tidak percaya.
“Fobia pada ruang tertutup,” jawabku yang langsung disambut senyum lebar dari Sigma.
“Good!” pujinya.
“Kok bisa kena fobia itu?” tanyaku kepo.
Sigma hanya tersenyum kecil.
“Kepo ya?” godanya.
“Udah, nggak usah kepo! Dia sepupu gue, nggak boleh jatuh ke playboy kayak lo!” tegasnya.
“Gue bukan playboy!” bantahku tegas.
“Punya pacar segudang itu bukan playboy huh?” ejek Sigma.
“Pacarku dalam satu waktu hanya satu,” jelasku.
“Dan berganti seminggu sekali huh?” Sigma menyeringai pelan.
“Menyebalkan!” dengusku.
“Tapi, dari mana lo tahu?” tanyaku heran.
Sigma terkekeh pelan.
“Gimana gue nggak tahu kalau pacar lo bertebaran di sekolah gue?” pungkas Sigma.
Aku terdiam. Jika kupikir lagi memang benar apa yang Sigma katakan kalau beberapa mantanku memang dari sekolah yang sama dengan Sigma. Tidak kusengaja, suatu kebetulan saja.
“Lo tahu nggak gosip tentang lo di sekolah gue?” tanyanya.
“Nggaklah, kan di sekolah lo!” jawabku.
“Dih,” decih Sigma. “Mau tahu?” tanyanya lagi yang kujawab dengan anggukan kepala.
“Lo di sekolah gue tuh terkenal sebagai pangeran sebaiknya putus, tahu nggak?” katanya lalu terbahak.
“Huh?”
Aku melongo, bingung.
“Lo sih tiap mutusin always say “sebaiknya putus,”, yaudah deh lho jadi punya julukan gitu! Udah gitu putusnya seminggu sekali lagi,” jelas Sigma.
Aku hanya diam, mengamati cewek di depanku yang sedang tersenyum senang. Entah kenapa senang rasanya dengan keadaan ini. Mungkin ini egois, tetapi aku ingin bersama dengannya lagi.
“Sig,” ucapku pelan.
Sigma menghentikan tawanya dan menatapku dengan lekat.
“Kenapa, But?” tanyanya.
“Soal waktu itu,” kataku memberi jeda. “Gue minta maaf,”
Sigma tercenung.
“Nggak apa-apa,” katanya kemudian.
Sigma tersenyum, manis dan sekilas aku menjadi lupa diri atau bahkan tidak tahu diri.
“Sig, gue,”
Tiba-tiba handphone Sigma berbunyi, ada panggilan masuk. Sigma berdiri dari duduknya sebelum mengangkat telpon yang entah dari siapa.
“Bentar ya,” katanya lalu berjalan menjauh.
“Ya, beib?”
Beib? Jadi Sigma sudah punya pacar baru? Ah, itu bisa saja kan? Dia tidak mungkin masih suka sama gue. Bodohnya gue.
“Huum, pulang duluan soalnya Anestesi sakit,”
“Nggak apa-apa,”
“Iya, love you too,”
Panggilan selesai. Sigma pun kembali menghampiriku.
“Pacar?” tanyaku spontan.
“Yups,” jawabnya tanpa beban.
“Ooh,”
“Iya,”
“Gue pulung dulu, deh!” pamitku lalu buru-buru bangun.
“Lah, belum diminum tuh tehnya!” kata Sigma sambil menunjuk ke teh yang memang belum kusentuh.
Aku mengambil gelas berisi teh itu lalu meneguk isinya sampai habis.
“Udah,” kataku sambil mengelap mulutku yang basah.
“Wah,” gumam Sigma.
“Yaudah, gue pamit! Salam buat Novem!” pamitku lalu berjalan pergi.
“Oke,” sahut Sigma.
Aku memasuki mobilku dengan perasaan tidak karuan. Saat kulihat Sigma berdiri di depan rumah, melambaikan tangannya padaku, aku hanya tersenyum kecut. Kunyalakan mesin mobil dan pergi meninggalkan rumah Sigma dengan perasaan galau.
Lo tahu nggak Sigma? Hal yang paling menyakitkan bagi gue adalah saat gue masih cinta sama lo tapi lo nggak. Rasanya sakit banget, lebih sakit dari saat kita putus dulu.
***
Keesokan harinya, Anestesi kembali masuk sekolah. Dia sudah kembali pulih. Keadaannya membaik dan aku sangat bersyukur melihatnya sudah baik-baik saja. Dia masih Anestesi yang sama, yang tidak banyak bicara dan kikuk. Kami belum mengobrol dan belum ada waktu yang tepat untukku mengajaknya bicara.
Firman dan Asep sejak tadi saling melempar tatapan mata, saling bertelepati untuk mengajakku bicara. Keduanya masih merasa bersalah perihal insiden Anestesi tetapi terlalu gengsi atau takut untuk mengajakku bicara lebih dulu. Karena pastinya, saat mereka mengajakku bicara, aku akan meminta mereka segera pergi menemui Anestesi dan minta maaf tentang apa yang sudah mereka lakukan pada murid baru itu.
“Panas,” keluh Asep mencoba memulai pembicaraan saat aku hanya mendiamkan mereka walau sekarang sedang jam istirahat.
“Iya nih, panas banget! Gue beliin AC juga nih sekolah lama-lama,” kata Firman menimpali.
“Emang Firman sanggup?” tanya Asep ragu.
“Wah, lo ngeraguin gue, Sep?” Firman sepertinya merasa tersinggung.
“Oh, maaf. Mampu ya?” tanya Asep lagi.
“Kagak,” jawab Firman lalu terkekeh.
Asep memanyunkan bibirnya.
“Dih, Asep kira mampu. Dasar kere!” cibir Asep.
“Hm,” gumam Firman sambil melirik ke arahku.
“Apa?” tanyaku membuat Firman melebarkan bibirnya. Senyumnya terlihat kaku.
“Ribut masih marah?” tanyanya dengan gaya bicara yang mirip seperti Asep.
“Menurut lo?” tanyaku sembari memutar bola mataku malas.
“Maaf, But!” ucap Firman dengan wajah yang benar-benar menunjukkan rasa penyesalan.
“Iya, Asep juga minta maaf!” Asep menimpali.
“Minta maafnya bukan sama gue, sama dia!” kataku sembari menoleh ke arah Anestesi.
“Iya,” kata Firman pelan. “Nanti,” imbuhnya.
“Kenapa kok nanti? Malu?” sindirku.
Firman hanya menggaruk tengkuknya sebentar.
“Yah,” ucapnya sambil mendesah pelan. “Begitulah,”
“Emang kenapa kok tega ngelakuin itu? Dia salah apa?” tanyaku, bingung juga karena setahuku Firman dan Asep bukan tipikal cowok yang overdosis tindak kriminal keisengan begitu.
“Gue kesal,” jawab Firman. “Karena dia bilang lo playboy!”
Aku menautkan alisku.
“Kan emang begitu rumornya,”
Firman memutar bola matanya dengan jengah.
“Gue belain lo. Soalnya dia setuju-setuju aja pas Harpa bilang yang nggak-nggak soal lo sama Anestesi,” jelas Firman.
“Tumben peduli sama omongan Harpa? Kan udah biasa dia tukang gosip,” sahutku heran.
“Iyah, tapi kata Asep, lo naksir dia!”
“Huh?”
Aku menoleh ke arah Asep dengan spontan.
“Maksud lo?” tanyaku meminta penjelasan.
“Firasat Asep bilang gitu,” jawabnya polos.
Aku menepuk ringan jidatku.
“Lo sejak kapan dari ustadz jadi tukang ramal, Sep? Niru Dilan?” sindirku.
Asep hanya geleng kepala.
“Nggak,” jawabnya. “Insting seorang sahabat,”
Aku terdiam. Jawaban Asep membuatku tidak bisa marah lagi padanya. Asep memang begitu, Firman juga, sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Terlebih, aku merasa sudah berlebihan.
“Kemarin Asep yang bawain tas Ribut,” kata Asep memberi informasi.
“Iya, tahu!” kataku.
“Kok bisa?” tanya Firman penasaran.
“Tasku masih ada, isinya lengkap dan tertata di kelas sebelum gue datang. Jadi, sudah dipastikan ada yang bawa pulang. Karena lo belum datang, udah pasti Asep yang kalau datang selalu pagi,” jawabku menjelaskan analisisku.
“Ribut emang genius,” puji Firman.
“Tas Anestesi gimana?” tanyaku.
“Linda yang urus,” jawab Firman.
“Syukurlah,”
“Ngomong-ngomong Ribut kan udah putus dari Tiwi, pacar baru Ribut sekarang siapa?” tanya Asep.
Aku menghela napas pelan.
“Si Harpa lagi?” tanyaku, menebak bagaimana bisa Asep tahu kalau aku dan Tiwi sudah putus.
Asep kali ini menggeleng membuatku mengerutkan dahi.
“Bukan,” jawabnya.
“Trus?” tanyaku.
“Tadi Asep denger dari Denis kalau dia jadian sama Tiwi kemarin,” jawab Asep menjelaskan.
“Wah, baguslah!”
“Lo nggak marah, But?” tanya Firman.
“Marah kenapa?” ucapku balik bertanya.
“Mantan move on duluan!”
“Ah, nggak! Ada yang lebih penting dari itu,” sahutku santai.
“Jadi, nggak mau nembak Anestesi?” goda Firman.
“Nggak,” sahutku.
“Kenapa?” tanya Firman.
“Gue nggak suka Anestesi!” jawabku dengan tegas.
“Gue juga,”
Suara pelan itu membuatku, Firman dan Asep segera menoleh dan terkaget-kaget karena Anestesi sudah berdiri di depan kami dengan wajah yang ditekuk. Sepertinya dia mendengar apa yang kukatakan di waktu yang tidak tepat.
“Hm, anu,” aku jadi salah tingkah. Entah kenapa serasa terciduk.
“Gue ngerti,” ucap Anestesi.
“Kesini cuma mau bilang makasih sudah nganterin pulang!” imbuhnya lalu berjalan pergi.
Aku, Firman dan Asep saling berpandangan.
“Dia denger tuh!” ucap Firman.
“Yah,” ucap Asep dengan nada penuh rasa menyesal.
“Udah, nggak apa-apa!” kataku.
“Ribut! Ribut!”
Panggilan bernada agak sumbang dan melengking itu membuatku menoleh lagi. Si Linda berlari mendekatiku dengan tangan penuh makanan.
“Buat gue nih?” tanyaku sambil menunjuk makanan yang dia bawa.
“Enak aja lo! Beli kalau mau!” dengusnya kesal.
“Lah, terus ngapain kesini sambil bawa makanan?” tanyaku heran.
“Lo sama Anestesi dipanggil ke ruang guru tuh sama Bu Iva!” jawabnya.
“Ngapain?” tanyaku heran.
Linda menaikkan kedua bahunya.
“Entah, lo tanya aja sendiri!” jawabnya cuek lalu segera berlari menghampiri Anestesi.
Aku pun bangun dari dudukku, hendak berjalan menuju ruang guru. Di pintu kelas, Anestesi menatapku dengan wajah cemas. Kami berjalan berdampingan tanpa direncanakan, bahkan langkah kami pun sama.
Tiba di ruang guru kulihat tangan Anestesi gemetar dan coba ia remas-remas untuk menenangkan dirinya. Sepertinya dia benar-benar merasa gugup. Aku juga begitu, walau menurutku, aku tidak melakukan kesalahan apapun.
Bu Iva melambaikan tangan begitu melihat kami. Guru kami yang suka sekali berpakaian modis itu malah yang menghampiri kami.
“Ribut, Anestesi, kalian ibu hukum seminggu membersihkan Lab Biologi!” katanya dengan nada santai.
Aku dan Anestesi saling berpandangan dengan heran. Bingung.
“Yang muntah di Lab Biologi kemarin Anestesi kan?” selidik Bu Iva membuat Anestesi mengangguk.
“Dan yang mengunci dan menolong Anestesi adalah Ribut. Ya kan?”
“Eh?”
Anestesi menatapku dengan marah.
“Lo yang ngunciin gue?” tanyanya dengan nada tinggi.
“Gue-,”
“Udah, urusan rumah tangga kalian urus nanti aja. Ribut dan Anestesi setiap pulang sekolah tolong bersihkan Lab Biologi ya!” kata Bu Iva memotong pembicaraanku.
“Udah, masuk kelas sana!” kata Bu Iva menambahkan. Guru Biologiku itu pun pergi begitu saja dan Anestesi hanya memandangku penuh kebencian.
“Lo jahat!”
Anestesi keluar dari ruang guru, meninggalkan aku yang hanya mampu memegangi jidatku. Mendadak pusing dan tidak enak badan.
Please, cobaan apa lagi ini? Baru saja gue baikan sama Sigma, kini sudah mencari masalah dengan sepupunya. Apes. Semoga Sigma nggak salah paham lagi ke gue soal ini.