Menyamar sebagai laki - laki, itulah idenya. Cara terbaik untuk mengecoh.
Ini bukan pertama kali Aira melakukannya. Setiap pergi ke luar desa, ia selalu menyamar. Orangtuanya terlalu paranoid dan sangat menjaga Aira. Paras Aira yang dinilai terlalu jelita, tidak kalah dari puteri - puteri bangsawan membuat orangtuanya khawatir, cemas jika puteri semata wayangnya terkontaminasi oleh orang - orang jahat. Oleh karena itu agar dirinya bisa bebas pergi ke luar, Aira selalu berdandan seperti laki - laki.
"Lihat!" Aira meneropong. Dugaannya benar, beberapa pasukan tampak menunggu di area pelabuhan. Orang-orang itu juga menghentikan penumpang wanita yang hendak naik perahu. Memeriksa wajah mereka satu persatu.
"La.... Lalu bagaimana?" Lier meremat pakaiannya cemas.
"Kita harus bersikap tenang." Aira mengarahkan teropongnya ke kampung dekat pelabuhan. Terlihat kerumunan penduduk yang tengah memasang hiasan - hiasan cantik untuk pesta perayaan. Sudut bibirnya terangkat, "Kita tidak akan muncul dari hutan. Tapi lewat kampung."
****
Pesta perayaan kemenangan Kerajaan Kilan diadakan. Setiap berhasil merebut wilayah, masyarakat pasti akan menyelenggarakan pesta meriah sebagai bentuk syukur mereka atas karunia sang Naga yang maha agung. Dan pesta ini juga sebagai bentuk peralihan kondisi psikologi masyarakat di sini agar melupakan bahwa terdapat tradisi mengerikan atas nama kejayaan.
Heise berjalan menyaru di antara penduduk. Mengubah tampilannya seperti manusia pada umumnya. Pandangannya menelusuri sekeliling.
Benar - benar luar biasa manusia itu. Mereka menggelar pesta heboh tanpa peduli ada darah yang mengucur.
Lihat saja wajah - wajah bahagia dan penuh semangat seolah tiada beban yang mengganjal.
Berbagai ornamaen menarik dipasang pun dengan lampion - lampion cantik. Para wanita bertugas memasak hidangan lezat sedangkan para pria sibuk memasang hiasan serta menata panggung pertunjukan dan meja - meja untuk meletakan hidangan.
Heise menarik sudut bibir sinis. Mengejek sifat manusia yang mudah sekali bersenang-senang dalam penderitaan orang lain.
'Manusia benar-benar makhluk menjijikkan tak tahu diri.' Cibir Heise dalam hati. Dan....
Brukk.
Langkah Heise terhenti dan dahinya mengerut tak suka ketika tiba-tiba secara sembrono seseorang menabraknya.
"Ahh... Maafkan adik saya tuan!" Aira segera menghampiri Lier dan membantu gadis itu berdiri lantaran tak sengaja menabrak seseorang. Gadis itu tadi luar biasa panik dan berjalan cepat ketika melihat pasukan pengejarnya bertebaran dimana - mana bahkan sampai memasang pamflet buronan.
"Sekali lagi maaf, tuan." Aira segera menggandeng tangan Lier. Kemudian ketika melihat tiga orang berseragam biru yang disinyalir merupakan pengejar tampak berjalan ke arahnya, secara refleks Aira berjalan merapatkan diri kepada pemuda yang tak sengaja ditubruk tadi.
Dan hal itu membuat Heise semakin jengkel.
'Sialan apa-apa'an manusia ini.'
"Maafkan kami tuan, tapi biarkan kami berjalan bersama anda sebentar."
'Hnn'
Heise tak menanggapi.
"Tenanglah Li, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ingat, kita ini laki-laki." Bisik Aira bermaksud memberi sugesti. Dan tentu saja bisikan itu terdengar di telinga Heise yang peka. Dalam hati Heise ingin tertawa.
'Laki - laki apanya. Jelas - jelas wanita.'
Heise kemudian sedikit melirik dua perempuan berpakaian pria yang sedari tadi berjalan sembari menunduk. Atensinya fokus kepada perempuan yang berjalan tepat di sebelahnya. Dia mengamati.
Kulit lembut. Wajah bersih nan halus. Bulu mata lentik. Hidung kecil nan mancung. Hanya orang bodoh yang tak menyadari kalau dia perempuan.
Dia juga memiliki aroma wangi.
Lalu dilihatnya beberapa orang yang tampak mencari - cari buronan. Seketika Heise langsung bisa membaca situasi.
"Dewa pasti akan menolong kita." Bisik Aira lagi.
Dan Heise mencibir.
Dewa heh?
"Tapi dewa kalian sang naga yang melakukan ini."
"Maksudku dewa lain. Aku juga tidak mengakui sang naga. Dia jahat."
'Ohh bagus, sekarang dia mengatainya.'
Heise menarik sudut bibirnya mendengar perkataan gadis di sebelahnya. Seandainya mereka tahu bahwa dirinya merupakan sang naga merah. Panglima tertinggi dunia Legendaris yang paling ditakuti, dua gadis ini pasti akan lari terbirit - b***t.
Setelah dirasa Lier tampak tenang, dan tak ada pasukan yang mengejarnya, Aira melepaskan gandengannya.
Sebelum mengantarkan Lier masuk ke pelabuhan, Aira segera berbalik untuk menatap lebih jelas pemuda baik hati yang tak keberatan menjadi tameng mereka.
"Terimakasih tuan." Aira mendongak, dan untuk sejenak ia terpaku.
Pemuda di depannya ini.... Luar biasa tampan. Namun bukan itu yang membuatnya terkesima. Melainkan bola mata merah keemasan milik lelaki ini yang bersinar seperti cahaya matahari. Cerah dan menakjubkan.
Dia merasa ....
Aira langsung mengerjap ketika Lier menepuk pundaknya. Ia kemudian segera pamit meninggalkan Heise yang masih diam di tempat.
"Gadis itu~." Mata Heise menyimpit. Setelah mereka saling berhadapan, ia baru menyadari sesuatu, "Bukankah dia anak perempuan waktu itu?"
****
Aira dan Lier langsung menghela nafas lega ketika mereka tak diperiksa oleh empat orang pria yang Aira yakini sebagai pengejar. Mereka sibuk memeriksa para wanita
"Hati - hati ya!" Aira mengantar Lier ke pelabuhan dengan selamat. Dia tersenyum lembut lalu menyerahkan beberapa koin serta kantong berisi makanan untuk gadis itu.
"Terimalah! dan isi perut mu dengan ini."
Gadis itu termangu, matanya berkaca-kaca. Lalu ia membungkuk beberapa kali saat menerima pemberian Aira.
"Terimakasih nona, terimakasih."
Aira menepuk pundak gadis itu. Ia memandang tulus, "Kau harus segera pulang. Adik - adikmu menunggu." Jeda sejenak Aira menyerahkan beberapa kantong lagi, "Kau bilang adikmu terkena asma bukan? Minumkan obat ini secara teratur. Dengan ijin dewa, adik mu pasti sembuh."
Bulir bening mengalir di mata Lier. Bukan tangisan ketakutan melainkan tangisan haru. Sungguh dia beruntung bertemu dengannya. Wanita ini begitu baik. Parasnya cantik dan hatinya sangat murni. Dia seperti dewi penyelamatnya.
"Terimakasih nona, terimakasih."
Seketika ia memeluk Aira. Mengucapkan terimakasih sekali lagi. Dia berjanji tidak akan pernah melupakannya.
Perahu pertama datang. Gadis itu segera naik. Lantas melambaikan tangan ke arah Aira.
"Sekali lagi terima kasih nona, semoga dewa membalas kebaikan mu."
Aira mengangguk dan membalas lambaian tangan itu.
Sementara tak jauh dari sana, seorang pria paruh baya mengenakan topi khas pedagang memerhatikan keduanya seksama. Matanya melebar menyadari siapa gerangan kedua wanita berpakaian pria itu.
"Bukankah itu seorang gadis yang ada di selebaran ini? Dan... " Pandangannya bergulir pada Aira, "Bukankah itu puteri tabib Sin?"
****
"Aira?"
Aira berjingkat kaget mendengar suara yang sangat familiar. Perlahan dia berbalik lalu meringis melihat ayahnya turun dari perahu lain.
Gawat. Dia ketahuan. Ayahnya pasti marah jika dirinya berkeliaran.
"Sedang apa kau di sini?"
"A- ayah, maafkan aku. A- Aku hanya ingin keluar melihat pesta perayaan." Jawab Aira bohong.
Sang ayah mendengkus. Ia segera membawa puterinya menepi. "Aira, kau tahu kan di luar sangat bahaya. Jadi~."
"Ayah, aku sudah hampir 17 tahun. Dan selama ini aku jarang pergi ke luar desa. Aku juga tidak pernah ke kota." Aira menghela nafas, sesungguhnya dirinya kesal kepada orang tuanya yang selalu tak menginjinkan dirinya pergi keluar meskipun ia sudah menyamar sebagai lelaki. Dari bayi Aira sudah hidup di desa terpencil dekat hutan dan dirinya juga ingin sesekali menikmati indahnya dunia luar. Dia tak mau terbengkalai terus dan hari ini, ia terpaksa mengungkapkan keinginannya yang sudah lama terpendam, "Jadi ku mohon ayah, hanya sekali. Biarlah aku melihat pesta perayaan ya?" Mohon Aira.
"Tapi~."
"Ku mohon ayah!" Aira terus memohon dengan begitu melasnya membuat ayahnya tak tega. Namun dia juga khawatir jika membiarkan Aira terlalu lama berada di dunia luar akan menimbulkan marabahaya.
Dia sangat menyayangi puterinya, dan ingin menjaga Aira dari hal - hal buruk. Puterinya ini dari waktu ke waktu tumbuh menjadi gadis yang cantik. Aira adalah keindahan alami yang terbentuk sempurna dari sang maha pencipta. Bagaikan seorang puteri gunung yang suci bak permata. Ia tak tega jika puterinya yang begitu lembut harus menghadapi dunia yang kejam. Oleh karna itu dia begitu overprotektif terhadapnya apalagi di zaman ini wanita dianggap rendah.
Rencananya sebelum mengijinkan Aira pergi dengan bebas ke dunia luar, ia akan mencarikan puterinya seorang lelaki yang baik dan bisa menjaga Aira dengan aman. Dengan begitu ia bisa merasa tak khawatir lagi.
Namun dia juga tahu, Aira yang sudah tumbuh dewasa lama kelamaan akan bosan dan pasti ingin melihat dunia luar. Aira memang kerap menyelinap keluar dengan penyamaran, namun tetap saja membuatnya khawatir. Meski berdandan seperti pria, namun tetap tak menutupi paras cantik yang dimiliki puterinya. Ia takut jika orang jahat menyadari hal itu. Tetapi balik lagi, sejauh ini tidak terjadi apapun pada puterinya.
Dia memang terlalu paranoid dan egois sebagai orangtua dan tak memikirkan perasaan puterinya. Dan mungkin kali ini, dia harus membiarkan Aira pergi melihat bagaimana megahnya pesta perayaan Negara Kilan.
"Baiklah, tapi jangan jauh-jauh dari ayah. Ok?"
Senyum Aira mengembang. Ia mengangguk semangat. "Ya ayah."
Ternyata berkah datang lebih cepat. Balasannya menolong orang, akhirnya dia diijinkan untuk keluar. Sebenarnya setelah mengantarkan Lier, ia berencana langsung pulang karena takut orangtuanya kembali dan mendapati dirinya tidak di rumah. Mereka pasti marah dan khawatir. Namun sekarang kecemasannya buyar lantaran ayahnya sudah memergoki terlebih dahulu, ayahnya pun mengijinkan Aira untuk melihat festival. Demi Dewa, dia sangat senang. Seumur hidup, ini adalah kali pertama kali dirinya melihat perayaan Kerajaan Kilan.
****
*Ojo lali Vote dan komennya* Semoga kalian suka ??
#Kalian bisa membaca kelanjutan cerita ini di wttpd