Dua jam. Ya, dua jam penuh Kaia menangis di samping pusara bayinya. Ia tak mengatakan apapun selain menangis dan membelai batu nisan yang masih baru itu, seolah sedang membelai kepala bayinya. Sementara Ben hanya menemani di sebelahnya sambil sesekali mengusap matanya sendiri yang berair atau membelai lengan Kaia lembut. Matahari sudah hampir tenggelam saat isak tangis Kaia akhirnya mulai reda. Ben menoleh, menatap Kaia sedang mengusap air mata dari wajahnya. “Gimana perasaan kamu?” tanyanya sambil menyelipkan rambut Kaia ke belakang telinga. Kaia menoleh dan tersenyum tipis. “Agak lega.” Helaan nafas pelan lolos dari bibirnya yang memerah karena menangis. “Ternyata selama ini saya nggak pernah mengizinkan diri saya buat bersedih. Saya selalu takut buat mengakui kalau saya sedih dan k