10. Hari Yang Menegangkan

1504 Kata
Keringat dingin membanjiri pelipis Nada, tangannya mencengkeram kuat apa saja yang bisa ia raih sekadar untuk mengurangi rasa sakit yang dialaminya. Nyeri yang bersumber dari perut bagian bawahnya terasa menyebar hingga sekujur tubuh, melumpuhkan saraf dan sangat menyiksa. Belum pernah Nada merasakan rasa sakit yang seolah hendak membawa malaikat kematian untuk menemuinya. "Kamu memang perempuan pembawa sial! Semenjak kamu datang di rumah kami, suasana menjadi seperti di neraka. Selalu saja datang masalah baru. Dan sekarang, kamu kembali bertingkah." Wulan merasa belum puas meskipun ia memarahi Nada sampai mulutnya berbusa. "Menjaga diri dan anak dalam kandunganmu saja kamu nggak becus! Dosa apa yang telah diperbuat Gibran sehingga membuat anakku memiliki pasangan seperti dirimu. Selain bisu, kamu juga membawa kutukan dan musibah. Kamu ...," "Cukup!" hardik Bayu menghentikan ocehan menantunya sebelum semakin merembet lebar jika tidak segera dihentikan. "Ayah lebih membela dia yang jelas-jelas perempuan pembawa sial, dibandingkan menantumu ini?" "Diam kamu, Ma." Arya menyela. "Dia itu pembawa sial, Pa." "Sudah kubilang cukup! Jangan menambah masalah menjadi runyam. Kamu nggak lihat situasinya?" Arya menarik napas panjang mencoba sabar. Keringat yang bercampur air mata membasahi wajah Nada. Bahkan di saat genting seperti ini pun Wulan sama sekali tak tersentuh melihat deritanya dan malah semakin menambah jumlah lukanya. Terbuat dari apa hati wanita itu? "Kamu boleh membenci menantumu sebesar apa pun kamu mau, tapi bayi dalam kandungannya adalah cucumu, anak Gibran. Setidaknya bantu dia dengan do'a, bukan malah semakin memperkeruh suasana." Suara pertengkaran sepasang suami istri itu masih mendominasi sementara fokus Gibran terus tertuju pada Nada yang kini berada di pangkuannya. "Rasanya pasti sakit sekali, tunggulah sebentar lagi kita sampai di rumah sakit." Gibran menahan napas saat kuku lentik Nada menembus kain kemejanya hingga kulit punggungnya terkelupas. Setiap kali wanita itu mendesis, saat itu juga Gibran serasa ikut menahan sakit yang dirasakan Nada. Terlepas dari apa pun yang terjadi di antara mereka, Nada harus melewati kepayahan dan berbagai macam penderitaan demi mengandung darah dagingnya. Akan sangat berdosa seandainya Gibran mengabaikan wanita itu. Sesampainya di rumah sakit, beberapa petugas medis telah bersiap menyambut keluarga besar Salim. Rasa cemas yang semula menggelayuti Gibran perlahan berkurang meski tak sepenuhnya lenyap saat Nada memasuki ruang pemeriksaan. Ia kemudian duduk di kursi besi, menyadarkan kepalanya yang mendadak digerogoti nyeri. "Bukankah katamu hari perkiraan persalinannya masih tiga minggu lagi?" Gibran membuka mata menatap kakeknya dan mengangguk. "Dokter bilang bayi kami sehat meski berat badannya kurang. Nada juga baik-baik saja sebelum ...," Ucapan Gibran tertahan. Mendadak terlintas dalam pikirannya kalau apa yang terjadi pada Nada disebabkan oleh ibunya. Wulan terus saja mengomeli Nada sepulang mereka dari rumah sakit sehingga Nada merasa sangat tertekan dan mengalami pendarahan. Bayu membuang napas berat. Pria tua itu sudah bisa menebak apa yang sedang ada di pikiran cucunya saat ini. Menantunya itu memang sangat cerewet, segala sesuatunya harus sempurna dan seringkali tak berpikir sebelum berbicara atau bertindak. Tak lama berselang, daun pintu bercat putih itu terbuka lebar. Dokter keluar dengan didampingi dua perawat di belakangnya. "Bagaimana istri saya, Dok?" Semua orang menghambur mengelilingi dokter pria berkacamata itu, menantikan penjelasan tentang kondisi Nada. "Setelah kami melakukan pemeriksaan, ternyata bayi dalam kandungan Ibu Nada harus segera dikeluarkan." "Bukannya hari persalinannya masih kurang tiga minggu lagi, Dok?" Gibran bertanya. Ia mengira istrinya hanya mengalami pendarahan dan tak sampai separah ini. "Iya, tapi berdasarkan kondisinya Bu Nada terpaksa melahirkan lebih awal." Dokter itu mengkode salah satu perawatnya. "Suster akan memberikan seragam khusus jadi bersiaplah untuk ikut masuk ke dalam ruang persalinan dan temani istri Anda," imbuhnya kemudian. "Mari ikut saya, Pak." Gibran mengangguk. Baru satu langkah, tapi tangan Wulan lebih dulu menahannya. "Ngapain kamu mau ikut masuk ke dalam?" "Ma, Gibran suaminya. Apa-apaan kamu?" delik Arya tak suka dengan tindakan istrinya kali ini. "Dia tidak berkewajiban menemani gadis pembawa sial itu di dalam. Anakku pasti sangat lelah setelah seharian bekerja di kantor, lalu harus mengantarkan istrinya ke rumah sakit, dan sekarang waktu yang seharusnya dia gunakan untuk beristirahat malah terbuang percuma." Wulan menimpali. "Astaga! Di mana nurani Mama? Papa tahu kamu tidak bisa menerimanya menjadi bagian dari keluarga kita, tapi apa bisa sekali saja Mama lihat tempat?" Seakan tersadar dari lamunannya, Wulan terkesiap begitu menyadari dirinya dan Gibran sedang menjadi pusat perhatian perawat dan juga beberapa orang yang melintas di sana. "Cepat masuk!" titah Arya pada putra semata wayangnya. Wulan reflek melepaskan lengan anaknya dan mengikuti pemuda itu untuk menunggu di depan ruang bersalin. "Kapan kamu akan sadar, Wulan? Jangan jadikan kebencianmu pada Nada membuat reputasimu hancur. Jangan bertindak sembarangan, apa lagi di tempat umum seperti ini. Dinding saja bisa mendengar, bukan hal yang mustahil jika sampai kejadian tadi terendus media lalu beritanya akan dengan cepat naik ke permukaan. Istri dari Arya Budiman Salim ternyata sangat membenci menantunya, dia hanyalah sosok antagonis yang memakai topeng. Berpura-pura menjelma menjadi malaikat di depan umum tetapi sebenarnya dia tak lebih dari monster yang menakutkan ketika sedang berada di balik layar." Berulang kali Bayu menghembuskan napas panjang nan berat. "Kamu kan tahu, ayahmu ini sudah renta, sudah penyakitan dan sering ke luar masuk rumah sakit. Impian Ayah hanya satu, bisa melihat anak Gibran lahir. Cicit Ayah. Jangan sibuk mengoreksi menantumu tapi lupa membenahi sikapmu." Lagi, pria tua itu menggeleng merasa tak habis pikir dengan menantunya. Pada dasarnya Wulan memang cerewet, emosinya tidak stabil dan seringkali meledak-ledak. Namun dia menantu yang sangat baik yang mau direpotkan mengurus segalanya. "Ketimbang terus mengumpati Nada, ada baiknya kamu mendoakan cucumu yang sebentar lagi akan segera lahir," pungkas Bayu mengakhiri pembicaraan itu. Wulan, Arya dan juga Bayu duduk dengan gusar di kursi besi menantikan generasi penerus trah Salim itu hadir ke dunia. Sementara itu di dalam ruang bersalin. Sesekali Nada menggeliat saat terjangan hebat yang bersumber di perutnya itu kembali hadir. Gibran memang duduk di dekat kepalanya, tapi dia tak mahir berbasa-basi atau sekadar memberikan ucapan yang menguatkan Nada. Bukan lelaki itu tak tergerak melihat penderitaan istrinya. Gibran memilih diam menyaksikan penyiksaan demi penyiksaan itu membuat Nada meregang nyawa. Ia takut salah bicara dan malah mengacaukan suasana. Kedua kelopak mata Nada telah bengkak karena terlalu banyak menangis. Begitu juga dengan tangan dan lengan Gibran yang sesekali dijadikan sasaran. "Dok, apa masih lama? Istri saya sudah sangat kesakitan." Gibran yang merasa geram tak lagi bisa menahan diri. Jarum jam telah menunjuk angka tiga pagi, tapi dokter beserta tim medis terlihat menunggu sambil sibuk dengan kegiatannya masing-masing. "Mohon maaf, Pak Gibran. Kami harus menunggu pembukaan jalan lahir lengkap dulu, baru Bu Nada boleh mengeluarkan bayinya." Gibran yang hanya tahu mengurus bisnis itu tentu salah paham mengira dokter menelantarkan istrinya. "Omong kosong! Dia sudah sangat kesakitan sampai rasanya untuk bernapas saja dia kesulitan. Apakah kalian tidak bisa melihatnya!" hardik Gibran lagi. Habis sudah kesabarannya. Ia memang tidak merasakannya langsung, tapi melihat bagaimana Nada merintih menahan sakit, juga betapa keras cengkeraman tangan Nada pada lengannya. Itu semua sudah cukup membuktikan seberapa besar sakit yang diderita Nada saat ini. "Sabar ya, Pak. Ditunggu sebentar lagi." Dokter bersikap tenang menghadapi Gibran. Ia paham dengan apa yang dirasakan seorang suami pada saat istri yang dicintainya bertaruh nyawa demi mengeluarkan bayi mereka. "Selalu begitu jawabanmu sejak tadi. Sampai kapan kamu membiarkan istriku menderita!" Bentakan Gibran terdengar memenuhi ruangan itu. Nada mengguncang pelan lengan suaminya, ia menggeleng dengan sorot mata penuh permohonan. Berharap suaminya tak terus menerus menyalahkan dokter. "Kamu mau minum?" Nada mengangguk, tenggorokannya memang terasa gersang. Ia mengusap pelan punggung tangan suaminya mengalirkan rasa hangat yang membuat Gibran menjadi jauh lebih tenang. Namun ketenangan Gibran tak bertahan lama karena tiba-tiba saja kedua bola mata Nada membeliak penuh. Tubuhnya mengejang, ranjang rumah sakit sampai bergetar dibuatnya. Dokter sigap memeriksa Nada, lalu meminta tim medis untuk bersiap dengan tugasnya masing-masing setelah mengetahui pembukaan jalan lahir Nada telah lengkap. "Bu Nada ikuti instruksi saya kapan harus mengejan dan kapan menarik napas dan mengumpulkan tenaga. Mari kita berjuang bersama." Dokter mulai memberikan aba-aba. Rasanya tak hanya tulang belulang Nada saja yang dibuat remuk redam, pun dengan Gibran. Tangan dan lengannya memar lantaran cengkeraman Nada yang sangat kuat sambil menggigitnya sesekali. Setiap kali Nada mengejan, suaminya ikut menahan napas seakan ia ikut mendorong kepala bayi mereka untuk segera keluar. "Sedikit lagi, Bu. Ayo, kepala bayinya sudah terlihat. Bu Nada pintar mengejan. Tarik napas dan dorong pada hitungan ke tiga." Dokter kembali memberikan instruksi. Gibran menggenggam erat tangan Nada saat wanita itu menarik napas dalam dan mengumpulkan segenap kekuatannya. Gibran ingin menyalurkan kekuatannya juga, sambil dalam hati ia terus merapal do'a. Detik berikutnya suara tangisan bayi begitu menggema terdengar amat keras. Ada perasaan haru, sedih bercampur dengan perasaan aneh yang tak bisa Gibran definisikan ketika matanya tak sengaja menemui telaga bening bayi merah itu. Tubuhnya menggigil, kedua netra Gibran dilapisi riak tipis. Detik itu, dirinya resmi menjadi seorang ayah. Rasanya seperti mimpi. Kebahagiaan indah berbalut haru itu berakhir dalam hitungan menit saat tim medis harus memberikan pertolongan pada Nada yang kondisinya menurun. Tubuh Gibran yang baru saja seperti dialiri tenaga baru saat melihat bayinya, kini melemah. Darahnya berdesir, degup jantungnya berkejaran saat melihat dokter sibuk melakukan tugasnya. Suasana berubah mencekam. Semua orang larut dalam doa masing-masing. Suara tangisan bayi yang semula terdengar membahagiakan, kini meninggalkan kepanikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN