Episode 2 : Pembatalan Pernikahan

1578 Kata
Dering ponsel tanda panggilan masuk mengusik Arina yang masih terlelap. Di tengah suasana kamar yang masih sangat gelap karena hanya mengandalkan penerangan dari lampu meja yang menghiasi sebelah nakas dan itu pun tidak begitu terang, Arina langsung berusaha menemukan ponselnya. Sebelah tangan Arina terus meraba ke sekitar di tengah kedua matanya yang masih terpejam. Rasa pening yang menggerogoti kepalanya membuat Arina semakin sulit mengakhiri keadaannya. Kedua mata Arina sangat sulit dibuka meski Arina sudah berusaha. Beruntung, Arina tipikal yang sangat sulit jauh dari ponsel hingga wanita itu juga cepat menemukan ponsel yang tentunya ada di dekatnya. Tanpa menatap layar ponsel guna memastikan siapa penelepon lebih dulu, Arina langsung menggeser ke atas layar ponselnya yang membuat telepon masuk di sana langsung terhubung. Dari seberang, deru napas terbilang terengah-engah langsung menyapa pendengaran Arina dengan sangat jelas. “Rin ...?” Kini, Arina mendengar suara pria terdengar berat dari seberang, dan Arina mengenalinya sebagai suara dari calon suaminya. “Iya,” ucap Arina berusaha sejelas mungkin sambil mati-matian membuka kedua matanya. Sebelah tangan Arina langsung memijat kening, guna menghalau pening yang masih saja menguasai kepalanya. “Kamu belum bangun?” “Iya. Tadi aku tidur sekitar pukul lima. Sengaja lembur soalnya kejar deadline, Mas.” Bahkan untuk kali ini, Arina masih saja terpejam. Sangat berat rasanya membuka mata bahkan meski hanya sebantar. “Rin, maaf, ya?” Arina sengaja berdeham demi menambah volume suaranya sebelum akhirnya membalas pernyataan calon suaminya. “Enggak apa-apa, Mas. Habis ini aku masih bisa tidur lagi, kok. Oh, iya … Mas sudah sarapan? Apa malah sudah berangkat kerja?” “Rin, aku sudah nikah ….” Arina refleks terdiam seiring jantungnya yang mendadak berhenti berdetak untuk beberapa saat. Pun dengan napasnya yang mengalami hal serupa. Sebab pengakuan tambahan yang baru wanita itu dengar dari seberang, juga sampai membuatnya lupa bernapas saking syoknya. Terlepas dari semuanya, kedua mata Arina juga terbuka dengan sendirinya, seolah-olah, ucapan sang calon suami beberapa saat lalu tak ubahnya mantra ajaib yang langsung mengubah segala sesuatunya dengan sangat mudah sekaligus cepat. Benar-benar hanya sekejap! Sebelum memastikan maksud dari pengakuan sang calon suami, Arina sengaja menatap layar ponselnya demi memastikan sambungan telepon, sebab dari seberang, suara calon suaminya tak lagi terdengar setelah pria itu sempat mengucapkan pengakuan yang langsung membuat Arina syok. Pun dengan deru napas terengah-engah dan awalnya menjadi suara pertama yang menyapa pendengaran Arina. Namun, ternyata sambungan telepon masih tersambung. “Mas, maksud Mas apa?” Arina langsung berusaha beranjak dan menarik tubuhnya untuk duduk. “Iya. Aku sudah nikah. M-maaf, Rin ….” Meski kali ini nada suara calon sang suami terdengar sarat penyesalan bahkan suara yang selalu bertutur lembut padanya itu juga sampai terdengar parau, tapi masalahnya, kenapa pria itu mengaku sudah menikah, sedangkan Arina yang harusnya menjadi mempelainya, masih meringkuk di atas kasur dengan selimut yang nyaris membungkus sekujur tubuh Arina? “Aku enggak sanggup buat jelasin semua ini ke kamu, Rin. Dan aku enggak sanggup kalau harus lihat apalagi bertemu kamu.” Kali ini, suara parau itu sampai terisak-isak dan terdengar sangat menyayat pilu. Sampai-sampai, Arina yang mendengarnya juga tak kuasa menahan air matanya untuk tidak mengalir. Jangan tanyakan bagaimana perasaan Arina saat ini. Sebab wanita itu hancur sehancur-hancurnya menjadi serpihan yang sangat lembut, hingga tersapu embusan angin lirih pun langsung tidak bisa bertahan. Bagaimana mungkin, calon suaminya sudah menikah dengan wanita lain, sedangkan satu bulan lagi, seharusnya pria itu menikahi Arina, terlebih persiapan pernikahan mereka juga nyaris rampung? “Kamu tahu aku, Rin.” “T-tapi Mas ...?” Tenggorokan Arina mendadak terasa sangat kering terlepas dari Arina yang merasakan sakit luar biasa di sana, seolah-olah, ada sosok tak kasat mata yang dengan kejam mencekiknya. “Aku enggak mungkin melukai mamah lebih dalam sedangkan semalam, mamah mendak kritis. Enggak ada pilihan lain selain menuruti kemauan mamah dengan menikahi ….” Sebelum suara dari seberang selesai menjelaskan, Arina yang menjadi sibuk menggeleng, menepis jauh-jauh ucapan tersebut. “Cukup, Mas! Bahkan siang ini kita mau nyoba pakaian pernikahan kita! Sedangkan setelahnya, kita juga mau ambil undangan pernikahan kita buat disebarin ke tamu undangan!” Arina terisak-isak dan tak kuasa melanjutkan ucapannya. Namun dalam hatinya, wanita berambut panjang dan masih sangat awut-awutan itu berseru, “sebulan lagi kita menikah, sedangkan keluarga besar kita juga sudah tahu. Persiapan pernikahan kita hanya tinggal menyebar undangan ke rekan dan kolega jauh, karena masalah gedung pernikahan saja sudah kita bayar!” “Rin, … aku yakin kamu bakalan dapat yang lebih baik dari aku!” Mendengar kata-kata penenang dari seberang, kedua tangan Arina mengepal kencang. Dari yang menahan ponsel, juga yang bebas dan langsung meremas asal seprei di sana. “Aku mau ketemu, Mas!” pekiknya terdengar tidak jelas. “Enggak, Rin. Bertemu denganku hanya akan membuatmu semakin terluka. Aku hanya akan menemui orang tuamu dan menyelesaikan semuanya, bersama mereka!” “Tapi Mas hanya boleh menemui orang tuaku, untuk melanjutkan pernikahan kita!” Arina meronta-ronta tanpa bisa menyembunyikan kehancurannya. Mendadak batal menikah setelah semua persiapan nyaris selesai karena calon suaminya justru sudah menikahi wanita lain, adakah yang lebih menyakitkan dari kenyataan itu? “Rin ….” “Tiga tahun, Mas! Tiga tahun aku bersama Mas dan sebisa mungkin aku berusaha merebut hati mamah Mas!” umpat Arina yang mendadak sibuk mengomel. “Iya, Rin … maka dari itu, demi kebahagiaanmu, aku juga enggak boleh egois. Aku enggak mungkin tetap membuatmu menderita, sedangkan kamu bisa mendapatkan kebahagiaan dari pria lain yang lebih baik dari aku! Please, Rin. Aku sayang kamu, dan aku mau kamu bahagia bahkan meski kebahagiaanmu bukan bersamaku!” “Sebenarnya yang mamah Mas butuhin itu pembantu atau malah babu, bukan mantu! Dan sebulan lagi, Mas! Sebulan lagi hari pernikahan kita! Mas mau bikin aku mati gara-gara bunuh diri, setelah mendadak membatalkan pernikahan kita?” “Rin, jangan bilang begitu. Aku beneran akan urus semuanya.” “Aku mau ketemu, Mas! Pokoknya aku mau ketemu Mas!” Keputusan Arina sungguh bulat. Bahkan meski keadaannya menjadi semakin tak karuan, melangkah saja terseok-seok dan kadang harus berpegangan asal pada sekitar. “Buat apa, Rin? Yang ada nanti kita bisa semakin saling melukai!” “Pokoknya aku mau ketemu Mas. Kalau Mas tetap enggak mau, biar aku yang datang ke rumah Mas. Aku bakalan lakuin apa pun bahkan hal gila yang tidak pernah Mas pikirkan!” “Dan sekarang kita ketemu! Di kafe biasa!” tegas Arina yang sudah berdiri di depan cermin wastafel kamar mandinya. “Sudahlah, Rin! Jangan ganggu suamiku. Kami sudah menikah. Kurang jelas apa suamiku menjelaskannya?” Suara wanita dari seberang langsung membuat Arina kebas. “Apa-apaan kamu? Kembalikan ponselku!” “Kenapa sih, Mas? Aku hanya berusaha jujur, karena semalam saja, kita sudah langsung melangsungkan malam pertama kita, bahkan sekarang saja kita masih tidur di bawah selimut yang sama!” Meski dari seberang terdengar sedang bertengkar, tapi pengakuan barusan sukses membuat Arina tersulut emosi. Arina langsung melempar ponselnya asal ke tembok di sebelahnya hingga gawai berwarna biru tersebut pecah dan terkapar di lantai. Arina menangis meronta-ronta seiring tubuhnya yang terdusuk di lantai kamar mandi. “Kenapa kalian begitu jahat? Kenapa kalian begitu menjijikan! Ya Alloh, ini enggak adil! Aku enggak bisa diginiin!” teriak Arina di sela tangisnya. Sungguh, Arina yang telanjur hancur sekaligus sakit hati, tak mau terpuruk begitu saja. Arina sungguh ingin mendatangi kedua sejoli tadi apa pun konsekwensinya! Itu juga yang membuat Arina mencoba bangkit dan bergegas merapikan asal penampilannya. Arina langsung mencuci wajahnya menggunakan sabun pencuci muka khusus sebelum akhirnya buru-buru menggosok giginya. Ia melakukannya dengan emosi yang menggebu, sampai-sampai, selain sikat giginya yang sampai patah, gusinya juga menjadi berdarah. Namun, Arina yang tak kuasa mengakhiri tangis berikut kesedihannya juga tetap menyelesaikan menggosok giginya menggunakan sikat yang sama, sebab di sana hanya ada satu sikat gigi. Tak lama kemudian, setelah sampai berganti pakaian dan mengikat asal rambut panjang sepinggangnya, Arina yang sampai mengenakan sweter berwarna biru tua demi mengurangi rasa dingin suasana pagi yang masih menyelimuti, bergegas keluar dari rumahnya. Yang membuat keadaan Arina tidak baik-baik saja, tak lain karena di depan pintu rumahnya sudah ada sosok tegap yang mengenakan mantel hangat berwarna hitam. Dan seperti biasa, pria itu kembali menghalang-halangi langkah Arina. Arina melangkah ke kanan, pria itu ikut ke kanan, begitu pun seterusnya. “Kamu kenapa? Ada masalah? Kenapa kamu sampai nangis? Nomor ponselmu juga susah dihubungi?” ucap pria itu sarat kekhawatiran dan sampai menahan sebelah lengan Arina. “Bukan urusanmu!” tegas Arina sambil menatap tajam kedua manik hitam di hadapannya. Arina juga mencoba mengenyahkan tahanan pria tersebut, tapi pria yang sampai disertai dua orang pengawal di setiap keberadaannya, justru semakin erat dalam menahannya. “Bisa enggak, jangan mengganggu kehidupanku lagi?” tegas Arina yang masih menatap sengit si pria kendati sesekali, butiran bening masih kerap berlinang dari kedua ujung matanya. Sialnya, pria tersebut justru menggeleng enteng sambil berkata, “enggak!” Arina sadar, berurusan dengan pria di hadapannya hanya sia-sia. Dan memang tidak ada cara lain selain melakukan tindakan nekat. Terpaksa, Arina menggigit tangan si pria yang masih menahan lengannya. “Kamu yang memaksa!” pekik Arina yang langsung kabur meninggalkan si pria. Arina sempat mendapati pria itu kesakitan karena ulahnya dan langsung dihampiri oleh dua ajudan pria yang berjaga. “Arina Isyana Subekti, jangan pergi! Kalau kamu pergi, aku akan menikahimu bagaimanapun caranya!” seru si pria sambil menyeringai kesakitan dan kemudian meminta kedua pengawalnya untuk mengawal Arina. “Kawal dia, jangan sampai dia kenapa-kenapa!” “Siap, Bos!” jawab kedua ajudannya kompak sambil mengangguk sopan sebelum berlalu berlari kencang menyusul Arina mendahului bos mereka. Sial, belum juga tersusul, target mereka justru sudah terserempet sepeda motor yang kebetulan melaju kencang. Tubuh Arina terjatuh dan menggelundung ke jalanan sekitar. “Arina!” pekik si pria pemilik kedua pengawal yang langsung meninggalkan pelataran sederhana dan sekitarnya dihiasi banyak bunga dalam pot.   [“Rin, aku sudah nikah ….”] [“Bertemu denganku hanya akan membuatmu semakin terluka. Aku hanya akan menemui orang tuamu dan menyelesaikan semuanya, bersama mereka!”] [“Aku enggak mungkin tetap membuatmu menderita, sedangkan kamu bisa mendapatkan kebahagiaan dari pria lain yang lebih baik dari aku! Please, Rin. Aku sayang kamu, dan aku mau kamu bahagia bahkan meski kebahagiaanmu bukan bersamaku!”]   Jauh dalam benak Arina, semua ucapan itu mendadak mengoyak-ngoyak kehidupannya. Sakit, benar-benar sakit. Bahkan saking sakitnya, Arina sampai mati rasa. Arina sungguh hanya bisa menangisi kenyataannya bahkan meski ia tak lagi bisa membuka ke dua matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN