4. Dia, yang Datang Tanpa Pelukan

1776 Kata
Hari itu mendung menggantung sejak pagi, seolah langit pun tahu bahwa ada sesuatu yang akan pecah, bukan hujan, tapi hati yang selama ini dipaksa keras oleh waktu. Icha baru saja keluar dari ruang laboratorium saat ponselnya berdering nyaring dengan panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Dia akan makan siang bersama dua sahabatnya. “Siapa Ca?” tanya Ghaniyya, ikut melihat ke arah gawai sahabatnya yang menjerit meminta perhatian. “Gak tahu, nomor tidak dikenal. Tapi entah kenapa aku ingin menjawab panggilan ini.” Biasanya dia selalu mematikan panggilan jika berasal dari nomor yang tidak dikenal, tapi kali ini berbeda. Sesuaut dari hatinya seolah memaksanya untuk menjawab panggilan itu. “Pakai mode speaker aja, jadi kami juga bisa dengar.” Saran Senja, sembari mengunyah gorengan kesukaannya. “Halo, selamat siang…” “Dengan Ischia Anissa Wijaya?” terdengar suara yang beraksen bule menjawab. “Benar. Maaf, siapa ini?” kening ketiganya berkerut coba menerka. “Saya Hugo Melker. Saya tahu kamu pasti bingung, tapi saya tahu siapa kamu, juga... mamamu.” Seketika kaki Icha gemetaran, Niyya dan Senja sampai harus membimbingnya duduk di kursi taman. “M-mama?” satu kata yang sungguh dia rindukan untuk dia ketahui siapa. “Benar, mamamu. Icha, tolong datang ke alamat yang saya berikan, malam ini ya. Kamu bisa bertemu dengan saya, adikmu, omamu juga mamamu. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.” Entah apalagi yang dibicarakan oleh Hugo, Icha tidak lagi bisa mencerna. Usai panggilan itu, dia melihat pesan yang tertera sebuah alamat restoran yang terkenal akan harganya yang selangit. “Cha, beneran kamu mau datang?” tanya kedua sahabatnya. “Iya.” “Kalau begitu kami akan ikut. Jangan datang sendiri ke situ, Cha, kita tidak tahu itu benar atau tidak. Akan lebih aman bagimu kalau ada yang menemani.” Kata Senja, mengelus pundak sang sahabat. “Iya Cha, mumpung Mas Ghazi lagi datang, bisa minta diantar dia. Seenggaknya ada lelaki.” Icha mengangguk, bersyukur mempunyai dua sahabat yang mau menerimanya apa adanya. Sore hati, sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah simbok, menjemputnya untuk segera ke alamat yang dijanjikan. Icha minta izin ke simbok untuk bertemu seseorang bersama dua sahabatnya. “Loh, Niyya mana?” tanyanya saat melihat di mobil hanya ada Ghazi, kakak Ghaniyya, dan Senja. “Sakit perut, haidnya datang mendadak katanya.” Jawab Senja. Tiba di restoran, kaki Icha gemetaran. Untung saja Senja yang paham, segera memeluknya, memberi semangat padanya. “Jangan khawatir, ada kami bersamamu.” Di sebuah ruangan VIP yang disewa, ketiganya masuk dipandu seorang pelayan. Saat semakin dekat ke meja makan bundar yang sudah terisi banyak orang, mata Icha tertumbuk pada seorang perempuan berumur hampir empat puluh tahun yang duduk diam, menunduk. “Nyonya, ini Mbak Icha sudah datang,” kata si pelayan pada perempuan paling tua yang ada di situ. Semua mata memandang ke arah mereka. Hati Icha mencelos saat melihat sosok perempuan yang sangat mirip dirinya tetapi dengan kulit jauh lebih putih dan bersih, wajahnya pucat, dengan mata yang seperti menyimpan ribuan luka, jantung Icha bagai berhenti sejenak. Felicia Wijaya. Bahkan sebelum nama itu disebut, Icha sudah tahu siapa perempuan itu. Ia mengenal garis wajahnya, terlalu mirip dengan bayangannya sendiri. Mirip dengan foto yang selama ini disimpannya diam-diam dalam dompet. Mamanya! Perempuan yang secara fisik mengandungnya dan melahirkannya tapi tidak pernah merawatnya. Bahkan satu tetes ASI-pun tidak pernah dia rasakan dari sang mama. Perempuan yang selama dua puluh satu tahun umurnya, tidak pernah datang. Tidak pernah mengirim kabar. Tidak pernah menyentuh pipi atau memeluknya dengan cinta seorang ibu. Dan kini, ia duduk di sana, tampak rapuh, seolah waktu menggilasnya dengan rasa bersalah yang tak pernah usai. Atau... malah rasa benci dan amarah padanya yang nampak di mata itu? Felicia coba berdiri tapi kembali jatuh terduduk. “Icha…” lirihnya. Hanya satu kata. Tapi itu cukup untuk menumbangkan seluruh dinding pertahanan yang Icha bangun selama bertahun-tahun. Namun ia pakukan kakinya di tempat, dia tidak berlari memeluk. Hanya berdiri. Kaku. Mata mereka bertemu, lalu diam panjang membentang di antara mereka, lebih dingin dari hujan yang mulai turun. “Icha, duduklah. Aku Hugo, yang tadi menelponmu. Aku, papamu nak, suami mamamu.” Hugo berdiri, menyambut Icha untuk duduk semeja dengan mereka. Papa? Andai saja itu benar adanya. Hugo adalah pria Kaukasia dengan penampilan bule murni. “Icha, kenalkan, ini Oma Wijaya, oma buyutmu, ini adikmu, Livia, mirip denganmu kan? Dan itu, mamamu.” Hugo, pria yang ramah dan berusaha mencairkan kebekuan pada mereka. “Duduklah Icha.” Suara berat namun tegas dari oma Wijaya terdengar. “Mereka berdua akan duduk bersama saya,” kata Icha tegas, saat seorang perempuan yang dari keluarga itu meminta Senja dan Ghazi untuk duduk di lain tempat. “Jangan kurang ajar. Tingkahmu…” “Jika tidak boleh, kami akan pergi dan lupakan apa yang akan jadi pembicaraan penting di antara kita.” Tegas Icha, tidak mau kalah. Dia menatap lurus ke depan, ke arah sang mama yang hanya diam menunduk, tidak berani menatapnya. Oma Wijaya tersenyum kecil melihat kejadian itu, “khas opa buyutmu yang keras kepala, kamu sangat mirip dirinya. Tegas, berani dan keras kepala. Lily, kamu dan Surya pindah ke meja lain, biar Icha dan kedua temannya duduk di sini.” “Tapi mah…” perempuan yang dipanggil Lily itu menolak, hanya saja dia tidak berani berkata apa-apa lagi ketika oma Wijaya membentaknya. “Berani kamu melawan mama?” oma membanting tongkat kayunya, menimbulkan bunyi yang cukup mengagetkan. Suasana semakin hening setelah Icha, Senja juga Ghazi duduk. “Feli, adakah yang ingin kamu sampaikan pada Icha?” oma Wijaya bertanya dengan lembut pada cucu kesayangannya, yang kemudian mendongak, menyeka air mata, menggeleng kemudian kembali menunduk. “Oma, may I??” tanya Hugo, tapi oma Wijaya menggeleng tegas. “Tidak Hugo, biar aku saja kalau begitu,” oma Wijaya melihat ke arah Icha, gurat tegas wajahnya semakin menegaskan bahwa beliau tidak suka dibantah. Tapi Icha mana pedulikan itu. Selama ini dia diabaikan oleh orang yang saat ini mengaku sebagai keluarganya. Dia akan hormat pada mereka, sebatas pada hormatnya bertemu orang baru yang lebih tua. "Icha, kami minta maaf," kata oma, matanya menandakan bahwa dia sungguh menyesal untuk itu, "aku tahu kami tidak punya hak apa pun. Tapi kami datang bukan cuma untuk itu..." oma menarik nafas panjang. Icha tidak menjawab. Ia hanya menatap nanar cangkir tehnya, mengamati uapnya yang naik lalu hilang begitu saja. Seperti masa kecilnya, yang tidak pernah sempat hangat. "Adikmu, Livia, umurnya masih sepuluh tahun. Dia sakit leukemia. Dan dokter bilang... dia butuh transplantasi sumsum tulang belakang. Aku... kami sudah mencari semua keluarga, tapi tidak ada yang cocok." Felicia menarik napas panjang, lalu memandang Icha dengan mata yang basah tapi tidak berkata apapun. "Kami... aku... berharap kamu bersedia jadi donor, Cha. Demi adikmu. Masa depannya masih sangat panjang." Lanjut oma Wijaya. Di situlah kebenaran itu runtuh tanpa peringatan. Bahwa kehadiran ini, pertemuan ini, bukan karena cinta yang tumbuh terlambat, tapi karena kebutuhan. Karena darurat. Karena Icha punya sesuatu yang bisa menyelamatkan anak mamanya yang lain, seorang anak yang memang diinginkan, bukan seperti dirinya yang tidak diinginkan, lahir dari sebuah kerusuhan. Icha melihat ke arah Livia, dia tersenyum kecil, getir, seperti menertawakan dirinya sendiri. "Jadi... kalian ingat aku karena sumsumku? Bodohnya aku yang menggantungkan harap, akhirnya kalian teringat padaku, karena ada darah yang sama yang mengalir di tubuhku." Nada suaranya tenang, tapi tangannya gemetar menahan emosi. Senja segera memeluk tubuh ringkih sahabatnya. Felicia mendongak, matanya sudah basah oleh air mata. Sungguh dia ingin berteriak bahwa dia rindu ingin memeluk putrinya, yang memang tidak pernah dia inginkan. Tangan Felicia terulur, ingin meraih tangan sang putri, tapi Icha menariknya dan menyembunyikannya di bawah meja. Bukan karena benci, justri karena terlalu rindu. Bukankah sebuah kerinduan yang lama dipendam kadang lebih menyakitkan dari sebuah kemarahan? "Aku sering bermimpi, suatu saat kita ketemu," lirih Icha. "Di mimpiku itu... kalian datang dan bilang menyesal. Kalian akan memelukku, akan berkata bahwa ‘aku sayang kamu, nak’, meski a-aku... hasil dari hari terburuk dalam hidup kalian." Felicia menunduk. Air matanya jatuh. Tak terbendung. Pundaknya naik turun. "Mamamu memang menyesal, Icha, di setiap harinya. Tapi bukan karena kamu ada, melainkan karena terlalu hancur untuk mencintaimu saat itu. Mamamu... terlalu takut, dia masih sangat muda saat itu.” Bukan Felicia yang menjawab, melainkan oma Wijaya, seperti mencari sebuah pembenaran. "Sampai sekarang kalian menganggapku sebuah aib. Padahal, aku tidak pernah minta untuk dilahirkan. Kalian…, kalian jahat! Pernahkah kalian memikirkanku? Hidupku? Segala hinaan yang aku tanggung seorang diri padahal aku tidak tahu apa salahku.” Icha menangis, meluapkan isi hatinya. Felicia menatap Icha dengan mata sembab. Rindu dendam yang selama ini ada di dadanya, perlahan runtuh melihat gadis di hadapannya menangis. "Icha, aku tahu ini terlambat. Tapi ini bukan hanya tentang Livia saja. Melainkan mamamu yang sudah tak kuat lagi hidup tanpa minta maaf padamu. Tidak hanya kamu yang menderita, Cha, mamamu juga menderita bahkan hampir hilang kewarasannya. Tolonglah nak, jika kita sama-sama egois, tidak akan ada habisnya. Aku minta padamu, Icha, tolong pikirkan mamamu juga adikmu.” Icha tidak menjawab. Sungguh, dia ingin memeluk perempuan itu. Ingin menangis di pelukannya, ingin mereka menangis bersama. Tapi ada luka yang terlalu dalam, dan terlalu baru untuk langsung disembuhkan. “Hai kamu, anak kampung, ngaca dong! Kamu kira memangnya atas biaya siapa kamu bisa hidup enak sampai sekarang huh? Bisa kuliah? Mikir!” kata Lily yang tiba-tiba hadir di situ. “Lily, diam! Surya, bawa istrimu menjauh dari sini!” bentak oma Wijaya, wajahnya merah menahan marah. Felicia menatap Icha, ikut terisak. “Maaf, kalian mungkin memang keluarga biologis Icha, tapi kalian tidak berhak menghinanya setelah apa yang kalian lakukan padanya selama ini. Justru kalian yang seharusnya bercermin, bukan Icha. Berhubung situasi tidak kondusif, kami akan ajak Icha pulang. Sebaiknya kalian merenungi apa yang kalian lakukan tadi. Ingat, di atas langit masih ada langit. Hak Icha untuk mau jadi donor atau tidak untuk menyelamatkan bocah itu. Kami permisi.” Ghazi, pemuda tampan yang sedari tadi diam mengamati situasi, tiba-tiba bereaksi. Sekalinya bersuara, ternyata mulutnya dan nyalinya besar. “Kita pulang, Icha, Senja. Kamu terlalu berharga untuk dihina oleh mereka.” Katanya semakin tajam namun menusuk di telinga keluarga Wijaya. Ketiganya melangkah menjauhi ruangan itu. Senja memeluk tubuh Icha agar kuat berjalan. “Tunggu… tunggu…” Hugo mendekat, “Icha, izinkan agar kami bisa bertemu lagi denganmu ya nak. Tolong, papa minta, tolong adikmu.” Mata Icha kembali basah. Dia tahu Hugo sangat mencintai Livia, putrinya. Aah, Icha berharap, andai saja Hugo adalah ayah kandungnya, dia pasti akan sangat bahagia. Untuk pertama kalinya, Felicia tahu, darah dagingnya yang ia buang dulu telah tumbuh menjadi seseorang yang lebih kuat dari yang pernah ia bayangkan. Anak perempuan yang dilahirkan tanpa cinta, kini berdiri tegak di hadapannya, tanpa kenal takut, meski hatinya compang-camping.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN