Episode 5

2008 Kata
Entah berapa lama Aldrian bersandar di dinding dekat pintu apartemen miliknya, kedua matanya seolah-olah tidak merasa lelah untuk tetap terus terjaga, menatap pintu, berharap sosok wanita berparas cantik segera membukanya. Aldrian menggelengkan kepalanya frustrasi, ini sungguh gila, dia seperti orang bego saja, menunggu gadis itu pulang. Ayolah Ariani hanya seorang pembantu, terutama ia sudah bekerja selama dua bulan ini, setidaknya dia sudah hafal jalan dan dia hanya membeli bahan makanan di supermarket terdekat, kenapa dia harus secemas ini. Tetapi tetap saja gumaman dalam hati itu seolah tak berpengaruh, dengan tubuh tingginya yang mulai bergerak membuka pintu menuju parkiran. beruntunglah saat ini Alvian sedang menginap di rumah neneknya hingga ia bisa leluasa mengejar Ariani. Sekali lagi embusan napas Aldrian terdengar di dalam mobil. Sebenarnya Aldrian sudah tiba sedari tadi. Hanya saja ia terlalu gugup dan ragu untuk masuk menyusul Ariani, hingga ia hanya bisa memperhatikan Ariani yang sedang memilih bahan makanan dari kejauhan. Saat mata birunya melihat tubuh mungil Ariani keluar dari supermarket, Aldrian langsung keluar dari mobil dan menghentikan Ariani yang akan menaiki angkutan umum. "Eh, T-tuan kok ada di sini?" kaget Ariani saat tangan dingin Aldrian tiba-tiba menyentuh lengannya. Aldrian sedikit gugup untuk menjawab, ia tidak ingin Ariani tahu bahwa ia sedari tadi mengikutinya. Tetapi Aldrian sama sekali tidak punya bahan pembicaraan untuk berbohong. "Ayo pulang." Dan akhirnya hanya dua kata itu yang keluar dari mulut Aldrian. *** Di dalam mobil. Tidak ada suara sedikit pun yang terdengar, karena suasana yang terlalu canggung, hingga tidak dirasa keduanya bahwa sadari tadi mereka sudah sampai. Menyadari itu Aldrian yang pertama kali tersadar langsung keluar dari mobil meninggalkan Ariani yang menatapnya kebingungan, hingga lama terdiam Ariani pun segera menyusul Aldrian. Namun Ariani sedikit kesusahan berjalan, karena kantong besar yang berada di kedua tangannya sedikit menghambat pergerakan tubuhnya. Hingga Aldrian yang merasa Ariani masih tertinggal jauh di belakangnya berinisiatif sendiri untuk kembali menyusulnya lalu membawa kantong belanjaan itu di tangannya, setidaknya ia tidak kesusahan seperti Ariani karena tubuh tinggi tegapnya. "T-tuan tidak usah, biar saya saja," ujar Ariani. Mencoba kembali merebut kantong belanjaan itu dari tangan Aldrian. "Aku tau kau kesusahan membawanya." Aldrian hanya menjawab dengan nada dingin. Membuat Ariani langsung menghentikan pergerakannya canggung. "Ta-tapi Tuan ...," "Lebih baik kau bukakan pintu untukku, bukan berdiam diri seperti itu." Mendengar nada memerintah itu Ariani segera membukakan pintu, lalu menutupnya lagi saat tubuh Aldrian melewatinya memasuki dapur. "Besok kita ke rumah orang tuaku, sekalian jemput Alvian. Segeralah tidur ini sudah larut malam," ujar Aldrian sambil berlalu melewati Ariani. Ariani menatap lurus tubuh tegap Aldrian. Selama dua bulan ini ia bekerja di rumah Aldrian, sifat Aldrian sama sekali tidak berubah, masih sama seperti saat pertama kali ia bertemu, dingin dan acuh. Kadang sesekali ada sedikit perhatian walaupun di sertai dengan nada acuh tapi setidaknya Ariani sedikit senang dengan sifat Aldrian yang satu itu. *** Memang benar kata Shinta dulu, bahwa tidak ada yang tampan selain orang-orang yang tinggal di kota. Ariani membenarkan saat mata beningnya melirik Aldrian yang sedang fokus menyetir dengan tampannya. Padahal Tuannya hanya memakai pakaian kasual, tetapi ketampanannya itu tak luntur sama sekali, dia bahkan selalu tampan hingga Ariani tidak bosan untuk mencuri pandang ke arah Tuannya setiap hari. Terutama mata birunya yang membuat Ariani semakin terpesona. Ariani tahu ini salah, bahkan sebelum bertemu dengan Aldrian ia sudah diperingati oleh Nyonya Guvano terlebih dahulu untuk tidak terpesona apa lagi jatuh cinta kepadanya. Ya, walaupun Ariani tidak tahu apakah perasaan yang ia rasakan ini cinta atau hanya kekaguman saja. Tetapi semakin hari rasa itu semakin mengganggunya hingga ucapan Nyonya Govano pun tergantikan dengan nada acuh Aldrian dan tawa lucu Alvian. "Aku tau aku tampan." Suara itu membuat Ariani tersentak dari keterpesonaannya. Berani sekali ia melamun sambil menatap Aldrian terang-terangan bahkan laki-laki itu ada di sampingnya sekarang. Dengan gugup Ariani langsung mengalihkan pandangannya ke depan menatap jalanan yang lumayan macet. Aldrian hanya tersenyum simpul melihat tingkah gugup Ariani. Ia sangat menyukai itu. Ya, ia mencintai Ariani, Aldrian menyadari itu. Memang ia selalu bersikap acuh dan dingin kepada Ariani hanya untuk menutupi perasaannya, bahkan ia berusaha menolak perasaan itu untuk Luna tetapi semakin hari perasaan itu tidak mampu Aldrian tutupi hingga ia menyerah dan mengakui bahwa dia mencintai Ariani. "Apa kau menyukaiku?" Dan nyatanya cinta itu membuat Aldrian sedikit tidak waras hingga pertanyaan itu keluar dari mulutnya begitu saja. Membuat gadis cantik di sampingnya menoleh dan menatapnya tak percaya. "T-tidak Tuan," ucap Ariani gugup saat mata Aldrian masih menatapnya tidak terbaca. Mendengar jawaban itu Aldrian langsung menghentikan laju mobilnya memarkirkannya di trotoar jalan yang sepi membuat Ariani langsung memekik kaget. "T-tuan apa yang Anda lakukan?" sentak Ariani saat Aldrian semakin mendekatkan tubuhnya hingga wajah mereka sejajar. "Kau cantik." Mata Ariani terbelalak, ia bingung kenapa dengan Tuannya, apa ia sedang mabuk? Atau sudah tak waras? Ariani masih sibuk dengan keterkejutannya hingga ia tidak sadar bahwa sudah ada benda kenyal yang menempel di bibirnya. Hingga saat Aldrian melumat dan menggigit bibir bawahnya Ariani baru tersadar dan mencoba mendorong tubuh Aldrian dengan kedua tangan mungilnya. Saat tangan itu terus memukuli dadanya, Aldrian tidak tinggal diam, ia semakin memperdalam ciumannya dan mencekal kedua tangan Ariani, lalu mengangkat tubuh mungil Ariani hingga terduduk di pangkuannya. Seakan kerasukan Aldrian tidak mengidahkan sama sekali teriakan Ariani yang terendam ciuman panasnya, bahkan tangan mungil itu sedikit kemerahan karena Aldrian mencekalnya terlalu erat, hingga saat Aldrian merasakan rasa asin di dalam mulutnya, ia baru tersadar dan langsung melepaskan ciumannya. Aldrian tersentak apa yang telah ia lakukan. Ia seperti pria b***t yang hampir memperkosa gadis kecil seperti Ariani. Melihat penampilan gadis itu yang berantakan, rambut kusut, lelehan bening di kedua pipinya, hingga bibir bengkak yang sedikit mengeluarkan darah. Gadis itu menangis. Oh, s**t! Kau berengsek Aldrian. "Maafkan aku." Hanya kata itu yang mampu terucap di bibir Aldrian, tangannya memeluk tubuh bergetar Ariani yang masih duduk di pangkuannya. Ariani masih menangis ia tidak menyangka Aldrian yang berstatus sebagai Tuannya berbuat seperti itu kepadanya. Menyadari tubuhnya masih ada di pangkuan Aldrian, perlahan Ariani mulai bangkit dan kembali duduk di kursi samping Aldrian, tubuhnya masih bergetar ketakutan dan suara isakan tangis itu masih terdengar dari mulut Ariani, membuat Aldrian semakin merasa bersalah dibuatnya. "Maafkan aku. A-aku tidak bermaksud berbuat seperti itu, aku pun tidak menyangka bisa berbuat sejauh itu. Aku mohon maafkan aku." Ariani mengangguk ringan sebagai jawaban, dengan wajah menunduk menatap kedua tangannya yang saling tertaut. Ia tidak mungkin bisa melawan ia hanya gadis miskin dari desa, kalaupun ia melaporkan perbuatan Aldrian ke Tuan dan Nyonya Guvano, tetap saja pasti dia yang akan disalahkan. Yang terbaik lupakan kejadian itu. "Apa kau mau kita kembali lagi ke apartemen atau melanjutkan menjemput Alvian?" tanya Aldrian. Karena tidak memungkinkan dengan keadaan Ariani seperti ini datang ke rumah keluarganya dan itu pun karenanya. "T-tidak Tuan kita lanjutkan saja pasti Alvian sudah menunggu." "Tapi ...," Aldrian melirik Ariani dengan tatapan bersalah. "Saya tidak apa-apa. Anggap saja tadi itu tidak terjadi apa-apa Tuan," ucap Ariani pelan. Aldrian tidak berani mengeluarkan suaranya lagi, dia tahu Ariani pasti kecewa kepadanya. Maaf. *** Suasana rumah megah itu sedikit bising karena penghuni yang sedang tertawa melihat kelakuan anak kecil seperti Alvian tetapi tidak dengan pria tampan yang sedang duduk di kursi, pria itu hanya berdiam diri menatap Alvian. "Al menginap ya di sini, ada tamu sepesial loh nanti malam," saut Nyonya Guvano. Membuat Aldrian melirik acuh. "Tidak bisa Ma, besok aku kerja," ucap Aldrian malas. "Iss kau ini, pokoknya tidak ada penolakan besok bisa berangkat dari sini juga kan." "Terserah," ucap Aldrian tidak peduli. Bukannya ia membenci ibu kandungnya sendiri hanya saja Aldrian sangat tidak suka dengan sifat Ibunya yang selalu rutin menjodohkannya dengan wanita yang gila harta. "Ayah apa Tante cantik juga ikut menginap?" tanya Alvian tiba-tiba saat tidak sengaja ia mendengarkan pembicaraan ibu dan anak itu. "Tentu saja sayang," jawab Aldrian sambil tangannya mengusap kepala Alvian sayang. "Asciikkk." Teriak Alvian riang. Membuat Nyonya Guvano yang ada di samping Aldrian mengernyitkan dahi bingung. "Kenapa kau diam saja saat Vian memanggil pembantu itu Tante cantik?" Nyonya Guvano bertanya dengan nada sinis, ia takut anak semata wayangnya akan jatuh cinta kepada wanita kalangan rendah seperti Ariani. Oh, tentu saja itu tidak bisa dibiarkan. Aldrian melirik jam tangan yang menunjuk angka 17:15 lalu menatap Nyonya Guvano. "Biarkan saja, yang penting Alvian senang." Jawaban itu malah membuat Nyonya Guvano semakin marah. "Apa kau menyukai gadis miskin sepertinya, oh, ayolah putraku, masih banyak wanita yang cantik dan sederajat, kenapa malah si gadis pembantu itu." "Jangan berbicara hal konyol," ucap Aldrian dingin. Lalu tangannya memangku Alvian dalam gendongan, berjalan menuju dapur dan berhenti tepat di belakang Ariani dan terlihat pula Shinta di samping gadis itu yang sedang berbicara panjang lebar sedangkan Ariani hanya mengangguk ringan sebagai respons sesekali bibirnya akan tersenyum kecil saat Shinta menirukan hal-hal konyol. "Ehm." Deheman itu membuat keduanya tersentak dan melirik Aldrian. "Eh, Tuan, kenapa ke dapur? Apa Tuan udah lapar banget ya?" tanya Shinta dengan nada humor garing seperti biasa. Aldrian tidak memedulikan Shinta, ia hanya menatap Ariani yang menunduk dalam sedari tadi. "Kita menginap, dan kau boleh tidur dengan Shinta malam ini, dan kau harus bangun pagi sekali karena besok aku harus bekerja." Aldrian mengucapkan itu dengan tatapan masih terfokus dengan wajah Ariani yang masih menunduk. Membuat Shinta sedikit curiga dengan tingkah dua manusia berbeda jenis itu. "Iya Tuan." "Ayah, apa aku boleh tidul sama Tante cantik?" Aldrian menggeleng. "Tidak jagoan, kamu tidur dengan Ayah malam ini." Mendengar itu Alvian langsung menunjukkan wajah cemberutnya hendak menangis. Melihat itu Ariani langsung menenangkan Alvian. "Nanti deh kapan-kapan Tante tidur sama Vian, jadi jangan nangis, anak laki-laki itu tidak cengeng," ujar Ariani dengan senyum cantiknya membuat Alvian langsung menghentikan isakannya lalu tangan mungil Alvian bergerak menarik leher Ariani dan memeluknya hingga tubuh gadis itu tertarik dan menempel di tubuh Aldrian hingga membuat keduanya termangu dan menatap mata masing-masing. "Ehm!" Suara Shinta mengagetkan keduanya. Ariani langsung melepaskan pelukan Alvian lalu berjalan mundur dengan wajah menunduk. Bahkan detak jantung keduanya terdengar jelas di telinga Shinta hingga membuat rasa penasaran Shinta semakin membuncah. Saat Shinta akan berbicara, Aldrian tanpa sopan santun langsung meninggalkan kedua gadis itu, hingga gerutuan kesal Shinta terdengar. "Ih dasar Tuan sok tampan, eh memang beneran tampan sih. Tapi tetap saja tidak sopan banget orang baru mau bicara udah cabut duluan." Shinta melirik Ariani yang kembali memasak lalu pertanyaan itu muncul di benak Shinta. Ada apa dengan Tuan Aldrian dan Ariani? "Eh Anni, kamu sama Tuan kok kaya canggung gitu. Kenapa?" "T-tidak kenapa-napa kok." Ariani mengaduk kuah sup itu dengan gerakan canggung karena tatapan penasaran yang diberikan Shinta kepadanya. "Kalian kugaji untuk bekerja bukan untuk bergosip." Ucapan sinis itu membuat keduanya terkaget melirik seorang yang mirip nenek sihir sudah berdiri di belakang mereka. "Maafkan kami Nyonya," ucap kedua gadis itu berbarengan. Nyonya Guvano hanya melirik Shinta sekilas lalu tatapan itu beralih menatap Ariani. "Hei pembantu, dulu saya bilang, jangan terpesona apalagi jatuh cinta kepada putraku. Apa kau tidak mendengarnya hah!" sentak Nyonya Guvano keras ia sangat marah apalagi ia melihat dengan mata kepala sendiri saat melihat putranya dan pembantu itu bertatapan. Ariani menggeleng pelan. "T-tidak Nyonya saya tidak mungkin mempunyai perasaan terhadap Tuan." "Bohong! Kau membuat putraku jatuh cinta pada wanita miskin sepertimu, apa yang kau lakukan dalam dua bulan ini hah! Apa kau merayu putraku? Apa kau menggoda putraku untuk meniduri jalang sepertimu?" Nyonya Guvano menatap tajam Ariani, sedangkan Shinta tidak mampu untuk membela Ariani karena terlihat begitu marahnya Nyonya Guvano. Ariani menggeleng dengan lelehan air mata yang mengalir, kata-kata itu menyakitkan dan Ariani tidak mampu untuk menahan tumpahan air bening yang ada di kedua kelopak cantiknya. "Tidak Nyonya saya tidak seperti itu." "Cih dasar jalang! Kalau benar memang Aldrian mencintai gadis rendah sepertimu, aku tidak akan diam, lihat saja aku akan berbuat seperti apa terhadap gadis jalang sepertimu ingat itu," ancam Nyonya Guvano sambil berlalu. Ariani semakin menangis hingga Shinta yang melihat kejadian itu menjadi tidak tega, Shinta peluk tubuh Ariani dan menenangkannya. "Aku tau Anni kamu pasti ingin cerita banyak kepadaku, dan aku siap menjadi pendengar setiamu malam ini." Mendengar itu Ariani semakin menangis di pelukan Shinta. Ia tidak tahu harus berbuat apa, ia tidak bisa menyangkal bahwa ia menyukai Aldrian. Tapi Nyonya Guvano?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN