Saat mengikuti jam kampus selanjutnya, Aurora sangat senang. Kini perasaan gundahnya terobati saat Christian bilang akan memaafkannya. Aurora pikir Christian tidak seburuk itu. Setidaknya dia masih punya hati. Mungkin Christian tahu jika Aurora tertekan dengan apa yang terjadi.
Setelah membantu Christian memasak pasta, Aurora akan bebas. Ia tidak akan dihantui dengan rasa ketakutan lagi. Hal itu membuat hati Aurora tenang.
Selesai jam kampus, seperti biasa Aurora membereskan buku-bukunya ke dalam tas. Telepon gadis itu berbunyi tanda ada pesan masuk. Saat melihatnya, ternyata dari Christian.
Christian : Kau sudah selesai kelas?
Aurora : Baru saja selesai.
Christian : Kau tidak lupa, kan?
Aurora : Iya, aku akan ke tempat parkir sekarang
Christian : Aku tunggu
Aurora memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Saat ia baru keluar dari kelas, seseorang menabrak bahunya dengan sangat keras sampai membuat Aurora terjerembab dan jatuh.
Aurora berdiri seraya meringis. Saat melihat siapa yang ada di depannya, dia adalah seorang perempuan cantik yang jauh lebih tinggi dari Aurora. Perempuan itu melipat tangannya di d**a seraya menelisik Aurora dari bawah sampai atas.
“Maaf, aku tidak sengaja menabrakmu,” ujar Aurora. Ia memilih untuk tidak cari gara-gara meski Aurora tahu jika perempuan asing di depannya ini yang menabraknya dulu.
“Jadi dirimu?” tanya perempuan.
“Iya?” Aurora semakin bingung. Ia tidak mungkin membuat kesalahan yang tidak ia sadari bukan? Aurora pikir ia tidak membuat masalah apa-apa selama di kampus, dan ia harap ia tidak melakukannya karena masalahnya dengan Christian saja belum selesai.
“Kau hanya gadis Asia bodoh. Bagaimana Christian bisa tertarik padamu?” tanya perempuan itu.
Apa Aurora kini mendapat hinaan sekaligus rasis sekaligus? Apa maksudnya ini? Aurora berpikir keras sampai tidak sempat menjawab.
Hingga suara seseorang dari belakang tubuhnya membuat perempuan itu gelagapan.
“Kau akan mendapat masalah jika mengusiknya, Shannon,” ujar seorang laki-laki yang ternyata adalah Samuel. Teman Christian yang paling pendiam yang muncul entah sejak kapan.
Shannon? tanya Aurora pada dirinya dalam hati. Ia merasa tidak asing dengan nama itu. Dan baru Aurora sadari kalau dia adalah perempuan yang disebutkan Barney. Dengan kata lain dia mantan Christian yang hanya tiga bulan itu.
Sekarang Aurora tahu titik masalahnya. Pasti perempuan bernama Shannon ini salah paham akan Aurora. Dilihat dari gelagatnya, Shannon terlihat belum move on mungkin?
“Sepertinya kau salah paham. Aku dan Christian tidak ada apa-apa, kok.” Berusaha Aurora menjelaskan.
Melihat itu membuat Shannon semakin kesal, namun perempuan cantik itu tidak mengatakan apa-apa selain diam karena tidak berani mengingat di sana masih ada Samuel yang memantau sikapnya.
Tanpa bersuara, Shannon pergi seraya menghentakkan kakinya kesal. Ia seperti tidak terima karena Christian tertarik pada perempuan lain. Terlebih kepada perempuan yang menurut Shannon jauh di bawahnya.
Mata Aurora memandang punggung Shannon yang menjauh dari posisinya. “Sepertinya aku harus menjelaskannya kepada perempuan itu. Dia terlihat salah paham dengan apa yang terjadi,” ucap Aurora.
“Tidak perlu,” balas Samuel singkat.
“Kenapa?”
“Christian dan Shannon sudah berakhir sejak lama. Mereka juga tidak pacaran. Tidak ada yang perlu kau jelaskan padanya. Dia hanya cemburu tidak berdasar.”
Aurora masih terdiam di tempatnya. “Kau harus bergegas, Christian menunggumu,” ujar Samuel mengingatkan.
Aurora pun menepuk jidatnya, “Ah iya! Aku hampir lupa. Kalau begitu aku pergi dulu, Samuel.”
***
Di tempat parkir, Aurora mencari mobil Christian. Saat ketemu, Ia pun mengetuk kaca pelan setelah itu masuk ke dalam mobilnya.
“Kenapa lama sekali?” tanya Christian.
“Maaf, tadi aku tidak sengaja menabrak seseorang,” balas Aurora.
“Pakai sabuk mengamanmu!” titah Christian dan langsung dituruti oleh Aurora.
“Oh iya, kita belanja bahan makanan dulu, kan? Aku yakin kau pasti belum belanja bahan makanan untuk membuat pasta.”
Christian melirik sekilas Aurora, “Aku ada beberapa bahan dasar.”
“Ya sudah kita mampir supermarket saja dulu. Aku ingin membuatkan pasta yang enak untuk ibumu.”
Tanpa menjawab, Christian menuruti ucapan Aurora untuk mampir ke supermarket terlebih dahulu berbelanja bahan makanan.
Di dalam supermarket, Christian mendorong troli di samping Aurora yang terlihat serius mencari bahan makanan. Berkali-kali ia melihat ponsel, kemudian beralih pada rak bahan makanan, setelah dirasa cocok baru Aurora memasukkan bahan makanannya ke dalam troli.
“Ibumu tidak alergi seafood, kan?” tanya Aurora.
“Tidak,” jawab Christian singkat.
Aurora mengangguk mengerti, kemudian memasukkan kerang yang sudah dikemas oleh petugas supermarket ke dalam troli.
“Aku sudah tanya mamaku bahan membuat pasta kerang yang enak. Jadi aku berharap semoga masakanku nanti tidak mengecewakan, dan aku harap ibumu suka,” oceh Aurora dan hanya didengarkan tanpa dijawab oleh Christian.
“Kau sendiri suka makanan apa?” tanya Aurora riang. Saat ini ia seperti lupa kalau ia pernah setakut itu kepada seorang Christian.
“Kenapa kau bertanya?”
“Siapa tahu aku bisa memasaknya, aku akan membuatkannya untukmu.”
Christian tidak berhenti menatap wajah Aurora yang terlihat ceria itu. Senyum gadis itu sangat manis. Dan berkali-kali Christian memuji bahwa Aurora sangat cantik dan lugu.
“Entahlah, aku tidak tahu.”
“Kau tidak punya makanan kesukaan?”
“Kurasa tidak punya.”
“Pernah coba nasi goreng?”
“Nasi goreng?” ulang Christian.
“Ya, masakan khas Indonesia.”
“Belum.”
“Kapan-kapan aku buatkan. Kata mama nasi gorengku cukup enak!”
Christian tidak berhenti dibuat terpaku dengan sikap Aurora. Sejujurnya ini pertama kalinya ada gadis yang begitu cerewet bertanya ini itu kepadanya.
Kini mereka berada di tempat buah-buahan. Gadis itu tidak berhenti mencicipi berbagai macam buah tester seraya tersenyum manis merasakan rasanya. Aurora menusuk satu potongan buah menggunakan garpu plastik kecil yang disediakan, ia berjinjit dan mengarahkan potongan buah itu ke mulut Christian.
“Aaaa,” suruh Aurora. “Coba deh, buahnya manis banget,” ucap Aurora meyakinkan Christian untuk mau membuka mulutnya.
Christian pun menurut dan mencoba buahnya. Saat ia mengunyah, lagi-lagi ia menatap Aurora yang menunggu reaksinya. “Manis,” komentar Christian.
Setelah berbelanja kebutuhan, Christian membayar belanjaan mereka. Ia meletakkan barang belanjaan ke dalam bagasi mobil.
Sepanjang perjalanan, berkali-kali Christian melirik Aurora yang tampak tenang di tempatnya. Dia terlihat tidak takut lagi setelah Christian bilang akan memaafkannya. Dia terlampau polos dan naif. Christian baru menemui gadis seperti Aurora. Dia mudah sekali dikelabuhi dan dibohongi.
Sesampainya di gedung apartemen. Christian mencangking banyak barang belanjaan seraya memasuki lobi. Melihat Christian masuk, petugas apartemen menghampirinya seraya menunduk menyapa.
“Tuan, biar saya yang bawakan belanjaan Anda,” ujarnya.
Christian menolak dengan gerakan kecil dan lngsung dituruti oleh petugas apartemen. Aurora yang melihatnya pun bertanya, “Apa belanjaannya berat? Mau aku bantu bawa beberapa kantong?” tawar Aurora.
“Tidak perlu.”
Aurora hendak masuk ke dalam lift umum, namun Christian menarik tangan Aurora. “Bukan di sana.”
Christian mengarah pada lift khusus yang langsung menuju penthouse apartemennya yang berada di lantai paling atas. Gedung apartemen mewah itu adalah salah satu aset pribadi milik Christian. Jangan tanya kenapa di umurnya yang terbilang muda sudah memiliki gedung apartemen sendiri, sudah dikatakan di awal bahwa ia adalah anak dari orang berpengaruh di Las Vegas.
Saat pintu lift terbuka, Aurora dibuat melongo dengan isi di dalam apartemen mewah itu. Benar-benar luas dan mewah.
Aurora mengikuti langkah Christian yang menuju ke dapur. Christian meletakkan berbagai macam barang belanjaan ke atas meja pantri, diikuti dengan Aurora yang memegang dua buah kantong.
“Sepertinya kita mulai dengan mencuci bahan belanjaan dulu,” ujar Aurora.
Aurora melihat sekeliling. Gadis itu mencari-cari alat masak, namun tidak ada satupun. Di dapur itu hanya ada mesin kopi dan beberapa gelas saja. Kemudian beberapa botol minuman keras yang tergeletak di sana sini.
“Alat masaknya kau taruh di mana?” tanya Aurora masih tidak menyadari hal aneh itu.
“Aurora, apa kau sungguh bodoh?” tanya Christian.
“Uhh? Maksudnya?”
“Terlalu naif tidak akan bisa menyelamatkanmu, Aurora,” ucap Christian lagi.
Christian mendekat, ia menarik pinggang Aurora untuk mengikis jarak di antara mereka. Dari sana baru Aurora sadar dengan apa yang terjadi. Aurora mendorong Christian keras. Gadis itu mundur beberapa langkah untuk menjauhi Christian. Matanya menatap kedua mata Christian penuh kekecewaan.
“Christian, kau membohongiku?” tanya Aurora. Suaranya bergetar.
“Salahkan saja dirimu yang bodoh mau saja aku bohongi.”
“Tapi aku sudah percaya padamu. Aku pikir kau orang baik, aku pikir kau benar-benar tulus memaafkanku dan melepaskan ku,” nada kecewa masih terdengar dari ucapan Aurora.
“Kau mau mandi dulu atau kita langsung pada intinya?” tanya Christian mengorek kupingnya yang tidak gatal seolah tak peduli dengan ungkapan kecewa dari Aurora.
“Kau bilang kau butuh bantuanku untuk memasak pasta untuk ibumu. Aku mohon jangan seperti ini, Christian.”
“Ibuku sudah tidak di dunia ini, Aurora. Ibuku sudah meninggal sejak aku berusia enam tahun.”
“Jadi kau bohong?”
“Lagi pula kalau pun ibuku masih hidup dan dia berkunjung ke apartemenku, aku bisa menyuruh chef untuk menyiapkan makanan. Tidak perlu menyuruhmu.”
Tangan Aurora kembali gemetar. Hilang sudah Aurora yang ceria di depan Christian. Gadis itu melirik lift, ia bersiap untuk kabur.
“Percuma saja. Private lift hanya akan terbuka jika aku yang menekan tombolnya. Kau tidak akan bisa kabur dari sini.”
“Aku sudah bilang Aurora. Aku akan melakukan apa pun untuk mencapai tujuanku. Aku tidak suka penolakan,” ucap Christian tersenyum menang.
- To be continued -