Matteo mendatangi Sofia, melangkahkan kaki yang terasa lemas. Berdiri di depan pintu dengan tatapan sayu. Ia mengulum bibir, menggedor pintu yang tidak kunjung dibuka. Sofia diam, mengusap air mata di balik pintu. Ia tidak tahu, bahwa karma datang begitu cepat. Sofia menyesal. Sejujurnya, malam itu Sofia mengakhiri hubungan terlarang nya bersama Thomas. Memilih untuk kembali pada Matteo. Tanpa di sangka, Matteo memiliki gadisnya sendiri. Matteo menamparnya di depan muka.
"Okay. Tidak masalah jika kau tidak ingin menemui ku. Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu,"ujar Matteo, menyelipkan sebuah kertas tebal di bawah pintu, mendorong nya masuk hingga lolos.
"Aku akan menikah bersama Lucia. Besok,"papar Matteo, menambah rasa sakit yang tengah di genggam Sofia. Wanita itu berurai air mata, mengusap sejadinya. Sofia ingin berteriak, menangis di pelukan Matteo. Namun, kakinya letih, jatuh bersimpuh di lantai.
"I'm sorry Sofia,"gumam Matteo serak. Terpaksa meninggalkan wanita nya. Hilang sudah harapan mereka untuk bersama. Matteo tidak bisa menolak, ini salahnya.
"Aku mencintai mu, Sof."
Pecah sudah tangisan Sofia dari dalam sana, wanita itu memukul d**a. Berusaha menghambat oksigen berkumpul di ruang sesak itu. Sofia hancur, kehilangan untuk pertama kalinya dalam hidup. Mimpi dan harapan nya sirna. Matteo pergi, melangkah menjauh setelah mengakhiri. Ia mengepal tangan, memijat hidung yang terasa panas. Menarik kotak berwarna merah dari saku, membuka dan meneliti isi kotak yang tersemat dengan berlian berwarna putih. Cincin itu milik Sofia.
Namun sekarang, Matteo menjatuhkannya ke tanah. Menginjak benda tersebut, menumpahkan seluruh amarah terselubung.
___________________
Lucia memeluk boneka besar nya, menghadap kaca, menatap diri nya yang polos. Ada keraguan di dalam hatinya. Lucia mulai takut, merasa terancam dengan pernikahan terikat ini. George mengurung nya di kamar, dan hanya bisa keluar setelah ia siap, menjadi pengantin untuk Matteo besok.
Mata coklat terang Lucia beralih, tertahan pada gaun putih yang panjang. Indah memang, namun penuh misteri. Bagaimana jika ia tidak bisa memenuhi kebutuhan Matteo. Lucia ingin mati memikirkan semua itu.
Tok. Tok. Tok..
Lucia beralih, menghadap pintu, ia menelan ludah, tidak ingin beranjak bangun dari tempatnya. Menunggu wujud yang akan muncul.
"Leon..."ucapnya jelas. Meneliti saudara nya dari kejauhan. Ia tersenyum, memang membutuhkan pria itu sebagai penenang.
"Bagaimana keadaan mu?"tanya Leon mendekat. Memeluk Lucia begitu hangat, penuh kasih sayang. Akur seperti biasa.
"Aku mungkin tidak bisa tidur malam ini,"aku Lucia. Menghirup aroma yang begitu berkelas dari Leon.
"Aku punya sesuatu untuk mu. Jika kau merasa takut genggam ini,"Leon menarik rantai emas putih dengan bandul bulan sabit dari saku, menunjukkan pada Lucia. Gadis itu menutup mulut, takjub dengan pemberian Leon.
"Ini untukku? Kau serius?"tanya Lucia. Leon mengangguk, merapikan rambut adiknya itu. Mencium kening nya lembut.
"Aku sangat menyayangi mu, brother!"
"Aku juga menyayangi mu, Lu. Aku pakaikan! kemari lah!"Leon meraih kalung itu lagi, membuka pengait sambil memerhatikan Lucia berputar untuk membelakangi nya.
"Kau tahu, Leon? Aku sangat gugup sebelum ini,"aku Lucia merasakan lehernya terpasang sesuatu. Membiarkan Leon mempercantik leher jenjangnya.
"Aku tahu rasanya!"ungkap Leon mencoba paham.
"Kau belum pernah menikah. Kau tidak tahu rasanya!"celetuk Lucia.
"Tapi, aku tahu rasanya menunggu selama tujuh belas tahun."
"Itu beda. Aku dengar kau akan ke Mississippi lagi bulan depan, benar?"tanya Lucia.
"Hmm. Mungkin aku akan menetap di sana!"gumam Leon pelan. Lucia diam, memutar tubuhnya kembali.
"Kenapa? Kau bosan dengan Bogota?"
"Bukan. Aku hanya ingin melihat keadaan luar. Memerhatikan lebih dekat."
"Aku berharap kau akan punya pacar,"sergah Lucia.
"Aku tidak butuh itu. Baiklah. Aku harus pergi, istirahat yang cukup hari ini, besok hari besar mu!"kecup Leon, sekali lagi pada kening Lucia.
"Yap. Thanks, Leon."
"Ya."
____________________

The Ritz Carlton, Bogota | 09.30
Debur ombak memecah keheningan, pamer pada terik matahari yang kini menembus, menerangi ruang penuh kaca yang di sulap menjadi tempat pernikahan private Lucia dan Matteo. Tamu yang hadir kurang dari tiga puluh orang, namun berkelas dan penting, termasuk keluarga.
Matteo berdiri di sudut ruangan. Menatap buih putih yang bergulung pada garis pantai, lalu lenyap terhempas gelombang. Dirinya seperti itu sekarang. Tidak mampu bersuara di hadapan George. Lemah. Sesekali, matanya menoleh, seakan menunggu pengantin wanitanya. Berharap semua akan tertunda. Kepala Matteo penuh akan Sofia. Namun, kini Matteo harus kehilangan semuanya.
Beberapa detik selanjutnya, suara pintu ruangan terdengar berderak. Membuat semua orang berdiri, menampilkan sosok Lucia. Gadis itu menunduk, terlihat dewasa, cantik bersama gaun panjang menyeret lantai.
"Angkat kepalamu!"pinta George membimbing putri yang akan ia lepaskan hari ini. Lucia melirik, berjalan di atas karpet dengan motif kelopak bunga. Ia mengangguk, menangkap wajah Matteo. Pria itu diam, seakan mengirimkan ribuan penyesalan. Lucia tidak tahan, lantas kembali menunduk hingga sampai di depan altar. Gemuruh tepuk tangan terabaikan, tidak ada rasa bahagia di antara Matteo ataupun Lucia. Hanya ketakutan. Hanya itu.
"Perlakukan putriku dengan baik!"pesan George, penuh harap. Matteo menelan ludah, tidak kuasa menyambut Lucia. Sofia hadir, berdiri di sudut pintu. Menengoknya kejauhan. Sungguh, Matteo ingin memberontak. Melepaskan Lucia dan kembali ke sisi wanita yang ia cintai.
"Matteo,"panggil George. Membungkam harapan.
Pria itu terpaksa mengangguk, meraih jari-jemari kecil Lucia, menariknya ke atas, berdiri di sisinya, Matteo merasa berdosa. Di hadapan Tuhan akan bersumpah demi perasaannya. George mundur, berpindah ke sisi Alicia. Wanita itu mengusap mata, memahami perasaan keduanya. Sensitif.
"Tuhan memberkati kalian berdua."
Lucia menunduk, merasakan tangan Matteo meremas nya kencang. Ia susah bernapas, melirik sedikit ke bahu tinggi pria itu. Pendeta memanjatkan doa, memberi harapan yang sama sekali tidak pernah di harapkan Matteo. Pria itu bungkam, menemukan Sofia lewat pantulan kaca. Menatap wajah sembab wanita itu seksama. Pikirannya kosong, tidak terarah sedikitpun. Sampai ke acara inti. Perjanjian pengantin yang akan mengikat mereka lebih dari sebelumnya.
Matteo dan Lucia bergerak, saling berhadapan. Lucia membaca mata pria itu seksama. Tidak ada ketulusan di sana. Namun, ia memilih bertahan. Matteo adalah cinta pertamanya. Satu-satunya pria yang ingin ia miliki. Belahan jiwa yang membuatnya begitu berani, meski takut jika tangan kekar pria itu mulai menjelajahi tubuhnya seperti kemarin. Lucia belum siap. Ia terlalu polos dengan semua itu.
"Om..."panggil Lucia pelan, nyaris tidak di dengar.
"Ya. Aku baik-baik saja,"balas Matteo, menatap mata Lucia yang penuh kekhawatiran. Meski tidak mencintai Lucia, bukan berarti ia membenci gadis itu. Tidak sama sekali. Mungkin Matteo lah yang harus mempercayai takdir.
"Kita bisa mulai?"tanya pendeta.
"Ya. Aku siap,"Matteo menarik tangan Lucia. Menggenggamnya kuat, seperti berharap bahwa wanita itu mungkin terbaik untuknya. Lucia tersenyum tipis, ikut menyatukan diri.
"Baik."
"Saudari Lucia Vander Savalas. Apa kau bersedia menerima Matteo Dos Santos sebagai suami mu, tanpa paksaan dari pihak manapun. Berjanji setia, merawatnya di kalau sakit dan menyayangi nya sepenuh hati?"tanya pendeta terdengar keras. Memenuhi ruang. Lucia diam, mengedarkan mata ke tangan-tangan orang, lantas menatap wajah George. Pria itu tersenyum, mengangguk pelan.
"Ya. Aku bersedia,"ucapnya serak. Menatap ke arah Matteo lekat.
"Dan untuk mu Matteo. Apa kau bersedia menerima Lucia Vander savalas, tanpa paksaan atau permintaan dari siapapun. Tulus mencintainya, membimbing istrimu, dan menjadi bagian dari rasa sakit yang akan di rasakan nya?"
Deg!
Jantung Matteo berdebar kencang. Napasnya sedikit memburu, menatap Lucia tanpa berpaling sedikitpun. Ia mengusap punggung tangan Lucia, mendalami cantiknya mata gadis polos yang berdiri di singgasananya saat ini.
"Ya. Aku bersedia,"jawab Matteo, lalu mengarahkan mata ke tiap tempat. Mencari Sofia yang telah hilang, pergi dari pandangannya. Lagi, pikiran Matteo hilang, tidak di altar sana. Mengabaikan semuanya.
"Selamat. Kalian sah menjadi sepasang suami istri!"sebut pendeta. Membawa Matteo kembali pada kenyataan sebenarnya. Ia membulatkan mata, mengalihkan pandangan pada George. Dengan begini, mungkin Matteo akan membalaskan hutang budinya.
"Selamat.... Lucia.... Matteo!"teriak orang-orang bersamaan. Lucia menoleh pada Julia dan Carmela, sahabatnya. Dua orang itu paling bersemangat di antara yang lain. Lucia ingin berterimakasih. Betapa beruntungnya ia memiliki sahabat seperti mereka.
"Lucia..."panggil Matteo. Gadis itu mengalihkan pandangan dengan cepat. Lantas, merasakan pinggulnya di tarik maju sebelum sempat bersiap. Kedua mata Lucia melebar, merasakan salah satu tangan Matteo menyentuh wajahnya. Mereka berciuman, memberi klise cukup jelas di tengah sana. Matteo tidak ingin orang-orang tahu rahasia perasaan nya saat ini.
"Om... jangan gigit!"sergah Lucia, mendorong Matteo mundur. Suaranya keras, mengenai mikrofon. Aksinya membuat isi ruangan tertawa. Matteo memasang senyuman tipis, berusaha menyenangkan George.
"Entah. Bagaimana caranya aku bisa hidup dengan anak kecil ini,"keluh Matteo membatin. Mengalihkan mata ke pendeta. Seakan mengakui kesalahan terbesar yang sudah ia lakukan.
____________________
Bagaimana untuk part ini?