Aafia baru saja sampai di rumah, setelah seharian bermain dengan Farrel cukup membuat tubuhnya lelah karena mencoba berbagai wahana dan juga berjalan ke sana ke sini.
"Kenapa lama pulangnya, Fi?" pertanyaan dari Irene itu pun menyambut kedatangan Aafia.
"Tadi main," jawab Aafia jujur.
"Sama Syakila?" tebak Irene dan di balas gelengan kepala oleh Aafia.
Irene menatap Aafia bingung, "Jadi kamu main sama siapa?"
"Farrel, baru kenal sih. Tapi dia baik," sahut Aafia sambil tersenyum.
Seperti melupakan kekesalannya tadi malam, kini Aafia kembali menjadi anak yang suka menceritakan kejadian yang dialami tiap harinya kepada sang Mama.
"Dia cowok?" Aafia tertawa, "Ya iyalah cowok, namanya aja Farrel, Ma."
"Kamu jangan deket-deket sama cowok, Fi," larang Irene dengan tegas.
Kini senyum Aafia pudar, inilah yang ia tidak suka dari orangtuanya. Suka mengatur dan membatasi pergaulannya.
"Kenapa nggak boleh? Farrel baik kok!" gumam gadis itu lirih.
Irene menggeleng. "Pokoknya nggak boleh, kamu turuti perintah Mama."
Aafia mendesah pelan. Mamanya sangat menyebalkan.
"AAFIA!"
Aafia terlonjak kaget mendengar teriakan seorang perempuan memanggil dirinya. Itu bukan hantu kan?
Mata Aafia melebar saat melihat Dalia, sepupu perempuannya yang keluar dari salah satu kamar lantai bawah dengan langkah pelan karena perutnya yang besar.
Wait, perut Dalia besar?
Dalia berhambur ke pelukan Aafia yang disambut kaku oleh gadis itu. Aafia melotot saat merasakan pelukan mereka terbatasi oleh perut Dalia yang besar.
Aafia bergidik ngeri, batinnya bersorak memberitahu bahwa Dalia sedang hamil.
Aafia menarik dirinya dan menatap Dalia horor. "Perut lo kenapa? Lo busung lapar?" cerca Aafia dengan pertanyaannya dengan menatap Dalia horror.
Irene terkekeh geli. "Dalia hamil, memasuki bulan ketujuh."
Lagi-lagi Aafia melotot, Mamanya bercanda bukan? Ayolah, Dalia dan dia sebaya. Umur mereka bahkan baru dua puluh tahun dan Dalia sama sepertinya yang masih kuliah, apakah Dalia sudah menikah?
"Kamu nikah nggak undang aku sama Mama!" seru Aafia kesal.
Dalia tersenyum kecut. "Aku belum menikah, Fia."
"Lah kok?" Alis Aafia terangkat naik, ia sungguh tidak mengerti.
"Dalia kamu istirahat aja di kamar, kamu baru saja tiba dan pasti lelah. Kasihan juga anakmu," ujar Irene lembut. Dalia mengangguk, ia pun berbalik dan kembali masuk ke kamar.
Aafia menatap Mamanya menuntut jawaban. "Kok Dalia bisa hamil? Dia kan belum nikah, Ma," protes Aafia.
Aafia merasa kesal seketika mendengar Dalia tengah berbadan dua tanpa ada ikatan pernikahan. Sebenarnya apa yang dilakukan sepupunya itu?!
"Ayo duduk dulu, biar Mama ceritakan," ajak Irene. Aafia menurut dan mengikuti langkah sang Mama yang menuju ruang keluarga dan duduk di sofa.
"Dalia seperti itu karena pacarnya, dan pacarnya yang berengsek itu tidak mau bertanggung jawab." Irene mengambil jeda sebentar.
"Kamu tau bukan? Dalia orangnya sangat ramah dan friendly, dan itu membuatnya memiliki banyak teman laki-laki dan tentunya perempuan. Dalia bilang salah satu cowok keren di kampusnya menembaknya, dan dengan bodohnya sepupumu itu menerima cowok itu. Dan terjadilah ini, dia mengandung dan si pelaku menghilang karena tidak mau bertanggung jawab," jelasnya.
Aafia terdiam sesaat, sungguh perasaan marah dan kecewa berkecamuk di dalam dirinya. Marah pada pria jahat itu, dan kecewa pada sepupunya.
"Jadi gimana, Ma?" tanya Aafia ambigu.
"Om kamu sudah menyarankan aborsi pada Dalia, tapi sepupumu itu menolak," kata Irene kemudian menghela napas.
"Kamu tau kenapa Mama menjodohkan kamu dengan Rasi?" Aafia menggeleng.
"Karena Mama nggak mau anak Mama satu-satunya mengalami nasib yang sama dengan Dalia, kamu itu sangat berharga untuk Mama, Aafia. Dengan adanya Rasi, kamu bisa dilindungi dan Mama percaya pada Rasi," ujar Irene menatap Aafia sendu.
Mata Aafia terasa panas dan siap mengeluarkan airmata melihat Mamanya yang begitu menjaga dan menyayanginya, mata Irene pun telah berkaca-kaca.
"Tapi Papa bisa lindungi Fia," sahut Aafia dengan nada lirih.
Irene menggeleng. "Kami tidak akan berada di sisimu selalu, Aafia. Mama tidak tau apa kegiatan kamu di kampus, begitu pula dengan Papa. Dan sekarang kamu bilang kamu punya teman cowok, Mama takut kalau dia jahat dan bakal melukai kamu. Maka dari itu tadi Mama melarangmu berteman dengannya."
"Tapi Farrel baik, dia nggak jahat," bela Aafia.
"Walaupun dia baik, tapi kamu tidak mengenalnya lama seperti kamu mengenal Syakila."
"Cuma ini alasan Mama jodohin Fia?" Irene mengangguk.
Aafia menarik napasnya dalam dan menghembuskan napasnya keras. "Oke."
Irene menatap Aafia tidak mengerti, ucapan Aafia barusan sangat ambigu. "Oke kenapa?"
"Fia terima perjodohannya." Tiga kata itu berhasil keluar dari mulut Aafia.
Irene membekap mulutnya, terkejut. "Kamu serius?" Aafia mengangguk.
Irene pun langsung memeluk tubuh Aafia saking senangnya. Ia lega Aafia menerima perjodohan yang telah direncanakan ini.
Aafia melepaskan pelukan Mamanya. "Aafia ke kamar dulu, mau mandi."
Irene hanya mengangguk dan mencium kening Aafia sejenak sebelum Aafia berdiri. Setelah keningnya dicium oleh Irene, dengan langkah gontai Aafia berjalan menuju kamarnya di lantai atas.
Sekilas, Aafia melirik pintu kamar yang Dalia masuki tadi. Setelah mandi Aafia akan menghibur Dalia, pasti sepupunya itu merasa tertekan sekarang.
***
Rasi menghempaskan handphone nya ke tempat tidur saat mendapat pesan dari Farrel yang lebih dari 99+.
Hanya empat kata yang dikirimkan oleh Farrel tapi sampai ratusan.
Farrel. R.
Siapa si calon lo?
Malam ini Rasi memilih pulang dibanding menginap di rumah, karena berisik oleh suara Farrel yang terus mencerca dirinya dengan berbagai pertanyaan. Rasi mencibir dalam hati. Bagaimana ia bisa menjawab pesan dari Farrel kalau ia sendiri tidak kenal siapa gadis itu, yang ia tau hanya nama. Dan itu pun Aafia, satu kata.
Tidak mungkin di membalas pesan Farrel dengan menyebut nama satu kata itu, Farrel pasti akan menanyakan lebih nantinya dan akan membuatnya bingung.
Pikiran Rasi melayang pada kejadian kemarin malam, di mana saat ia bertemu dengan Aafia di rumah gadis itu.
Rasi akui Aafia sangat cantik, senyumnya juga terlihat manis. Tapi ia tidak mengenal siapa gadis itu, Rasi menghempaskan tubuhnya ke ranjang dan mengambil handphone yang terletak di sisi kirinya.
Ia mengklik icon aplikasi pencarian bernama google dan mengetikkan nama David Sullivan.
Beberapa detik kemudian profil David yang tak lain adalah Papanya Aafia pun muncul, Rasi melihat nama Aafia yang tertulis sebagai putri kandung David.
Aafia Gamila Sullivan.
Nama yang bagus, pikir Rasi.
Rasi pun mengubah kolom pencarian menjadi nama lengkap Aafia, dan muncullah profil Aafia yang sangat sedikit. Mata Rasi melebar melihat tempat kuliah Aafia yang tak lain adalah kampusnya juga.
Wajah Aafia sangat asing, ia tidak pernah melihat Aafia di kampus sedikit pun. Namun kebingungan Rasi terjawab saat melihat tulisan jurusan yang Aafia ambil. Jurusan kedokteran.
Pantas saja ia tidak pernah melihat gadis itu, mereka berbeda jurusan. Rasi anak bisnis, dan gadis itu kedokteran.
Rasi menertawakan dirinya, kenapa ia malah jadi ngestalk tentang Aafia? Kurang kerjaan sekali!
Rasi mematikan handphone nya kembali setelah menutup aplikasi pencarian bernama google itu.
***
Aafia berjalan turun dari tangga dan berniat menuju kamar Dalia, ia ingin bertukar cerita pada sepupunya itu.
Cklek!
"Dalia, kamu udah tidur?" tanya Aafia, masuk ke dalam kamar.
Dalia yang sejak tadi hanya berbaring pun merubah posisinya menjadi duduk, "Enggak kok. Kenapa, Fi?"
Aafia mendekati ranjang Dalia dan duduk di tepian ranjang, matanya mengamati wajah Dalia yang sembab seperti baru selesai menangis.
"Kamu nangis?" Dalia menggeleng. "Enggak, aku nggak nangis," elaknya.
"Bohong."
Mereka lama terdiam, tidak ada yang bicara satupun. Aafia sedang berusaha menyusun kalimat untuk mulai bercerita.
"Da-" Aafia kembali mengatupkan mulutnya saat Dalia menyela ucapannya.
"Iya, aku nangis. Aku hanya sedih memikirkan anak ini, dia akan lahir tanpa seorang Ayah," selanya.
Aafia memandang Dalia sedih, "Jangan sedih, kamu pasti bisa!"
Dalia hanya tersenyum kecil dan mengangguk. "Jadi, kenapa kamu datang ke sini dan bukannya tidur?"
"Aku mau bertukar cerita," jawab Aafia.
"Aku akan mendengarkanmu, dimulai dari kamu yang cerita duluan," ujar Dalia.
"Aku dijodohkan, sebentar lagi mungkin akan menikah," ujar Aafia lirih, kepalanya tertunduk ke bawah.
Dalia tersenyum kecil. "Terus kenapa sedih? Usia kamu kan sudah layak untuk menikah," sahutnya sambil terkekeh.
Aafia menggembungkan pipinya dan menatap Dalia sebal. "Masih dua puluh tahun, Dalia. Masih kecil!"
Dalia tertawa. "Umurku juga segitu dan aku sudah memiliki dia," ujarnya sambil mengelus perutnya.
Kepala Aafia kembali tertunduk. "Mama takut pergaulanku akan sesat, makanya dia menjodohkanku," ujarnya lebih mengacu pada mengadu.
"Tante Irene pasti ingin yang terbaik untuk kamu, kamu jalani saja." Dalia menyahut.
"Kamu udah pernah ketemu dia?" Aafia mengerutkan dahinya pertanda tidak mengerti. "Calonmu," lanjut Dalia.
"Kemarin malam dia datang, makan malam." Dalia mengangguk paham.
"Terus kamu terima?" tanya Dalia. Aafia mengangguk, "Iya."
Dalia mengelus pelan rambut Aafia, "Aku yakin itu yang terbaik untukmu. Kamu hanya perlu menjalaninya."
Aafia pun hanya bisa mengangguk. "Sekarang giliranmu, siapa orang jahat itu?"
"Orang jahat?" Alis Dalia terangkat naik.
Aafia menghela napasnya, "Yang membuatmu seperti ini."
Dalia pun mengangguk paham kemudian tersenyum kecut. "Namanya Rivaldo, dia sangat famous, tampan, dan baik. Dia juga kakak tingkatku dan kami bergabung disebuah organisasi kampus yang sama, dia mengatakan mencintaiku, tapi ya semua itu cuma bullshit."
"Kamu tau kenapa aku tinggal di sini?" Aafia menggeleng.
"Karena ada kamu, aku bisa cerita dan ada teman. Di rumah Mama hanya memarahiku terus, aku butuh hiburan atau semakin lama aku akan tertekan dan keguguran." Dalia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku nggak mau itu terjadi, aku menyayangi anakku," lanjutnya.
Aafia mengangguk mengerti. Ia mengerti sekarang, dan ia pasti akan menemani sepupunya itu hingga si kecil lahir.
Malam itu mereka habiskan dengan bercerita dan bercanda, Aafia pun tidak sadar sudah terlelap di kamar Dalia dengan posisi memeluk sepupunya itu.