KETIKA membuka mata, orang itu telah tiada. Ia pergi dari kamarku dan untunglah ia melakukannya. Ia hanya mendekap dan menidurkanku sebelum akhirnya pergi meninggalkanku. Aku bersyukur karena ia melakukan hal itu, karena dengan begitu kami tak akan terjebak dalam kecanggungan pagi ini.
Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Pergi ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri, sebelum mencari keberadaan orang itu sekarang.
Orang yang mengaku akan menjadi pengawal sekaligus sopir pribadiku.
Aku berdecih membayangkannya. Dia tipe sempurna seorang laki-laki yang takkan bisa kulawan apa pun alasannya.
Axa sialan! Dia benar-benar tidak bermain-main dengan ucapannya kemarin.
Beberapa menit kemudian, ketika aku ingin turun ke lantai bawah untuk sarapan. Aku menemukan Axa tengah membawa makanan di atas nampan menuju ke arah kamarnya. Gerakannya cukup pelan dan amat hati-hati yang membuatku mengerutkan dahi lalu mengikuti jejaknya dari belakang.
Aku berjalan mengendap di belakangnya. Membiarkan Axa masuk terlebih dahulu sebelum mendekati pintu yang masih sedikit terbuka. Axa memang memiliki kebiasaan buruk, yakni tak pernah mengunci pintu kamarnya sendiri. Baginya, hal semacam itu tidak terlalu penting. Namun bagiku, hal ini cukup menguntungkanku sekarang, karena kini aku bisa dengan mudah mencuri dengar pembicaraan mereka di dalam.
Fernand Abiantara ada di sana. Tidak salah lagi, karena kini aku bisa mendengar suara dengkusan Axa yang menandakan ia tengah menahan kekesalannya setengah mati?
“Aku tak menyangka akan melihatmu di sini, sepagi ini.” Nada suara Axa terdengar lebih tajam dan mengejek daripada saat ia bicara denganku.
Aku menutup mulut rapat-rapat saat mendengar balasan dari sosok laki-laki yang sepertinya memang orang itu. Dia benar-benar ada di sini. Di kamar kakak keduaku. Ia bahkan diperlakukan seperti seorang raja. Dibawakan makanan ke hadapannya atau bahkan sekarang Axa tengah menyuapinya?
“Kau sering mendatangi kamarku malam-malam. Anggap saja ini bayarannya.”
Axa mendengkus. “Semalam kau berada di mana?”
“Tidur.” Laki-laki itu menghela napasnya kasar. “Dan aku menyesal telah melakukannya.”
“Tidur?”
“Adikmu mencoba melarikan diri dan aku tak sengaja melihatnya melewati tembok rumah. Kupikir menangkap perempuan itu bukanlah masalah besar untukku, tapi ternyata aku mendapat karma setelah mengancamnya.”
Axa tergelak. “Kau tertidur setelah mengancamnya?”
“Lebih tepatnya kami tidur bersama.”
Gelak tawa Axa terhenti. “Kalian—”
“No, just sleep without sex.”
Tawa Axa kembali meledak. “Sejak kapan kau bisa tidur malam-malam, Bi? Bukannya kau makhluk nokturnal?”
Bi? Apakah dia dipanggil dengan nama Bian?
“Makanya aku menyesal. Aku tidak akan bisa tidur lagi sampai tiga hari ke depan jika begini kasusnya.”
Axa kembali tergelak, tetapi Bian tak berkata apa-apa. Kupikir mereka tengah berperang tatapan mata atau ekspresi saat ini. Aku tidak bisa melihatnya dari sini, tapi itu lebih baik daripada mereka mengetahui keberadaanku di balik pintu kamar Axa.
Ketika berniat pergi dari sana, tanpa sengaja tanganku menyentuh kenop pintu dan malah memutarnya. Gerakan fatal yang membuat dua orang itu langsung menoleh ke arahku. Axa memelototiku sedangkan Bian menatapku datar. Laki-laki itu hanya diam lalu kembali melanjutkan acara makannya.
“Sedang apa kau di sana?” tanya Axa. Nadanya tajam, menusuk, dan penuh kecurigaan.
Aku balas menatapnya tajam dengan tangan bersedekap d**a. “Aku hanya penasaran. Kenapa kau tiba-tiba cekikikan sendirian di kamarmu. Kupikir kau sudah gila atau kau tengah menyembunyikan kekasihmu di sini?”
Aku menatap Bian tajam, tapi ia mengabaikanku dan melanjutkan acara makannya tanpa merasa terganggu atas kehadiranku. Apa dia tidak punya urat malu? Ia bahkan memakan semua makanannya dengan lahap. Tidak memperlihatkan bahwa ia memiliki kecanggungan, menjaga image-nya, atau apa pun di hadapanku?
“Kalian sudah bertemu sebelumnya, kan?” ucapan Axa membuatku kembali menatapnya.
“Kalau sudah kenapa?”
“Aku tak perlu mengenalkannya lagi padamu. Dia yang akan mengantar-jemputmu, mengawasi, menjagamu, sekaligus menghukummu, jika kau melakukan sesuatu yang melanggar perintah. Airish, kuharap kau masih mendengar peringatanku kemarin!”
“Aku masih mengingatnya dengan jelas, tapi kurasa dia masih bisa dikelabui jika aku mau melakukannya.”
Axa menatap tajam padaku, sebelum mengalihkan perhatiannya ke arah Bian yang masih melanjutkan acara makannya tanpa terusik sama sekali oleh pembicaraan kami.
“Terserah apa maumu. Karena aku ragu, kau bisa melakukannya.”
“Kenapa tidak bisa?”
Axa tersenyum sinis. “Pergilah, akan kubawa Bian padamu sebentar lagi. Dia masih mengisi energinya,” jelasnya yang kini mulai berjalan mendekatiku dan mengusirku keluar kamar. “Jangan macam-macam apalagi mengganggunya ketika dia makan!”
“Aku tidak peduli.”
Aku mengangkat bahu acuh tak acuh lalu melenggang pergi. Memang apa peduliku dengan sopir baru itu?
Dia memang memiliki tenaga yang tidak bisa kulawan. Namun otaknya belum tentu sama seperti tenaga besarnya itu, kan? Aku akan mencari kelemahannya dan memastikan ia akan meninggalkanku, karena tak lagi sanggup menjadi sopir sekaligus pengawal pribadiku!
***
Fernand Abiantara. Dia cukup irit bicara. Aku bahkan curiga ia hanya akan banyak bicara jika Axa-lah yang menjadi lawan bicaranya. Selain itu, jangan harap ia akan membuka mulutnya.
Wajahnya datar, aura dinginnya mencekam dan membuat sebagian orang jadi urung mendekat. Yeah, aku pun merasakannya. Ragu mengajaknya bicara adalah perihal utama, padahal semalam, ia terlihat baik-baik saja.
“Apa kau tak akan tidur lagi siang ini?”
Aku teringat ucapan Axa beberapa menit lalu. Dia bilang, Bian adalah makhluk nokturnal. Itu berarti, ia akan tertidur di siang hari dan aktif di malam hari. Mungkin hal ini bisa kupakai untuk melarikan diri darinya suatu hari nanti.(?)
“Aku sudah tidur semalam. Bukannya kau yang menyuruhku tidur semalam?”
Aku mendengkus. “Kupikir kau tidak akan tertidur dengan mudahnya di sana.”
“Aku tidak akan tidur, jika kau tidak memelukku erat semalaman, Putri,” balasannya berhasil menyulut emosi.
Aku menatapnya marah. “Kau seharusnya mengaca. Kau yang memelukku semalaman, bukan aku yang memelukmu!”
“Manusia tidak akan tahu apa saja yang terjadi dengan tubuhnya selama ia memejamkan mata.”
Aku menatapnya tajam, tetapi ia sama sekali tak melirikku, melainkan melirik jalanan yang ada di hadapannya.
“Tapi aku masih ingat jelas, kau yang memelukku, bukan aku yang memelukmu!” bantahku masih tidak terima. Karena, begitulah yang terjadi, kan?
Dia yang memelukku dan membuatku tertidur. Mengapa kini ia membalikkan fakta dan berkata akulah yang memeluknya? Dasar laki-laki penipu!
Bian menghela napasnya. “Kau seperti anak kecil saja.”
“Apa maksudmu, ha!? Kau tahu pasti aku sudah tumbuh dewasa sekarang!”
“Dewasamu hanya sekadar fisik, dari segi pola pikir, kau masih sangat mentah dan kecil.” Ia melihatku dari spion yang ada di tengah-tengah mobil. “Sebelumnya aku berpikir mati-matian, kenapa kau masih membutuhkan pengawal padahal usiamu sudah dewasa. Namun sekarang, aku bisa memahami bagaimana cara pandang keluargamu padamu.”
“Maksudmu?”
“Kau masih berpikir seperti anak kecil. Percuma tubuhmu tumbuh dengan baik, jika kelakuanmu masih sama seperti mereka.”
Aku memandanginya kesal. “Sudah kubilang, aku bukan anak kecil lagi, kan?”
“Orang dewasa tidak akan bertindak bodoh sepertimu.” Bian terdiam dan mengalihkan perhatiannya kembali ke jalan.
Apa maksudnya? Mengapa ia berpikir, kalau pola pikirku masih seperti anak kecil bukannya orang dewasa?
Memangnya, apa pedulinya? Ia hanya sopirku, tidak seharusnya ia mengomentari apalagi mengatur kehidupanku!
“Kuperingatkan padamu. Kau itu sopir dan akulah majikanmu. Jadi jaga ucapanmu saat bicara denganku!” balasku tajam.
“Aku akan lebih mengingat, jika aku ini sipirmu, bukan sopirmu.”
Aku menatapnya tajam, tapi hanya sekadar itu karena aku sama sekali tak membalas ucapannya. Biarkan saja ia semaunya, asalkan dia tidak mengajakku b******a sama seperti sopir-sopirku sebelumnya.
Setidaknya ... dia lebih baik dari mereka dengan tidak menunjukkan ketertarikannya padaku apalagi sampai mengajakku b******a. Karena aku sama sekali tak memiliki niat untuk melepas keperawananku dengan sopirku sendiri. Aku hanya ingin melepaskan keperawananku dengan orang itu.
Orang dengan pakaian serba hitam yang bisa menarik gairahku keluar hanya dengan sebuah ciuman. Orang itu dulu berkata, aku harus menjadi seksi dan memikatnya ketika kami bertemu lagi.
Dulu, aku memang tidak seksi. Tidak cukup berisi karena aku masih terlalu dini. Namun kini, setelah tujuh tahun terlewati, aku yakin tubuhku lebih berisi dari waktu itu. Dan aku yakin, aku bisa memikatnya dengan baik, ketika kami bertemu lagi.
***
Tujuh hari berlalu dan Bian melakukan tugasnya sebagai sipirku dengan baik. Ia serius menjagaku dua puluh empat jam tanpa menutup matanya sama sekali. Ia bahkan terlalu waspada dan ahli melakukan tugasnya ini.
Pernah sekali aku mencoba melarikan diri darinya, tapi belum sempat aku menarik napas lega. Ia telah berdiri menjulang di hadapanku dan mengajukan kalimat tanyanya padaku, “Mau ke mana, Putri?”
Dan sejak kejadian itu, aku tidak pernah mencoba melarikan diri lagi darinya. Terlebih, ketika tak sengaja terbangun di tengah malam dan berniat ke dapur untuk mengambil minuman. Aku bisa melihat bayangannya bersembunyi dalam kegelapan yang ada di ujung koridor kamarku.
Aku menyerah. Sudah pasti kewaspadaannya tidak bisa dikelabui dengan mudah. Ia bukan seperti seorang pembunuh bayaran yang tak memiliki belas kasihan, ia lebih terlihat seperti pengawal terlatih yang tak akan melepaskan tuannya dalam satu kedipan mata sekali pun.
Axa yang melihatku lemas beberapa hari ini hanya menyeringai licik. Sedangkan Papa dan Daniel tampak puas, karena mereka merasa Bian adalah sosok yang tepat untuk menjagaku dari bahaya yang menurut mereka bisa mengancam nyawaku.
Padahal aku sering berkata pada mereka kalau, “Aku tidak takut mati!” Namun, mereka masih menganggapku pengecut yang membutuhkan pengawal untuk melindungi dirinya sendiri.
>