Freya menelan ludah saat melihat Ben sedang berlari di atas treadmill. Kaos olahraga Ben melekat ke tubuhnya karena keringat, mencetak punggung bidangnya untuk disaksikan Freya dengan tatapan lapar.
“Padahal semalem si cewek miskin itu sampe jerit-jerit tapi papa masih bisa olahraga pagi ini?” gumamnya sambil geleng-geleng kepala.
Pipi Freya bersemu merah, suara aneh yang ia dengar dari kamar Ben masih memenuhi kepalanya hingga pagi ini. Membuatnya bertanya-tanya bagaimana bisa Kaia sampai menjerit-jerit seperti itu.
“Diapain sih?” lirihnya sambil terus menatap punggung papa mertuanya dari kejauhan.
“Kamu ngapain?” Farel tiba-tiba sudah berdiri di ujung tangga.
“Eh? Enggak, bukan apa-apa.” Freya menggeleng cepat. Ia berlari menghampiri Farel sebelum Farel menyadari apa yang sedang ia perhatikan sejak tadi.
“Jangan lari-lari,” tegur Farel saat Freya tiba di hadapannya.
Freya tersenyum manis, berusaha terlihat normal. “Kamu ngapain ke sini?”
“Nyariin kamu kok nggak ada di kamar.” Farel melingkarkan lengannya di pinggang Freya, membimbingnya kembali ke kamar.
Freya menurut, membiarkan Farel menggiringnya ke kamar. “Ngapain nyari aku?”
Farel mendudukkan Freya di tepi kasur, ia duduk di sebelahnya, mencium bahu polos sang istri. Sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Freya sekarang. “Masih marah gara-gara aku nggak bolehin kamu bikin gaun?”
Freya mendengkus pendek, kembali mengingat penolakan Farel.
“Tapi kan aku bolehin bikin satu, Sayang?” Farel membelai rambut Freya lembut. “Lagian buat apa bikin gaun banyak-banyak? Kita belum ada acara yang butuh pake gaun dalam waktu dekat.”
“Kamu nggak diajakin papa kamu ikut pesta apa gitu?” Freya masih bersikeras.
“Nggak ada, Sayang. Emang pesta apa sih?”
“Aku juga nggak tahu pesta apa.”
“Terus kamu tahu dari mana kalau papa mau dateng ke pesta?”
Freya melirik Farel sekilas. “Dari cewek miskin itu. Kemarin dia dibikinin gaun di La Belle Attire, katanya buat datang ke pesta.”
“Jadi kamu iri sama Kaia terus minta bikin juga?” tebak Farel hati-hati.
Freya membuang muka, enggan mengakui hal itu.
Tangan Farel menyentuh dagu Freya lembut, membuatnya kembali menoleh padanya. “Jangan iri sama dia, Sayang. Buat apa? Dia mungkin dibikinin gaun banyak sama papa, tapi emangnya dia pantes pake gaun itu? Dia tuh dari dulu nggak pernah pake baju-baju bagus, nggak bisa dandan juga. Jadi mau semahal apa baju yang dia pake, pasti kamu bakal kelihatan jauh lebih cantik.”
Wajah cemberut Freya perlahan berubah cerah. “Mulut kamu manis banget deh, Yang,” katanya sambil tersenyum malu-malu.
Farel jadi ikut tersenyum senang melihatnya. “Aku nggak lagi gombal loh, emang beneran kamu tuh cantik pake apa aja.”
Akhirnya bibir Freya melengkungkan senyum. “Kamu nih pinter banget deh bikin aku nggak jadi kesel sama kamu.” Ia berbalik menghadap Farel, mengalungkan lengannya di leher sang suami.
“Jangan bikin aku telat kerja dong,” lirih Farel saat merasakan Freya menempelkan dadanya.
“Kok hari Sabtu masih kerja sih?” Freya mengernyit.
“Diajakin papa ketemu calon supplier baru.”
“Yah, aku sendirian dong di rumah?”
“Kamu nggak pergi sama temen-temen kamu? Kalau bosen di rumah, pergi aja nggak apa-apa.”
“Lihat entar deh,” sahut Freya asal, sebelum menempelkan bibirnya ke bibir Farel.
***
Sementara itu di kamar utama, Kaia baru bangun menjelang pukul delapan pagi. Ben baru saja masuk kamar setelah berolahraga di bawah. Masih mengenakan baju olahraga yang basah oleh keringat.
“Kamu baru bangun?” tanya Ben basa-basi, meneguk air mineral.
Kaia mengangguk, mengusap wajahnya, berusaha mengumpulkan kesadaran.
“Masih sakit?” Ben bertanya lagi, berdiri di kaki kasur dengan kedua tangan di saku celana.
Kaia duduk bersandar di headboard kasur, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Ia masih bisa merasakan samar-samar rasa nyeri dan pegal di beberapa bagian tubuhnya. “Sudah nggak terlalu sakit.”
Ben mengangguk paham. “Kamu tahu kapan biasanya kamu haid?”
“Iya, tahu, Pak.”
“Begitu bulan depan kamu terlambat haid, aku mau kamu langsung mengecek apa kamu hamil atau tidak. Mengerti?” Suara Ben datar, sama sekali tidak ada tanda-tanda kekhawatiran meski ia tahu saat ini Kaia sedang tidak baik-baik saja karena permainan mereka semalam.
Kaia mengangguk. “Iya, Pak. Nanti saya langsung cek,” sahutnya tanpa ekspresi.
“Kalau butuh ke dokter, bilang sama Angga. Biar dia buatkan janji dengan dokter kandungan terbaik,” kata Ben sambil melepas kaosnya, melemparkannya ke keranjang baju kotor dan masuk kamar mandi.
Angga adalah nama asisten pribadi Ben. Pria berumur tiga puluh tahun yang hampir selalu menemani Ben ke mana pun ia pergi, mengurus hampir semua keperluan Ben. Sampai-sampai Kaia tidak perlu melakukan tugasnya sebagai istri selain soal urusan ranjang.
“Iya, Pak,” sahutnya pendek. Ben sudah menghilang di balik pintu kamar mandi.
Ponsel Kaia berdering panjang saat ia hendak turun dari kasur. Itu telepon dari Suhendar.
Kaia mengabaikannya. Ia sedang tidak ingin mendengar masalah baru apa lagi yang sudah dilakukan sang ayah.
Namun sampai setelah Kaia memakai baju, Suhendar tetap tidak putus asa meneleponnya.
Sambil menghempaskan tubuhnya kembali ke kasur, Ia mengangkat telepon. “Ada apa, Pak?”
“Aku butuh uang,” kata Suhendar tanpa basa-basi.
Kaia memijit pangkal hidungnya. Ia selalu pening setiap kali ayahnya menelepon atau mereka bertemu di rumah. “Uang yang Kaia kasih waktu itu udah habis?”
“Kamu cuma memberiku sepuluh juta. Ya jelas kurang!”
Darah Kaia mulai mendidih. “Pak, itu uang paling banyak yang pernah Kaia kasih ke Bapak. Sebelum-sebelumnya Bapak bisa tuh bertahan waktu Kaia cuma bisa ngasih dua juta. Kenapa sekarang uang sepuluh juta udah habis aja?”
“Sekarang kamu berani membantah bapakmu hanya karena kamu jadi istri orang kaya? Heh, ingat, ya! Kalau bukan karena aku, kamu sudah mati sekarang!” hardik Suhendar galak.
“Selalu itu yang Bapak angkat kalau Kaia nggak bisa ngasih uang.” Emosi Kaia tersulut. “Harusnya dulu Bapak biarin aja Kaia mati!”
“Dasar anak nggak bersyukur! Kamu tuh harusnya berterima kasih karena aku sudah membesarkanmu, bukannya marah-marah begini hanya karena aku minta uang sedikit. Kamu tidak tahu berapa banyak uang yang aku habiskan untuk membesarkanmu, kan?! Semua uang yang kamu berikan selama ini itu sama sekali belum cukup buat melunasi semua harta yang aku habiskan untuk membesarkanmu, Kaia!” Suhendar terdengar meradang.
Kaia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan air mata yang siap melompat jatuh. Padahal dulu ia jatuh-bangun menyelesaikan kuliahnya karena harus bekerja sambilan. “Kaia nggak pernah minta dilahirkan, Pak. Kaia nggak pernah minta dibesarkan. Bapak yang minta sama Tuhan supaya punya anak, Bapak yang memilih membesarkan Kaia.” Ia bicara dengan bibir bergetar dan d**a bergemuruh. Rasa sakit karena kalimat Suhendar jauh lebih pedih daripada luka paling parah yang pernah Kaia dapat di tubuhnya.
“Kalau bukan karena ibumu memintaku membesarkanmu, aku tidak akan pernah melakukannya!” balas Suhendar tajam.
Air mata Kaia jatuh setetes. Bahkan jika dirinya meninggalkan dunia ini, mungkin takkan ada orang yang menangis, begitu pikir Kaia.
“Sekarang berikan uangku. Aku butuh sepuluh juta lagi. Jangan bilang kamu tidak punya, minta ke suamimu. Buat apa punya suami kaya? Uang sepuluh juta itu pasti sedikit buat dia.”
Kaia masih diam, berusaha sekuat tenaga mengatur emosinya.
“Heh! Kamu dengar tidak sih?!”
Rupanya, meski Kaia telah lepas dari kemiskinan yang mencekiknya, ia masih tak bisa lepas dari ayahnya yang menjadikannya sebagai mesin ATM berjalan.
“Kaia! Kamu dengar atau tidak, hah?!” Suara Suhendar menggelegar, ia jelas sudah kehabisan kesabaran.
Kaia mengusap wajahnya kasar. “Ya, habis ini Kaia kirim,” pungkasnya dingin sambil memutus sambungan telepon.
Dengan tangan gemetar, Kaia membuka aplikasi m-banking dan mengirimkan sejumlah uang yang ayahnya minta padanya.
Ia melempar ponselnya ke kasur setelahnya, menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Gimana caranya lepas dari Bapak?” lirihnya sambil tergugu.