Bab 2. Rapat di Kafe

1177 Kata
Tiba di kafe, Rizki memesan makanan dan minuman untuknya lebih dulu. Baru kemudian dia menawari Deva. “Mau makan apa, Dev?” “Minum aja, Pak.” Deva tidak ingin terjebak lama-lama bersama dosennya itu. Dia harus pulang karena hari akan segera gelap. “Makan ya, temani saya makan.” Rizki masih menawari makanan. “Enggak usah, Pak. Saya pengen cepat pulang.” Deva terpaksa berkata jujur. “Gampang. Nanti saya antar kamu pulang.” Deva melotot, tetapi saat dia ingat jika pria yang ada di sampingnya adalah dosen yang harus dia hormati, perempuan itu bersikap ramah. “Minum aja ya, Pak.” “Ok. Kalau gitu kamu pesan aja mau minum apa?” “Es teh aja satu.” Dahi Rizki berkerut lalu menatap Deva dengan heran. Dia merasa Deva sedang merendahkannya dengan memesan es teh saja. Dia mampu membayar yang lebih dari itu. “Es tehnya ganti ya, Mbak sama jus jeruk.” Lalu pria itu berjalan lebih dulu ke sebuah meja yang kosong. Rizki duduk lebih dulu lalu Deva menarik kursi dan duduk di hadapan pria itu. Dia mengeluarkan lembaran kertas yang berisi catatan konsep acara untuk ulang tahun Fakultas. “Tadi setelah ketemu sama Bapak, saya rapat sama pengurus inti BEM. Ini hasil rapatnya, Pak.” Deva memberikan lembaran kertas itu pada Rizki. Pria itu menerimanya lalu membaca dengan seksama apa yang tertulis di kertas itu. Dahi pria itu berkerut. “Masalah lagi nih kayaknya,” batin Deva sambil mengartikan ekspresi wajah Rizki. “Ini apa, Deva? Kok makin enggak jelas begini?” Pria itu melayangkan tatapan tajam pada Deva. Tebakan Deva benar. Ada masalah dengan apa yang sudah dia bahas dengan teman-temannya tadi. “Gimana, Pak?" “Ini konsep kalian masih mentah banget. Masa seminar enggak tahu temanya apa. Terus workshop apa ini enggak jelas. Acaranya puncaknya kenapa harus ada musik atau band segala begini? Ini bukan PENSI, Deva.” Pria itu bicara dengan penuh penekanan di setiap kata yang dia ucapkan. Deva menarik napas panjang, kemudian berkata, “Saya pikir kita bisa diskusi buat bahas konsep acaranya, Pak? Bapak bisa ngasih saran dan kami akan melanjutkan apa yang Bapak rencanakan.” Deva terpaksa tersenyum. “Emang dari Fakultas enggak ada rencana bikin acara apa gitu dan semuanya diserahkan begitu aja ke pihak BEM?” Ingin Deva berkata ini, tetapi tidak sopan bicara seperti itu pada dosennya. Saat itu pelayan kafe datang mengantarkan makanan dan minuman pesanan mereka. Rizki meminggirkan piring dan gelas di hadapannya karena dia belum selesai bicara dengan Deva. “Saya sudah menyerahkan semuanya pada kalian, kan?” “Apa enggak ada saran dan masukan sama sekali untuk kami, Pak? Kayak biasanya.” “Saya mau pikiran kalian berkembang. Jangan terus-terusan minta disuapi. Saya mau kamu bicarakan lagi dengan teman BEM kamu itu terus-menerus serahkan pada saya besok siang.” Besok siang Deva ada kuliah tambahan, tetapi dia tidak akan mengatakan itu pada Rizki. Lebih baik dia minta temannya yang menemui Rizki besok di ruangannya. “Baik, Pak. Ada lagi?” “Sepertinya sudah cukup.” Pria itu menarik piring ke hadapannya. Dia pun mulai makan. Sementara itu, Deva minum jus jeruk sambil mengirim pesan pada temannya. Deva : Mahen, masih di kampus enggak? Mahendra : Masih, sebentar lagi mau pulang. Kenapa, Dev? Deva : Bareng dong pulangnya. Aku ada di kafe depan kampus. Mahendra : Ok. Lima menit lagi aku tunggu di gerbang depan ya Deva : Siap Deva mengabiskan jus jeruknya lalu bersiap pamit pada sang dosen. “Pak, saya boleh pulang sekarang?” Deva bertanya dengan hati-hati. Pria itu mengangkat kepala lalu menatap Deva. “Pulang bareng saya saja.” “Enggak usah, Pak. Saya bisa pulang bareng temen kok.” Deva harus menolak ajakan itu karena dia tidak mau merepotkan sang dosen. “Siapa?” “Mahen, Pak. Mahendra Pratama.” “Siapa dia?” “Anak Fakultas Teknik, Pak.” “Iya dia siapa kamu?” Rizki mulai kesal karena Deva tidak paham dengan arah pembicaraannya. “Cuma teman, Pak.” “Bukan pacar?” “Bukan.” Deva sudah tidak mau berlama-lama lagi bicara dengan Rizki. “Saya pulang dulu ya, Pak.” “Iya, hati-hati. Saya tunggu kamu besok siang di ruangan saya.” “Baik, Pak.” Deva bangkit dari kursi lalu keluar dari kafe itu berjalan menuju gerbang kampus di mana Mahendra sudah menunggunya. Tanpa disadari oleh Deva, Rizki mengawasi kepergiannya ke gerbang kampus dan bertemu dengan Mahendra. Dari kejauhan Deva terlihat tersenyum dan entah mengapa di mata itu senyuman Deva terlihat manis. “Kamu habis ngapain di kafe depan, Dev?” sapa Mahendra saat Deva sudah dekat dan mereka pun berjalan bersama ke parkiran. “Habis ketemu Pak Rizki, biasa bahas acara.” “Oh, tumben sampai malem? Emang penting banget ya?” “Heem. Buat acara ulang tahun Fakultas.” “Terus udah selesai?” “Belum sih baru bahas konsepnya aja. Besok dilanjut lagi.” “Semangat ya, Dev buat acaranya. Semoga sukses.” Tiba di parkiran mereka mendekati motor Mahendra. Mahendra adalah teman satu SMA Deva. Tidak hanya berteman dengannya, Mahendra juga berteman dekat dengan saudara kembar Deva yang lain, Dafi dan Dafa. Hanya mereka berdua saja yang masih satu kampus. Sedangkan Dafi kuliah di luar kota dan Dafa melanjutkan kuliah di luar negeri. Mahendra memberikan helm pada Deva dan langsung dia pakai. “Kamu mau diantar ke rumah apa ada tujuan lain, Dev?” tanya Mahendra yang sudah duduk di jok motor. “Pulang aja, aku capek pengen istirahat. Besok ada praktikum sampai sore belum nyiapin apa-apa.” “Ok. Ayo!” Mahendra melajukan motornya mengantarkan Deva pulang ke rumah. Deva diam duduk di belakang Mahendra sambil berpikir. Mulai hari ini sepertinya hidupnya tidak akan tenang dan harus siap berhadapan lagi dengan Rizki paling tidak sampai enam bulan ke depan karena harus mempersiapkan acara ulang tahun Fakultas Psikologi. “Kamu enggak pengen makan dulu, Dev? Aku bisa berhenti di mana aja kalau kamu mau makan.” Tiba-tiba Mahendra menawarkan makan malam. “Enggak usah. Aku udah kangen kasur di rumah.” “Ya kali aja kamu lapar habis banyak mikir.” “Aku memang lapar, tapi masih bisa nahan. Jadi, mau makan di rumah aja.” Mahendra mengantarkan Deva sampai depan rumah lalu dia pamit pulang. Deva masuk ke rumahnya dan bertemu sang mama di ruang tengah rumah. “Dari mana, Dev? Kok baru pulang?” tanya sang mama. “Habis rapat BEM, Ma.” “Kok sampai malam? Biasanya enggak sampai malam begini kok.” Safina mulai menyelidiki anaknya. “Lagi persiapan acara ulang tahun Fakultas. Mau ada beberapa acara. Dosen minta pengurus BEM buat bantuin.” “Oh. Kamu mandi dulu sana terus makan. Mama sudah siapin makan malam.” “Ok. Papa mana, Ma?” “Papa ada di kamar. Nanti makannya bareng sama Papa juga.” Deva menganggukkan kepala lalu berjalan menuju kamarnya. Dia melihat ponsel dan sudah ada chat dari teman-teman pengurus BEM. Dian membuka satu persatu chat yang masuk dimulai dari pesan chat dari Erna. Erna : Gimana hasil ketemuan sama Pak Rizki? Rencana kita disetujui atau enggak?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN