Bab 3. Perlawanan Celina

1035 Kata
Pagi menjelang dengan sinar matahari yang menyusup di sela-sela tirai kamar tamu yang besar dan mewah. Celina mengerjap-ngerjapkan mata, kepalanya terasa berat, dan tubuhnya lemas. Ia mencoba bangkit, namun rasa sakit di bagian tubuhnya membuatnya meringis. Ketika pandangannya mulai jelas, ia melihat ruangan asing dengan dekorasi megah. Kamar ini jelas bukan rumahnya. Hatinya mencelos. Ia teringat semua kejadian semalam. Pernikahan mendadak, paksaan, dan wajah dingin pria bernama Darren. Ia menunduk memandang dirinya. Gaun putih yang semalam ia kenakan sudah tidak utuh. Dan sudah tentunya gaun itu bukan miliknya. Tubuhnya terasa asing, seperti ada sesuatu yang telah hilang. Ia mendadak sadar—keperawanannya telah direnggut. Ada bercak darah yang ia lihat di sprei berwarna putih. "Tidaaak!!!" jerit Celina sambil memeluk tubuhnya yang gemetar. Air mata mengalir deras. Hatinya hancur. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah menjadi mimpi buruk seperti ini. Tubuhnya bergetar, campuran antara marah, kecewa, dan hina. Jeritan itu menggema, memecah keheningan mansion. Tak lama, pintu kamar terbuka dengan suara langkah berat. Darren masuk dengan wajah tanpa ekspresi. "Kenapa berteriak?" tanya Darren dingin sambil menatap Celina yang kini membelalak marah ke arahnya. "Apa yang Tuan lakukan pada saya semalam?! Apa yang Tuan lakukan?!" teriak Celina, suaranya pecah. Ia meraih bantal dan melemparkannya ke arah Darren, meskipun pria itu bergeming. Mata Celina merah, amarahnya membara. Darren menghela napas panjang, seolah tak peduli dengan ledakan emosi Celina. Ia mendekati jendela, membuka tirai, membiarkan sinar matahari masuk ke dalam ruangan. "Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang suami pada istrinya," jawab Darren dengan nada datar, sambil menatap keluar. "Suami? Tuan pikir dengan membeli tubuh saya dan menikahi saya secara paksa Tuan punya hak atas diri saya ?!" Celina bersusah payah berdiri dengan tubuh gemetar, menahan rasa sakit di pangkal paha sekaligus melawan rasa takut. "Anda b******n tak bermoral! Saya manusia, bukan barang dagangan!" pekik Celina. Darren berbalik, menatap Celina dengan tatapan tajam. "Jaga ucapanmu. Saya tidak punya pilihan. Kamu juga tidak punya pilihan. Saya membayar mahal untukmu. Kamu pikir saya menikahimu karena saya mau?” "Saya tidak peduli dengan alasan apa pun, Tuan! Tuan menghancurkan hidup saya! Tuan merenggut sesuatu yang berharga dari tubuh saya, tanpa izin Saya ! Anda kejam!" Celina menghentak maju, menatap Darren dengan penuh kebencian. Pria itu mendekati Celina, wajahnya sedingin es. Tatapannya menusuk, membuat Celina sedikit mundur. "Dengar, Celina. Kamu bisa menangis, marah, atau membenci siapa pun. Tapi mulai sekarang, kamu adalah milik saya. Ingat itu!" "Saya bukan milikmu! Tidak akan pernah!" Celina menolak keras. Ia memukul d**a Darren dengan sekuat tenaga, tapi pria itu hanya berdiri diam, seolah pukulan itu tak berarti apa-apa. Darren menangkap kedua pergelangan tangan Celina dengan mudah. Tenaganya yang lebih besar membuat Celina tidak berdaya. "Jangan mencoba melawan. Kamu tidak akan menang." Suaranya rendah, tapi penuh ancaman. "Lepaskan Saya! Saya akan pergi dari sini! Saya akan melaporkanmu pada polisi!" teriak Celina sambil berusaha melepaskan diri. Ia meronta, tetapi genggaman Darren terlalu kuat. "Melapor? Dengan bukti apa? Saya suamimu secara negara. Semua orang akan percaya pada saya, bukan padamu. Kamu hanya gadis miskin yang ayahnya menjualmu untuk melunasi hutang. Siapa yang akan peduli pada ceritamu?" Darren mendekatkan wajahnya ke wajah Celina, membuat wanita itu semakin marah sekaligus takut. "Anda menjijikkan!" Celina meludah ke arah Darren, membuat pria itu tersentak. Ia melepas genggaman tangannya dengan kasar, lalu mengusap wajahnya dengan geram. Wajah Darren mengeras. Ia memandang Celina dengan tatapan penuh amarah. "Kamu benar-benar tidak tahu tempatmu," gumamnya dingin. Celina menantang balik dengan tatapan penuh kebencian. "Saya lebih baik mati daripada hidup bersama pria seperti dirimu, Tuan Darren!" Darren tertawa kecil, namun tawa itu penuh ejekan. "Kematian terlalu mudah untukmu, Celina. Kamu akan belajar bahwa melawan saya hanya akan membuat hidupmu semakin sulit." Ia berbalik, berjalan menuju pintu. "Kepala pelayan akan memberimu jadwal dan tugas di mansion ini. Kamu akan tinggal di sini, suka atau tidak." "Saya tidak akan mengikuti aturanmu! Tuan tidak bisa mengendalikan hidupku!" Celina berteriak dari belakang, suaranya pecah oleh tangis. Darren menoleh sejenak, lalu memberikan senyum tipis penuh ironi. "Kamu akan berubah pikiran. Cepat atau lambat." Ia kemudian keluar dari kamar, meninggalkan Celina yang terjatuh di lantai, menangis sejadi-jadinya. "Mengapa hidupku begini! Ya Allah, apa salahku!!" jerit Celina dengan memukul dadanya berulang kali. *** Setelah Darren pergi, Celina memandang sekeliling kamar itu dengan rasa putus asa. Tidak ada cara untuk keluar. Jendela terlalu tinggi, dan pintu dikunci dari luar. Ia merasa seperti burung dalam sangkar emas. "Aku harus keluar dari sini. Aku tidak bisa tinggal di tempat ini," gumamnya sambil menghapus air matanya. Ia berdiri dan mulai mencari-cari sesuatu yang bisa membantunya kabur. Namun, tidak ada yang berguna. Hanya ada furnitur mewah yang terasa seperti ejekan bagi hidupnya yang sederhana. Sementara itu, di luar kamar, Darren berdiri di lorong bersama Aryan, asisten pribadinya. "Pastikan dia tidak mencoba kabur," perintah Darren dengan suara dingin. Aryan mengangguk. "Baik, Tuan. Namun, apakah Tuan yakin ini keputusan yang bijak? Pastinya wanita itu tampak sangat membenci Tuan." Darren memandang Aryan dengan tajam. "Saya tidak peduli apa yang dia rasakan. Yang penting saya memenuhi permintaan papa saya. Selebihnya, itu bukan urusan saya." Namun, jauh di dalam hati Darren, ia merasa ada sesuatu yang berubah. Sensasi yang ia rasakan semalam saat bersama Celina terus menghantuinya. Ia tidak pernah merasakan hal seperti itu sebelumnya—bahkan dengan Talita. Tapi ia menepis perasaan itu, menganggapnya sebagai hal yang tidak penting. Anggap saja semalam sebuah hadiah kenikmatan dari seorang yang ia beli untuk menjadi pemuas hasratnya. Kembali ke dalam kamar, Celina duduk di lantai, memeluk lututnya. Air mata terus mengalir. Ia memikirkan mamanya yang telah tiada, satu-satunya orang yang pernah melindunginya dari kejamnya dunia. "Mama, bantu aku. Berikan aku kekuatan," gumam Celina sambil menatap langit-langit. Dalam hatinya, ia bersumpah akan melawan Darren dan keluarganya. Ia tidak akan membiarkan dirinya menjadi boneka dalam permainan mereka. Celina berpikir harus menyusun rencana. Ia tahu ia tidak bisa melawan Darren secara langsung, tapi ia tidak akan menyerah. Tekadnya semakin kuat. Ia akan membuktikan bahwa ia bukan wanita lemah yang bisa diperlakukan seenaknya. Sementara itu, Darren kembali ke kamar utama. Talita yang semalaman gelisah dalam tidurnya karena membayangkan pergulatan suaminya dengan madunya, memeluk erat pria itu. "Untuk malam ini cukup Kak, aku tak sanggup kamu menyentuh wanita lain selain aku," ujar Talita begitu lirih, ujung matanya kembali menitikkan air mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN