Rizki sudah berada di dekat toilet yang Deva maksud. Dia duduk di sebuah bangku panjang lalu menghubungi Deva lagi.
“Halo, Pak.”
“Saya sudah ada di dekat toilet yang kamu bilang tadi. Kamu masih sakit perut, Deva?” tanya Rizki dengan perasaan khawatir.
“Masih, Pak.”
“Keluar dari tolilet itu, saya antar kamu pulang.”
“Tapi … saya enggak bisa keluar dari toilet sekarang. Bapak pulang duluan aja deh. Biar saya telepon teman saya lagi ya, Pak. Udah ya, Pak saya tutup dulu teleponnya.”
Belum sempat Rizki menjawab, Deva sudah mengakhiri panggilan telepon. Pria itu masih ada di sana dan akan menunggu sampai Deva keluar dari sana.
Setengah jam sudah dia menunggu, tetapi tidak ada tanda-tanda Deva akan keluar dari toilet. Dia pun menelepon Deva lagi. “Deva, sampai kapan kamu mau nunggu teman kamu? Sebentar lagi malam, tapi kamu belum pulang, apa orang tua kamu enggak khawatir nanti?”
“Teman saya enggak bisa dihubungi semua, Pak.” Suara Deva terdengar sedih.
“Kalau kamu enggak bisa jalan karena sakit perut, saya akan masuk toilet buat gendong kamu terus saya bawa ke rumah sakit.”
“Pak ….”
“Ya, kamu enggak pingsan kan, Deva?” Rizki semakin mengkhawatirkan Deva.
“Enggak, tapi … gimana cara bilangnya ya. Hm … gini kan, saya baru dapat tamu bulanan gitu, terus pakaian saya kotor semua gitu, Pak. Duh, Bapak pasti enggak ngerti ya? Tapi beneran saya enggak bisa keluar sekarang dalam kondisi ini.”
Rizki menggaruk kepalanya. Dia sedikit paham soal tamu bulanan yang dimaksud Deva, tetapi tidak tahu apa yang bisa dia lakukan. “Saya harus ngapain biar bisa bantu kamu?”
“Saya … butuh itu, Pak.”
“Butuh apa Deva? yang jelas dong kalau bicara. Saya enggak tahu kamu butuh apa?”
“Itu … bingung mau ngomong sama Bapak. Ya sudah saya telepon papa saya aja deh buat jemput saya pulang. Makasih ya, Pak.”
“Deva jangan ditutup dulu teleponnya kayak tadi.” Rizki menahan Deva. “Ya sudah, coba kamu telepon dulu. Biar saya tunggu di sini. Kalau papa kamu enggak bisa jemput, telepon saya lagi. Eh, enggak, apa pun hasilnya setelah telepon papa kamu, kabari saya.”
“Iya, Pak.”
Kali ini Rizki harus menunggu lagi kabar dari Deva. Dia masih setia menunggu dan menemani perempuan itu di dekat toilet. Tidak sampai lima menit, Deva sudah menghubunginya lagi.
“Pak ….”
“Iya, gimana, papa kamu bilang apa?”
“Katanya masih ada urusan di kampus. Enggak bisa jemput, gimana dong?”
“Ya sudah, gini aja Deva, katakan sama saya kamu butuh apa sekarang biar bisa keluar dari toilet?”
“Saya butuh pembalut, terus jaket atau apa pun yang bisa menutupi sesuatu.”
“Ok. Kamu tunggu di sini, saya cari pembalut dulu sama jaket. Enggak akan lama kok. Kamu enggak apa-apa kan ditinggal sendiri?”
“Enggak apa-apa, Pak. Tapi, Bapak beneran mau bantuin saya, kan?”
“Iyalah, Deva. Pokoknya tunggu aja di sana. Lima menit, eh sepuluh menit saya ke sini lagi.”
Setelah menutup panggilan telepon, Rizki bergegas mencari warung di dekat kampus yang masih buka. Pada jam itu, koperasi kampus sudah tutup. Dia harus keluar gerbang kampus mencari warung. Tibalah pria itu di sebuah warung.
“Bu, saya mau beli pembalut ada?”
“Oh, ada kok, Mas. Mau beli buat istrinya ya?” tanya ibu warung yang penasaran.
“Bukan buat istri saya kok, Bu.”
“Oh, kalau gitu buat pacar?”
“Bukan juga.”
“Terus siapa? Teman? Teman dekat ya? Jarang banget ada cowok yang mau beliin pembalut kayak Mas gini. Pada malu kali ya?”
Haruskan Rizki menjawab pertanyaan itu?
Ibu warung kembali membawa pembalut yang isinya satuan. “Mas mau beli berapa? Yang ada di warung saya cuma yang kayak gini, enggak apa-apa?”
“Yang adanya aja deh, Bu. Saya beli semua.” Yang Rizki maksud itu membeli satu renceng.
“Ok.” Ibu warung segera memasukkan semua pembalut itu ke dalam kantong kresek.
Setelah membayar, Rizki menuju parkiran mobilnya. Dia harus mengambil jaket yang dibutuhkan Deva. Kemudian, dia kembali ke toilet tempat Deva menunggu.
“Deva, saya izin masuk toilet ya, pembalut sama jaketnya saya simpan di wastafel.” Rizki pun masuk toilet dan meletakkan semuanya. Lalu pria itu keluar dari toilet dan menunggu di bangku panjang lagi.
Tak lama kemudian, Deva keluar dari toilet lalu berjalan menghampiri Rizki. Perempuan itu mengikat jaket di pinggang untuk menutupi bokongnya. “Makasih ya, Pak, sudah dibantu. Saya harus ganti berapa buat pembalut ini?” Deva terlihat serius.
“Sudah enggak usah diganti. Sekarang kamu saya antar pulang. Saya enggak terima penolakan kali ini dengan alasan kamu mau pesen ojek. Ini sudah malam, kamu harus segera pulang.”
Dengan sangat terpaksa, Deva mengikuti langkah Rizki menuju parkiran. Tiba di sana dia pun segera masuk ke mobil dan segera memasang sabuk pengaman. Tidak ada Deva yang biasanya protes pada Rizki. Perempuan itu hanya bisa diam menahan malu. Harga dirinya seakan terjun bebas saat ini di hadapan Rizki.
“Nanti jaket Bapak saya cuci dulu baru saya kembalikan ya, Pak. Pokoknya terima kasih sudah bantu saya.”
“Hm … kalau kamu suka jaket itu, kamu bisa ambil buat kamu kok.”
“Enggak usah, Pak. Nanti saya kembalikan.”
“Kamu tuh harusnya bilang dari awal aja kenapa sih? Supaya enggak pulang terlalu malam. Kan kasian juga anak perempuan harus pulang malam-malam sendirian.”
Deva menunduk. Iya dia memang salah tidak meminta bantuan Rizki yang sudah menunggu dekat toilet karena ternyata tidak ada yang bisa membantunya saat itu. “Iya, Pak.”
“Lagian Erna sama Rani ke mana sih? Kok enggak bisa dihubungi.” Deva merutuk dalam hati.
“Lusa kita mau antar proposal karena jadwal kuliah kamu cuma ada satu terus sorenya ada rapat panitia. Selama persiapan acara kamu harus jaga kondisi kesehatan. Jangan lupa makan, kalau perlu minum vitamin. Jangan sampai sakit.”
“Iya, Pak.”
Rizki menoleh sekilas pada Deva. “Kenapa sekarang dia keliatan penurut sekali?”
Mobil Rizki pun tiba di depan rumah Deva. Perempuan itu melepas sabuk pengaman. “Makasih sudah mengantar saya pulang, Pak.” Deva tidak ada niatan membawa dosennya itu mampir dulu ke rumah.
“Ya, sama-sama. Kalau ada apa-apa telepon saya.”
“Iya, Pak.” Deva menjawab tanpa sadar. “Lah kenapa dijawab iya?” Deva menyalahkan dirinya yang terlalu impulsif menjawab pertanyaan dengan asal.
Deva pun keluar dari mobil Rizki lalu masuk rumah setelah mobil itu pergi menjauh. Di dalam dia bertemu dengan Safina.
“Kamu kok baru pulang, Sayang? Terus itu jaket siapa?” tanya Safina penasaran.
“Tadi habis rapat panitia, Ma.” Deva terpaksa berbohong. Dia malu jika harus menceritakan kejadian sore ini pada Safina. “Terus ini jaket teman. Aku pinjem soalnya tembus. Jadi, ini buat nutupin.”
Padangan Safina masih terarah pada jaket itu. “Tapi, ini jaketnya bukan jaket biasa deh, Deva. Emang teman kamu ada yang ke kampus pakai jaket kayak gini? Ini tuh kayak jas gitu bentuknya, cuma memang kerah dan resletingnya aja yang bikin kelihatan kayak jaket. Kamu yakin ini punya teman kamu?”
Nah lo Deva dicurigai sama Safina.