Hari ini Rasi mengerjakan pekerjaannya di kantor dengan cepat, dan ia juga meminta Aldino untuk menghandle beberapa pekerjaan dari siang hingga jam kantor selesai.
Sekitar jam dua siang, Rasi pergi ke kampus untuk berjumpa dengan Pak Anugrah, dosen pembimbing skripsi nya. Hari ini Rasi akan mengajukan proposal dan beberapa judul skripsi dan ia harap pak Anugrah akan langsung menyetujui judul yang ia buat sekarang.
Jika saja ditolak, maka ia harus mencari judul yang lain lagi yang sekiranya akan nyambung dengan penelitiannya nanti.
"Oke, judul kamu saya ACC. Mulai besok kamu sudah bisa kumpulkan bab satu skripsi kamu," kata Pak Anugrah, mengalihkan pandangannya dari beberapa kertas yang ia pegang.
Rasi mengangguk. "Baik, Pak, secepatnya akan saya kirim ke bapak," ujarnya.
Pak Anugrah mengangguk kecil lalu matanya menatap Rasi serius. "Saya tau kamu sedang mengurus perusahaan ayah kamu, dan itu lumayan sulit apalagi sekarang kamu sedang menjalani skripsi. Jadi agar memudahkanmu, kirim saja lewat email. Jika ada yang perlu di bahas, kamu tinggal datang ke kampus dan temui saya," ujar Pak Anugrah.
Rasi tentu saja kaget mendapat keringanan seperti itu, cowok itu pun tersenyum kecil. Ia merasa sangat senang mendapatkan keringanan seperti ini. Jadi setiap urusan skripsi nya tidak perlu repot-repot harus ke kampus setiap saat.
"Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya permisi," pamit Rasi. Rasi berdiri dan membungkukkan badannya sedikit pada Pak Anugrah.
"Ah iya, Rasi, usahakan dalam waktu enam bulan kamu sudah sidang dan dapat lulus secepatnya," pesan Pak Anugrah menghentikan langkah Rasi.
Rasi berbalik kemudian mengangguk. "Baik, Pak."
Rasi melanjutkan kembali langkahnya keluar dari ruangan Pak Anugrah.
Drrttt... Drrttt...
Rasi mengambil ponselnya di saku celana jeans nya.
Mama.
Kamu ga lupa nanti malam kan? Jam 6 udah harus ada di rumah.
Tentu saja Rasi tidak lupa, sejak kemarin Mamanya sudah meneror dirinya mengingatkan tentang acara makan malam hingga sekarang.
Rasi.
Iya, Ma.
Rasi ingat.
Rasi kembali memasukkan handphone nya ke saku celana dan berjalan menuju mobilnya. Beberapa menit kemudian mobil Rasi telah melesat di jalanan Jakarta yang siang ini tidak terlalu ramai. Sekitar empat puluh menit kemudian, Rasi akhirnya tiba di apartemen nya.
Saat dijalan cowok itu sempat membeli sekotak pizza untuk makan siangnya dan camilan saat ia mengerjakan bab satu skripsi nya. Rasi membersihkan dirinya terlebih dahulu, dan setelah itu baru makan.
***
"Fia, ini beberapa salinan dari tugas kemarin. Oh iya, Bu Sakinah kemarin ada nyuruh buat makalah untuk di presentasikan di depan kelas. Gue sama Syakila sepakat buat satu kelompok, lo juga ikut," kata Farrel sambil memberikan beberapa lembar kertas hvs yang berisi banyaknya paragraf materi kelas Bu Sakinah.
Aafia dengan canggung memerima lembaran kertas itu, "Ah iya, makasih, Rel."
Farrel tersenyum dan mengangguk. "Jangan canggung gitu lah sama gue, gue nggak gigit kok," katanya sambil terkekeh.
Aafia menatap Farrel lamat-lamat, tidak ada yang aneh dari Farrel. Wajahnya memang terlihat ceria dan jelas sekali cowok ini tidak termasuk kategori cowok yang jahat.
Apa Aafia benar-benar salah mengartikan pandangannya terhadap Farrel kemarin?
"Lo lapar gak? Makan siang yuk, Syakila udah di kantin nih," ajak Farrel.
Mau tak mau Aafia mengangguk dan mengikuti langkah Farrel ke kantin universitas. Sesampainya di kantin, mereka memesan makanan masing-masing dan duduk di tempat yang telah di sisakan oleh Syakila.
Aafia juga baru sadar, Farrel bukanlah pria seperti yang dipikirannya. Tatapan Farrel tidak macam-macam atau menyeramkan, Farrel pria yang ramah dan baik. Gadis itu merutuki dirinya sendiri yang berpikir aneh-aneh tentang Farrel akibat film yang sering ia tonton di laptop.
Aafia kira Farrel tergolong pria yang genit dan playboy, terlihat sih dari tampang Farrel yang tampan dan memiliki rambut yang sedikit acak-acakan. Tapi semua pemikirannya buyar saat sudah mengenal Farrel seharian ini di kampus. Benar apa yang dikatakan oleh pepatah, jangan menilai sesuatu dari luarnya.
Dan sepertinya Aafia harus mengurangi waktunya nonton film, agar otaknya tidak teracuni lebih jauh.
***
"Cuma makan malam biasa aja, Ma, nggak perlu ke salon segala," protes Aafia saat Irene menyuruh dirinya ke salon.
Irene menghembuskan napasnya kemudian tersenyum, "Ya udah iya, nggak perlu ke salon. Jam setengah tujuh nanti kamu harus udah selesai," ujarnya.
Aafia mengangguk patuh, Irene pun keluar dari kamarnya.
Aafia duduk di tepi ranjangnya, kepalanya sibuk menerka-nerka siapakah tamu mereka malam ini? Apakah sangat spesial sehingga Mamanya sangat antusias seperti itu?
Gadis itu melirik jam yang di dinding, masih pukul empat sore. Berarti ada sekitar dua jam lagi waktunya bersantai. Daripada bersantai lebih baik ia mengerjakan tugas bagiannya, agar besok bisa di diskusikan bersama Syakila dan Farrel.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit. Mata Aafia membola melihat jam di dinding kamarnya, ia hanya memiliki waktu empat puluh lima menit!
Gadis itu pun bergegas masuk ke dalam kamar mandi dan mulai membersihkan diri, ia harus siap secepatnya atau tidak Mamanya yang cerewet itu akan mendatangi dirinya dan memberinya sedikit omelan karena tidak tepat waktu.
Cklek!
"Aafia, kenapa kamu belum turun juga?" Irene masuk ke dalam kamar Aafia, dan ia melihat Aafia masih menyisir rambut.
Tersiap, Aafia dengan cepat menyisir rambutnya kemudian berdiri menatap Mamanya.
"Aafia udah siap kok, Ma." Gadis itu memberikan cengirannya agar sang Mama tidak marah, pasalnya jam kini sudah menunjukkan pukul tujuh tepat.
"Ya udah ayo turun!" seru Irene berbalik dan berjalan keluar lebih dulu.
Aafia menghembuskan napasnya kemudian mengikuti langkah Irene.
"Mas Ryan sama Malika belum datang ya, Pa?" tanya Irene pada David yang sedang menonton salah satu siaran televisi.
David menggeleng. "Mungkin sebentar lagi, Ma."
Irene pun mengangguk dan mengambil tempat duduk di samping sang suami, sedangkan Aafia berjalan ke dapur mencari air karena tenggorokan terasa sangat kering.
Teeett...Teeett...
"Nah itu mereka kali ya?" Irene berjalan ke pintu depan untuk membuka pintu.
Senyum Irene terbit saat melihat Ryan, Malika dan satu orang cowok berdiri di belakang mereka berdua.
"Eeh, kalian udah sampai, ayo masuk." Irene membuka pintunya lebar dan mempersilakan keluarga Rajendra itu masuk.
Mereka berempat pun masuk ke dalam. David yang melihat kehadiran teman lamanya itu pun langsung bangkit dan mematikan televisi.
David dan Ryan berpelukan ala pria dewasa dan begitu pula dengan Malika dan Irene. "Apa dia anakmu, Lika?" tanya Irene melirik Rasi yang sejak tadi diam.
Malika mengangguk. "Rasi, ayo beri salam pada tante Irene," suruhnya. Rasi pun menyalim tangan Irene dan David bergantian.
"Halo, Om, Tan, saya Rasi."
Irene tersenyum, "Kamu sangat tampan," gumamnya.
Ryan tertawa. "Tentu saja dia tampan, siapa dulu ayahnya, haha."
David hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kalau diliat-liat lebih tampan Rasi dari padamu Ryan," imbuhnya.
Baru saja Ryan hendak membalas ucapan David, suaranya harus tertahan saat Malika bertanya perihal putri Irene dan David.
"Ah iya, di mana anakmu, Rene?" tanyanya.
Irene menepuk keningnya baru seakan mengingat Aafia. "Dia ada, sebentar aku panggil dulu."
"Aa-"
"Nah itu dia!" seru David.
Aafia yang baru saja keluar dari dapur dan hendak menghampiri kedua orangtuanya itu pun kaget melihat tamu mereka ternyata sudah datang.
Dengan cepat gadis itu berjalan ke tempat Irene. Irene tersenyum dan menarik tangan Aafia agar lebih dekat padanya.
"Aafia, kenalkan mereka teman Papa sama Mama zaman SMA. Om Ryan, Tante Malika, dan putra mereka Rasi."
Aafia mengangguk kecil kemudian menyalim tangan Malika dan Ryan bergantian. "Aafia Om, Tan," gumamnya.
"Kamu sangat cantik Aafia," puji Malika sambil tersenyum lembut. Aafia menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum malu, "Makasi, Tan."
"Sudah, sudah, ayo kita makan, sudah lapar bukan?" suara David menginterupsi.
Mereka pun berjalan ke ruang makan. Aafia yang berjalan lambat pun melotot melihat tidak ada satu kursi untuknya, dia akan duduk di mana?
Pandangan Aafia bertubrukan dengan pria yang bernama Rasi anak tante Malika, di samping pria itu tersisa satu kursi. Gadis itu menghela napasnya, sepertinya dia akan duduk di sana.
"Kenapa hanya berdiri? Ayo duduk, Aafia," tegur Malika.
Aafia mengangguk kaku, "Ah iya, Tan." Gadis itu pun langsung duduk di samping Rasi.
Mereka makan malam dengan khidmat, diselingi dengan obrolan bisnis Ryan dan David. Sedangkan Irene dan Malika hanya diam dan sesekali menimbrung di masalah keuangan dan beberapa masalah saham.
Lima belas menit berlalu, mereka kini tengah menyantap desert kue cokelat vanilla buatan Irene. Sejak tadi Aafia hanya diam dan menyimak karena ia tidak tahu harus berbuat apa. Berbeda dengan Rasi yang ikut bicara karena Irene selalu melayangkan berbagai pertanyaan pada Pria itu.
"Jadi bagaimana? Kita lanjutkan rencana kita?" tanya David.
Aafia mengernyit, rencana apa? Apakah rencana jahat? Gadis itu menggeleng, bisa-bisanya ia berpikir Papanya menyiapkan rencana jahat!
"Aku dan Mas Ryan setuju atas rencana ini, dan jujur kami senang akan menjadi besan kalian," ujar Malika sambil tersenyum lebar.
Besan? Satu kata itu mengganggu pikiran Aafia sekarang.
"Bagus, apakah Rasi sudah tau?" tanya David, menatap Rasi yang sejak tadi asik memakan kuenya.
Gerakan tangan Rasi berhenti memotong kuenya, kemudian menatap David bingung. "Tau apa, Om?"
"Loh, Papa kamu nggak kasih tau kamu?" Jawaban gelengan kepala menyahuti pertanyaan David.
"Jadi, kami berempat setuju untuk menjodohkan kalian berdua, Rasi dan Aafia," ujar David langsung.
Uhuk! Uhuk!
Tersedak oleh air bukanlah sesuatu yang elit dan sopan dan sekarang malah dialami oleh Aafia. Mendengar ucapan Papanya seperti itu tentu saja membuatnya kaget, ditambah dia sedang minum air.
"Hati-hati minumnya, Fi," tegur Irene, menatap putrinya dengan sedikit khawatir.
Aafia tidak mengindahkan teguran Mamanya, ia menatap Papanya menuntut penjelasan. "Maksud Papa apa?"
Aafia sekilas melirik Rasi yang mematung diam di sebelahnya, seperkian detik matanya kembali fokus menatap David.
"Kalian berdua akan segera menikah," ujar Malika sambil tersenyum lebar.
Seriously?! Menikah? Diumurnya yang masih dua puluh tahun?! Mereka pasti bercanda!
Aafia tertawa kecil. "Tante sama Papa pasti bercanda," kekehnya.
"Kami tidak bercanda, Aafia," ujar Malika serius membuat kekehan Aafia berhenti.
Srett!
Aafia berdiri dan langsung meninggalkan meja makan dengan langkah lebar, tidak peduli kalau ia tidak sopan karena ia meninggalkan meja makan tanpa pamit.
Hening.
Melihat kepergian Aafia yang tergesa-gesa membuat mereka semua terdiam di meja makan.
"Maafkan sikap Aafia, ia hanya terkejut karena kami belum memberitahunya kemarin," ujar Irene dengan nada tidak enak.
"It's okay, Rene, aku mengerti. Aku juga akan meyakinkan putraku nantinya," ujar Malika sambil melirik sesekali pada Rasi yang memasang tampang datar.
"Ayo pulang, Ma." Rasi bersuara setelah sekian lama terdiam.
Malika dan Ryan menghela napas, baiklah mereka memang harus pulang dan menjelaskan semuanya pada Rasi.
"Maaf ya, David, Irene, sepertinya kami harus pulang," ujar Malika tidak enak.
Irene tersenyum kecil, "Tidak masalah, kita akan membicarakan ini nanti."
Irene pun mengantarkan keluarga Rajendra itu keluar sampai mereka benar-benar meninggalkan pekarangan rumahnya. Setelah itu Irene masuk kembali ke dalam rumah dan menghampiri David yang masih duduk di kursi meja makan.
"Papa kira Aafia tidak akan bersikap seperti itu," ujar David seraya menghembuskan napasnya berat.
"Dia hanya terkejut, aku akan bicara padanya nanti," sahut Irene. David pun hanya mengangguk sebagai jawaban.