When a man says “I wanna be a good man for you”, don’t judge him as a liar because you never know how much brave he needs to say it.
Aku dan Firman sedang makan bakso ketika Tiwi dan Nadia, teman satu tim Tiwi di ekskul basket datang menghampiri kami. Tiwi memilih duduk di samping kiriku karena di sebelah kanan sudah ada Firman. Sementara Nadia lebih memilih duduk di depan Firman. Keduanya hanya membawa s**u kotak di tangan masing-masing.
“Beib,” panggil Tiwi.
Aku mendongakkan kepalaku, menghentikan sementara aktivitas makanku lalu menoleh ke arah Tiwi.
“Apa, Beib?” sahutku.
“Nanti bisa anterin ke rumah Vanesha? Sepeda motor gue rusak!” katanya to the point.
“Weh, nggak bisa!” jawab Firman. “Ribut mau pergi sama gue ke rumah Asep,”
“Pulang sekolah?” tanya Tiwi.
Aku mengangguk.
“Nggak bisa nganterin gue dulu gitu?” Tiwi menatapku lekat, sepertinya dia masih bersikukuh agar aku mengantarnya lebih dulu sebelum pergi ke rumah Asep.
“Maksa! Dibilangin nggak bisa ya nggak bisa!” oceh Firman kesal.
“Dih, apaan lo nyeletuk mulu. Gue lagi ngomong sama pacar gue!” gerutu Tiwi kesal.
“Yang bilang lo lagi ngomong sama batu sapose?” balas Firman.
Tiwi melebarkan pupil matanya seraya memanyunkan bibirnya ke arah Firman. Sementara Firman hanya memasang wajah polos tidak berdosa.
“Syirik aja lo!” ketus Tiwi.
“Weh, maaf, maaf nih! Bukannya sombong, tapi gue ini kaya tauk!” sanggah Firman.
Tiwi menaikkan sebelah alisnya, bingung dengan ucapan Firman barusan. Firman memang sedikit aneh, kuakui. Bahkan dia terkadang sulit dimengerti. Nadia yang dari tadi diam pun sepertinya sependapat dengaku. Dia juga ikut-ikutan mengangkat satu alisnya, tidak mengerti apa maksud dari ucapan Firman.
“Maksud lo?” tanya Tiwi, menyerah untuk berpikir dulu sebelum menanyakan ketidak mengertiannya.
“Aih, nanya! Otak lo nggak nyampe?” Firman terkekeh. “Syirik kan tanda tak mampu, sementara gue ini dari keluarga kaya. Jadi nggak mungkin gue syirik! Paham lo? Gue nggak sombong lho ya, cuma ngasih tahu!” kata Firman menjelaskan dengan memberi penekanan pada kalimat terakhir.
“Sinting lo emang!” dengus Tiwi kesal.
“Kalau sinting gue nggak kira sekolah!” balas Firman.
“Siapa tahu lo orang sinting yang pandai berakting, jadi ketipu semua deh sama lo!” Tiwi tidak mau kalah.
“Termasuk lo?” sindir Firman yang langsung membuat Tiwi kalah telak.
Tiwi membanting s**u kotaknya ke meja lalu berdiri, menghadap ke arah Firman dengan wajah yang sudah merah padam karena menahan amarah yang berkobar-kobar.
“Lo kenapa sih cari ribut sama gue?” tanya Tiwi dengan geram.
“Huh? Ngapain nyari Ribut sama lo? Toh Ribut selalu sama gue!”
Smart atau sinting, si Firman menang lagi. Dia memang pandai membolak-baliknya kata. Pantaslah si Firman juara olimpiade kebumian. Walau aku tidak tahu apa hubungan keduanya.
“Udah, Wi, nanti gue aja yang antar! Jangan berantem!” kata Nadia mulai angkat bicara.
Tiwi pun berbalik menatap Nadia. Ada rasa tidak puas tergambar di wajahnya saat Nadia mengatakan itu padanya. Aku rasa itu adalah hal yang wajar jika Tiwi beraksi begitu. Dia adalah atlet basket yang membenci kekalahan. Mengalah, tentu bukan sikap dominannya.
“Tapi kan gue pengennya dianterin pacar, Nad!” rajuk Tiwi lalu duduk kembali. Amarahnya mereda seketika setelah dihentikan Nadia.
“Udah, gue aja yang anter. Ribut kan lagi sibuk, ngertiin dialah!” Nadia mencoba membuat Tiwi memahami situasiku.
“Yasudah,” Tiwi mendesah pelan. “Gue ngalah, deh!” katanya setengah hati. Aku rasa Tiwi benar-benar menghargai Nadia sebagai teman sehingga mendengarkan apa yang Nadia katakan padanya.
“Daritadi kek!” Firman nyeletuk lagi.
“Ih, ini anak! Awas lo ya!”
“Apa lo? Awas kenapa?”
“Dih, beraninya sama cewek!”
“Emang kalau lo cewek kenapa? Katanya emansipasi, kesamaan gender kok ngerengek gitu kalau ada cowok yang nantangin?”
“Aih, lo itu kalau ngo-,”
“Udah, dong! Kuping gue sakit nih denger kalian berantem dari tadi. Kalau kalian mau berantem, pergi ke lapangan saja sana!” leraiku dengan sedikit emosi.
Dongkol lama-lama mendengarkan perdebatan mereka yang tidak berkesudahan.
“Maaf,” kata keduanya dengan nada yang menunjukkan penyesalan.
Firman dan Tiwi pun diam, tidak ada percakapan yang terjadi setelah itu sehingga aku bisa tenang menghabiskan baksoku. Nadia juga tampak kalem, teman Tiwi itu juga duduk sambil menyeruput s**u kotaknya dengan nyaman. Tak lama kemudian aku pamit ke kelas duluan setelah baksoku habis. Walau agak tidak rela, Tiwi mengiyakan. Dia tidak memaksaku untuk tetap duduk menemaninya sampai jam istirahat berakhir.
“Gila, gila, gila!” oceh Firman setelah kami berdua sudah cukup jauh dari kantin.
“Apaan?” tanyaku penasaran.
“Gila amat lo mau pacaran sama cewek singa kayak dia!” jawab Firman sambil mengetuk-ngetuk kepalanya dengan tangan kiri seolah berkata, “ amit-amit dah gue pacaran sama dia”.
“Nggak boleh gitu ah!” kataku menasehati. “Lo kan baru liat sisi jeleknya, belum baiknya!”
“Mana ada sisi baik dari cewek singa kayak dia?’ sungut Firman.
“Haha.” Aku tertawa geli. “Awas jatuh cinta begitu tahu!” godaku.
Firman berdecak pelan.
“Nggak akan!” ucapnya yakin.
“Boomerang lho ntar!” kataku, mencoba menggoda Firman sekali lagi.
“Ogah!”
“Tapi gue penasaran, lo kenapa nembak Tiwi? Karena dia susah didapat?” tanya Firman setengah menebak.
“Mungkin,”
“Alasan lain?”
“Karena dia bilang suka gue duluan, gue jadi pengen nyoba suka sama dia!” kataku jujur.
“Huh? Maksud lo?” tanya Firman sambil mengerutkan keningnya.
“Ya kan, kita nggak tahu bisa suka atau nggak sebelum dicoba, ya kan? Jadi, gue ajak dia pacaran siapa tahu lama-kelamaan gue jadi suka dia,” jelasku.
“Prinsip gitu sih bagus, cuma kalau lo yang nerapin gue jadi kayak ngelap mulut pake tisu kotor, But!” kata Firman sambil mengusap-usap bulu kuduk di tangannya yang tiba-tiba meremang.
“Alay lo!” desisku membuat Firman hanya tersenyum kecut.
“Ngomong-ngomong, nanti kita berdua nih?” tanya Firman.
“Ke rumah Asep?” tanyaku memastikan topik yang sedang kami bahas sekarang.
Firman mengangguk mengiyakan.
“Berempat, kok!” bantahku.
Firman menatapku heran.
“Sama siapa lagi?” tanyanya.
“Linda dan Anestesi,” jawabku.
“Ooh.” Firman mengangguk-nganggukkan kepalanya.
“Heh?!” teriaknya kaget membuatku terpaksa menyikutnya sedikit.
“Alay lo! Biasa aja kali!”
“Lo gila, But? Lo ngajak si Anestesi, murid baru itu ke rumah Asep?” tanya Firman terheran-heran dengan keputusan yang kuambil.
“Iya, emang kenapa?” tanyaku.
“Dia mau ikut? Gue aja nyapa dia tiap hari selalu dikacangin!” kenang Firman penuh haru.
“Harus mau!” jawabku.
“Kok gitu?”
Aku menatap Firman lalu tersenyum.
“Kan gue ketua kelasnya,” jawabku bangga.
Firman terbahak.
“Gila bener cewek yang mau sama lo! Mereka nggak tahu aja sisi gelap lo!” kata Firman sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Udah hukum alam, Man!” kataku membuat Firman menatapku serius.
“Yang ganteng mah bebas!” lanjutku yang langsung mendapat jitakan ringan dari Firman.
“Ke laut aja lo!” dengusnya kesal.
***
Aku, Firman dan Linda sudah berada di rumah Asep. Kami bertiga langsung ke rumah Asep seusai pulang sekolah dengan mengendari sepeda motor masing-masing. Rencana awal, aku juga mau mengajak Anestesi, si murid baru untuk ikut menjenguk Asep, tetapi batal terlaksana karena suatu kejadian yang membuatku merinding sampai sekarang. Benar-benar mengerikan!
“Anestesi!” panggilku saat Anestesi hendak keluar kelas.
Sudah kuamati selama seminggu dan cewek yang suka menguncir kuda rambutnya itu selalu pulang paling belakang. Setelah kelas sepi, ia akan melenggang dengan santai keluar kelas dan menunggu jembutan di depan sekolah. Walau sampai saat ini aku tidak tahu siapa yang suka menjemputnya setiap pulang sekolah. Jika memperhatikan dari rok yang dikenakan bisa dipastikan yang menjemput Anestesi berjenis kelamin perempuan dan dari sekolah sebelah.
“Anestesi!” panggilku lagi seraya berupaya mengejar Anestesi yang berjalan lebih cepat dari biasanya.
Anestesi menghentikan langkahnya di panggilan ketiga, tepat saat dia berdiri di tempatnya biasa menunggu jemputan. Untungnya, aku sudah menyuruh Firman dan Linda duluan ke parkiran, bisa malu kalau mereka tahu bahwa seorang Ribut Jagad Satria diabaikan.
“Lo ada waktu?” tanyaku.
Anestesi hanya menundukkan kepalanya, tidak menatapku secara langsung.
“Buat apa?” tanyanya dengan suara pelan.
“Ikut jenguk Asep yuk!” ajakku.
Anestesi menggeleng cepat.
“Nggak bisa,” jawabnya tanpa ragu.
“Kita mau jengukin Asep lho, si bendahara kelas. Lo kan murid baru nih, biar cepat akrab. Perginya nggak berdua aja kok! Sama Firman dan Linda juga!” kataku berusaha membujuknya.
“Maaf,” tolaknya secara halus.
“Takut nggak dikasih izin ya? Kalau gue yang bilangin gimana?” kataku mengusulkan solusi.
Anestesi tampak bimbang.
“Nggak usah,“ katanya setelah cukup lama diam.
“Nggak apa-apa, gue yang bilang!”
Anestesi menggeleng sekali lagi.
“Nggak usah!” Anestesi menekankan.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di dekat kami. Anestesi segera mendekat ke sepeda motor itu, berdiri di samping cewek yang masih duduk nyaman di atas sepeda motornya. Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan, segera mendekat untuk mencoba berbicara dengan cewek yang suka menjemput Anestesi itu.
“Permisi,” kataku sopan.
Cewek itu menoleh ke arahku, masih dengan memakai helm yang kacanya berwarna gelap sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya secara langsung dan jelas.
“Aku Ribut, Kak! Ketua kelas sekaligus temannya Anestesi, boleh izin ngajak Anestesi buat ngejenguk teman kami yang sakit nggak kak?” tanyaku dengan sopan.
Cewek itu menoleh ke arah Anestesi yang berada di dekatnya.
“Lo jangan deket-deket dia! Dia ini playboy!” katanya sambil menunjuk ke arahku.
“Eh?”
Suara cewek itu terdengar familiar. Aku merasa pernah mendengarnya di suatu tempat.
“Ngerti lo?” katanya lagi karena Anestesi tidak menanggapi ucapannya yang lebih mirip peringatan itu.
“Wah, Kakak salah paham tuh! Aku nggak playboy kok, Kak!” aku mencoba membela diriku.
Cewek itu menoleh ke arahku. Walau aku tidak bisa melihat wajahnya, aku sangat yakin sekarang dia tengah memandangku dengan sinis.
“Salah paham apaan? Lo udah lupa dosa lo sama gue?” ketusnya.
“Maksud kakak apa ya? Kita saling kenal? Aku nggak kenal kakak lho!”
Cewek itu terdengar mendecih kesal.
“Nggak kenal, emang lo udah amnesia? Lagian sejak kapan lo ngomong aku-kamu, tumben amat! Tobat lo?” serangnya.
Aku melirik ke arah Anestesi dan cewek kikuk itu hanya menundukkan kepalanya. Sepertinya dia ketakutan jika melihat poninya yang agak basah karena keringat di dahinya.
“Sorry nih kalau misal gue ada salah sama lo. Gue nggak ada niat deketin Anestesi, gue cuma mau ngajak dia ngejenguk teman kami doang!” aku mulai berbicara santai setelah diperlakukan secara kasar olehnya.
Dia berdecak pelan.
“Ngejenguk teman? Modus amat lo!”
“Beneran, kok!”
“Liar!”
“Gue nggak bohong!”
“Liar, liar!” katanya bersikeras.
“Terserah lo dah!” lama-lama aku menjadi jengkel dengan sikapnya.
“Iyalah terserah gue, mulut, mulut gue!” katanya judes.
“Judes amat sih? PMS? Pernah kenal gue?” tanyaku bertubi-tubi.
“Lo lupa sama gue?”
Krak.
Kaca helm dibuka dan aku hanya bisa menganga saat melihat siapa dia sebenarnya.
“Oi, But! Lo nggak apa-apa? Dari tadi kayak orang kehabisan darah, lemes!” Asep yang mulai sembuh setelah tiga hari kena campak mulai berteriak mengejekku sehingga aku tersadar dari lamunanku.
Aku tidak menjawab, hanya membuang napas kasar.
“Ribut kenapa sih?” tanya Asep kepada Linda.
“Tauk!” jawab Linda sambil mengangkat kedua bahunya bersamaan.
“Kenapa?” tanya Asep lagi, beralih ke Firman yang lagi mengemil kue yang dihidangkan emaknya Asep.
“Lagi tersapu dia,” jawab Firman sambil memasukkan kue lagi ke mulutnya. “Tersapu masa lalu,” imbuhnya lalu terkekeh pelan membuatku mengerucutkan bibirku karena sebal.
Asep menatapku lagi.
“Ketemu dia?” tanya Asep seolah sudah tahu siapa yang kutemui.
Aku mengangguk pelan.
“Lo nggak apa-apa, But?” Asep tampak cemas. Dia memang sahabat sejati.
“Lo nggak perlu cemas soal Ribut, lo khawatirin diri lo sendiri aja! Udah absen tiga hari lo, besok lo harus sembuh dan masuk sekolah!” omel Firman.
Aku, Asep bahkan Linda memandang heran ke arah Firman. Sahabatku yang satu itu jarang sekali perhatian, sehingga saat mendengar apa yang baru saja dia katakan, sungguh membuat kami takjub.
“Besok ulangan pak Hanafi, lo kan pinter, ajarin gue 15 menit sebelum ulangan dimulai!” Firman menjelaskan tanpa diminta mengapa ia sangat perhatian kepada Asep.
Mendengar alasan mengapa Firman mengkhawatirkan dirinya barusan, Asep merasa sebal. Dia melempar salah satu bantalnya ke arah Firman dan keduanya mulai terlibat perang bantal beberapa detik setelahnya. Sementara Linda hanya melirik sesekali, sedang asyik chatingan, entah dengan siapa. Bukan gebetan atau pacarku sehingga tidak ada niat untuk tahu.
Aku menghela napas panjang mencoba menenangkan diriku. Sepertinya Firman benar, aku sedang tersapu masa lalu sehingga apa yang kurasakan dulu, kini terasa lagi seolah kejadian hari itu baru saja terjadi kemarin. Jika kuingat lagi, dia masih sama seperti dulu mengataiku sebagai liar (pembohong). Seandainya dia tahu, apa yang sebenarnya terjadi, kurasa, baik aku ataupun dia, tidak akan berakhir seperti ini.
Well, semua adalah masa lalu dan aku tidak sanggup mengembalikan atau memutar waktu kembali. Namun jika memiliki kesempatan untuk menyampaikan pesan pada seluruh perempuan di dunia ini, maka aku hanya ingin berpesan satu hal: When a man says “I wanna be a good man for you”, don’t judge him as a liar because you never know how much brave he needs to say it.
Seandainya lo tahu, gue pernah benar-benar mencintai lo atau mungkin saat ini, gue masih begitu, Sigma.