Langkah kaki Erik terhenti di depan pintu kayu berwarna putih pucat itu. Hening. Tak ada suara dari dalam kamar, tapi entah mengapa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Jemarinya yang semula terangkat hendak menyentuh gagang pintu, mendadak terhenti. Ada keraguan yang mencengkeram hatinya—rasa takut yang belum bisa dijelaskan. Bukan takut akan amarah, bukan pula takut akan pertengkaran. Ia takut jika Yuri belum tidur dan memergokinya pulang di jam yang tak masuk akal. Bukan karena ia melakukan kesalahan, tapi karena Erik belum siap. Belum siap jika harus berhadapan langsung dengan sorot perempuan yang masih terasa asing baginya. Ada alasan kenapa Erik belum ingin Yuri tahu bahwa ia sudah kembali. Ia butuh waktu, bukan untuk melarikan diri, melainkan untuk menyusun masa depan ya