Api di Ranjang

2359 Kata
Dara bisa melihat bahwa tamu-tamu yang diundang bukanlah orang sembarangan. Para aristokrat, pengusaha elite, politisi, dan kolektor seni dari berbagai negara akan hadir, membawa serta eksistensi mereka yang tak tersentuh. Pesta itu sendiri mungkin terlihat sederhana—hanya sebuah perjamuan di pekarangan belakang istana—tetapi tidak ada yang benar-benar sederhana dalam dunia para pebisnis. Dari balik jendela kamarnya yang menghadap ke taman belakang, Dara memperhatikan bagaimana persiapan itu dilakukan dengan begitu teliti. Sejak sore tadi, aroma wangi bunga segar yang menghiasi setiap sudut pekarangan tercium hingga ke kamar Dara. Dara menghela napas, menatap semua itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Betapa orang kaya bisa memperlakukan dunia ini seperti panggung mereka sendiri. Tangannya turun, mengusap lembut perutnya yang semakin membuncit. "Kamu lapar? Mau Mama mintain kue nggak?" Perutnya terasa kosong, membuatnya akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar. Suasana istana sudah sunyi. Tengah malam seperti ini, sebagian besar orang pasti sudah terlelap, atau setidaknya menghindari berkeliaran di lorong-lorong megah yang terasa semakin dingin saat malam. Dara melangkah pelan, menyusuri tangga marmer yang luas menuju lantai bawah. Tapi begitu mendekati pintu utama, langkahnya terhenti. Ada suara. “Mas, aku tuh capek disindir keluarga kamu terus, loh. Kamu sadar kan mereka sinis sama aku?” Suara Zarin terdengar penuh frustrasi. “Iya, makanya kita perbaiki. Kalau kamu pergi, kamu bakalan jadi bahan omongan, Sayang.” Zarin mendengus, kedua matanya berkilat marah. “Aku nggak tahan! Kamu ngerti nggak sih? Besok sore juga aku bakal ada di sini lagi. Aku nggak bisa tidur kalau tetap di sini. Kamu udah sama keluarga kamu aja, kamu bela mereka terus.” “Ya karena kamu salah, Zarin. Mereka hanya ingin kamu menurut.” “Menurut dan membuat impian aku hilang? Mas, bukan begitu landasan pernikahan kita. Memangnya aku melakukan kejahatan? Enggak, Mas. Aku cuma raih impian aku.” Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya melangkah mundur. “Udah lah.” Tanpa menunggu tanggapan, Zarin berbalik dan pergi. Dara menahan napas. Matanya terpaku pada sosok Jedidah yang tetap berdiri di sana, hanya bisa menatap punggung istrinya yang menghilang di balik pintu. Dara menggigit bibirnya, matanya tak lepas dari sosok pria itu. "Kun je dat zien? Hoe kan een vrouw de eer van haar man niet beschermen?" (Kau bisa melihat itu? Bagaimana seorang istri tidak bisa menjaga martabat suaminya?) Dara tersentak, tubuhnya kaku seketika. Ia menoleh dan menemukan Johannes Van Der Zandt sudah ada di belakangnya, duduk di kursi rodanya dengan tatapan tajam yang memerhatikan kepergian Zarin. "Tuan Johannes, maaf jika saya mengganggu," ujar Dara dengan sopan, sedikit menunduk. "Merekalah yang mengganggu," jawab pria tua itu dengan suara berat, matanya tetap lurus ke arah pintu utama tempat Zarin baru saja menghilang. "Kom mee, ik wil ook een taart eten. Jij ook, toch?" (Ayo ikut aku, aku ingin makan kue juga. Kau juga sama, 'kan?) Johannes langsung menggerakkan kursi rodanya menuju ruang makan tanpa menunggu jawaban, meninggalkan Dara yang sedikit bingung namun akhirnya melangkah mengikuti. "Apakah ingin saya panggilkan pelayan, Tuan?" tanyanya, menjaga kesopanannya. Johannes menghentikan kursi rodanya dan menatapnya dengan penuh wibawa. "Nee. Ik wil niet zwak lijken alleen maar omdat ik een rolstoel gebruik." (Tidak. Aku tidak suka terlihat lemah hanya karena memakai kursi roda.) Dara mengangguk mengerti. "Goed, laat me je helpen." (Baiklah, biar saya saja yang membantu.) Dara segera mengambilkan kue yang tersusun di piring perak, memilih yang paling lembut dengan lapisan krim vanila yang tampak lezat. Ia juga menyiapkan teh herbal dengan jahe, tangannya bekerja dengan tenang meski dalam kepalanya masih berputar kejadian sebelumnya. "Dit zal uw lichaam opwarmen, Tuan." (Ini akan menghangatkan tubuh Anda, Tuan.) Namun, sebelum ia bisa berkomentar lebih lanjut, suara langkah kaki terdengar mendekat. “Kakek, apa yang kakek lakukan di sini?” Jedidah. "Ik luisterde naar je gesprek met die koppige vrouw van je, Jedidah." (Aku mendengar percakapanmu dengan istrimu yang pembangkang itu, Jedidah.) Johannes menatap cucunya dengan sorot tajam sebelum mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Dara dengan sikap penuh penekanan. "Je zou een vrouw als zij moeten kiezen." (Harusnya kau mencari wanita yang seperti dia.) Dara yang tengah menuangkan teh hampir tersedak. Jedidah mendengus, matanya sedikit menyipit ke arah kakeknya. “Kakek…” Namun, Johannes tidak memberi kesempatan untuk membalas. "Ze is gehoorzaam." (Dia penurut.) Tatapannya penuh makna sebelum seorang pelayan masuk, membungkuk dengan hormat di hadapan Johannes. "Tuan Besar, waktunya untuk kembali ke kamar Anda." Johannes hanya mengangguk, meletakkan cangkir tehnya sebelum membiarkan pelayan itu mendorong kursi rodanya keluar dari dapur. Kini, keheningan menyelimuti ruangan. Hanya ada Dara dan Jedidah. Sebelum Dara pergi ke kamar, langkahnya melambat. Ia menoleh, menatap Jedidah yang masih berdiri diam di dapur, ekspresinya tajam tapi tertahan. Bibir pria itu terkatup rapat, rahangnya mengeras, dan sorot matanya seakan memperingatkan agar Dara tidak bermain-main dengannya. Namun, Dara tidak pernah tahu batas. Ia melangkah mendekat, tubuhnya begitu dekat hingga aroma manis tubuhnya menguar di udara, bercampur dengan aroma teh jahe yang masih mengepul di meja. Jemarinya yang ramping terangkat, mengusap perlahan d**a bidang Jedidah yang tertutup kaos mahalnya. Gerakannya lembut, nyaris menyiksa, seperti belaian angin yang menggoda sebelum badai melanda. Napasnya begitu dekat, hangat, nyaris menggelitik kulit pria itu saat bibirnya bergerak di samping telinganya. "Kamar aku masih terbuka… ayo panaskan ranjang bersama…" bisiknya sensual, suaranya rendah dan menggoda, seakan setiap kata yang terucap adalah godaan yang sulit ditolak. Jedidah diam, hanya matanya yang semakin gelap. Ada sesuatu di sana—pergolakan antara kendali dan hasrat. Tapi Dara tidak peduli. Sebelum pria itu bisa bereaksi, ia mundur perlahan, menyambar toples berisi cookies, lalu melangkah pergi. Pinggulnya berayun dengan ritme yang disengaja, setiap gerakan pantatnya yang bulat terlihat menggoda di bawah kain tipis gaunnya. Lekuk tubuhnya bergerak ke kiri dan ke kanan, seperti tarian halus yang memancing perhatian. Dara tidak menoleh lagi, tapi ia tahu. Jedidah melihatnya. Dan itu cukup untuk membuatnya tersenyum puas sebelum menghilang di balik pintu, meninggalkan pria itu dalam ketegangan yang membakar udara di sekitarnya. **** Pesta ulang tahun Tuan Besar Van Der Zandt pun akhirnya tiba. Dara menatap dari jendela kamarnya, mengamati bagaimana sore yang hangat menyelimuti perayaan ini. Dari tempatnya, ia bisa melihat para tamu berbaur, sampanye berkilauan dalam gelas kristal, serta deretan meja dengan hidangan mewah yang menggoda selera. Ia kembali menatap bayangannya di cermin. Gaun yang ia pilih malam ini adalah definisi dari kesempurnaan. Bahannya sutra dengan detail renda halus yang menyelimuti pundaknya, memperlihatkan keanggunan leher jenjangnya yang dibiarkan terbuka. Rambutnya ditata dalam gelombang lembut yang jatuh hingga bahunya, memperkuat kesan elegan sekaligus sensual. Dan sebagai sentuhan akhir, bibirnya dipoles merah merona—berani, menggoda, tak terabaikan. Dengan langkah ringan, Dara meninggalkan kamarnya dan melangkah keluar. Begitu ia tiba di pekarangan belakang, beberapa pasang mata langsung tertuju padanya. Para pria mencuri pandang, sementara beberapa wanita menatapnya dengan penuh penilaian. "Kijk wie we hier hebben! Mevrouw Dara, je ziet er prachtig uit!" (Lihat siapa yang datang! Nona Dara, kau terlihat luar biasa!) Seru salah satu suara perempuan yang terdengar ceria. Dara menoleh, menemukan Carol, salah satu sepupu Jedidah, melambaikan tangan ke arahnya. “Kom bij ons, we praten over hoe geweldig Jedidahs zaken gaan.” (Bergabunglah dengan kami, kami sedang membicarakan betapa hebatnya bisnis Jedidah.) Dara tersenyum kecil, menerima ajakan itu dan melangkah ke arah mereka. Di kelompok itu, berdiri Andries, Aldert, Bartel, Zoe, dan Yara, semuanya sepupu Jedidah dari garis keluarga Van Der Zandt. "Je ziet er geweldig uit, Dara," puji Aldert, pria tinggi dengan senyum menawan. (Kau terlihat luar biasa, Dara.) "Inderdaad, heel elegant," tambah Zoe, matanya berbinar kagum. (Memang, sangat elegan.) Dara hanya tersenyum sopan. "Dank je. Jullie zijn allemaal erg vriendelijk." (Terima kasih. Kalian semua sangat ramah.) Namun, sebelum pujian itu berkembang lebih jauh, suara lain menyusup ke dalam percakapan mereka. "Ik weet niet... deze stijl lijkt niet echt bij Dara te passen," sindir Zarin dengan nada manis tapi menusuk. (Aku tidak tahu… gaya ini sepertinya tidak cocok dengan Dara.) Sepasang mata Dara melirik wanita itu, tapi sebelum ia bisa merespons, Carol sudah lebih dulu menanggapi. "Nou, ik ben het daar niet mee eens, Dara is een prachtige vrouw en ze ziet er altijd goed uit." (Yah, aku tidak setuju. Dara adalah wanita yang cantik, dan dia selalu terlihat menawan.) "Precies," tambah Bartel, tersenyum tipis sambil menatap Zarin dengan tatapan mengejek. "Sommige mensen voelen zich gewoon bedreigd door schoonheid." (Beberapa orang hanya merasa terancam oleh kecantikan.) Seakan ingin menghindari percakapan lebih lanjut, Jedidah menatap tajam sepupunya. “Sorry, Zarin.” "Ik moet iemand belangrijk ontmoeten, laten we gaan." (Aku harus menemui seseorang yang penting, ayo pergi.) Tanpa menunggu tanggapan, ia menarik tangan Zarin dan melangkah pergi, meninggalkan Dara bersama para sepupunya. Dara hanya bisa menatap punggung pria itu. "Aan hen voorbijgaan, laten we feesten," ucap Zoe dengan nada ceria, mengangkat gelas sampanyenya sebelum menyesapnya. (Abaikan mereka, ayo berpesta.) "Soms kunnen we het niet laten om Zarin te bespotten omdat ze Jedidah altijd negeert," Yara menambahkan, suaranya terdengar penuh penilaian. (Kadang kami tidak tahan untuk menyindir Zarin karena selalu mengabaikan Jedidah.) "Wij hebben alleen medelijden met hem, geen andere bedoelingen. Zarin neemt Jedidah te licht op." Bartel menyelipkan komentarnya dengan nada yang terdengar lebih tenang, tapi tetap tajam. (Kami hanya kasihan padanya, tidak ada maksud lain. Zarin terlalu menggampangkan Jedidah.) Dara tidak menjawab, hanya memberikan senyum kecil. Namun, untuk saat ini, Dara memilih untuk menikmati malam. Ia membaur dalam pesta, menikmati hidangan mewah yang tersaji di atas meja dengan elegan. Foie gras yang lembut, daging wagyu yang dimasak sempurna, hidangan laut segar yang dipadukan dengan saus bercita rasa khas. Gelas kristal berisi mocktail berkilauan di bawah cahaya lampu taman yang mewah. Sesekali, Dara berbincang dengan beberapa orang penting—para investor, kolektor jam tangan, dan bangsawan yang hadir dalam pesta ini. Namun, semakin lama, tubuhnya mulai terasa lelah. Dara akhirnya memilih untuk kembali lebih dulu. Niatnya untuk menggoda Jedidah malam ini harus ditunda. Biasanya, ia tak akan membiarkan kesempatan berlalu begitu saja, apalagi setelah berhasil menarik perhatian beberapa anggota keluarga Van Der Zandt yang mulai berpihak padanya. Namun, kelelahan membuatnya berpikir dua kali. Udara malam yang dingin menyelimuti kamar, membuat kelopak matanya semakin berat. Dara menarik selimut, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kenyamanan kasur empuk itu setelah berganti pakaian. Dan akhirnya, ia terlelap. **** Kelopak matanya masih berat, tapi bunyi langkah kaki yang tergesa-gesa di luar kamarnya membuatnya mengerjapkan mata dan melirik jam di nakas. Pukul setengah dua dini hari. Menghela napas malas, Dara perlahan turun dari tempat tidur, mengenakan robe sutra yang tersampir di kursi, lalu membuka pintu kamarnya dengan gerakan lambat. Matanya menyipit, masih terbiasa dengan gelapnya ruangan, namun begitu ia melangkah keluar ke koridor, ia melihat dua sepupu Jedidah tengah menuruni tangga dengan langkah terburu-buru. "Is het goed om Jedidah in deze toestand achter te laten terwijl hij onder invloed is van een lustopwekkend middel?" (Apa tidak apa-apa meninggalkan Jedidah dalam keadaan di bawah obat perangsang?) tanya salah satunya dengan nada sedikit ragu. "Het is geen probleem. Het is Zarin's schuld dat ze hem alleen laat. We bedoelden het goed om hem te plezieren, maar nu lijdt hij in plaats daarvan." (Tidak apa-apa. Salah Zarin yang meninggalkannya. Padahal kita berniat baik membuat Jedidah puas, dia malah tersiksa.) Dara mendengar itu dengan jelas. Langkah mereka semakin menjauh, meninggalkan Dara yang kini berdiri diam di lorong. Seketika bibirnya melengkung dalam senyum kecil, matanya berkilat penuh ketertarikan. Jadi… Jedidah sendirian di kamarnya. Dan dia dalam pengaruh obat perangsang. Tanpa suara, ia berbalik, langkahnya perlahan namun pasti. Koridor yang sunyi menjadi saksinya saat ia melangkah dengan anggun, membiarkan bayangan tubuhnya menari di bawah cahaya temaram lampu gantung. Dengan hati-hati, ia memutar gagang pintu. Tidak dikunci. Sempurna. Dara melihat Jedidah dengan kemeja yang sudah terbuka, memperlihatkan dadanya yang kokoh dan berkeringat. Pria itu tergeletak di atas ranjang dengan napas berat, dahinya sedikit berkerut, tubuhnya tampak berjuang melawan sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan. Kepanasan. Tersiksa. Obat itu bekerja dengan sempurna. Senyum samar muncul di bibir Dara. Ia melepaskan jubah tidurnya dengan perlahan, membiarkan kain sutra itu jatuh begitu saja ke lantai, lalu dengan gerakan luwes, ia merangkak naik ke atas ranjang. Begitu dirinya menduduki Jedidah, ia bisa merasakan milik pria itu yang sudah tegang dan menekan dengan jelas di antara mereka. Jedidah mengerang pelan, matanya terbuka sedikit, tatapan gelapnya langsung mengunci Dara di atasnya. “Apa yang kamu lakukan?” Dara menundukkan tubuhnya, rambut panjangnya tergerai, menyapu bahu pria itu. Bibirnya nyaris menyentuh telinga Jedidah saat ia berbisik dengan nada yang terdengar hampir polos, "Hanya memastikan Bapak baik-baik saja. Aku ingin melihat lebih jelas… Katanya Bapak gak baik-baik saja." Napas hangatnya menggelitik kulit Jedidah, membuat pria itu mengerang lagi, kali ini lebih dalam. Dara menekan tubuhnya lebih erat, sengaja menggoyangkan pinggulnya sedikit, membuat pria di bawahnya mengutuk rendah. “Bapak bau alkohol…” gumamnya, pura-pura berpikir. “Kayaknya kepanasan. Mau aku panggilin pelayan?” “Menyingkir.” Suara Jedidah terdengar tajam, tetapi di matanya ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang liar, yang tidak lagi bisa dia kendalikan. Dara hanya tersenyum. “Oke, aku menyingkir…” katanya santai, tapi sebelum benar-benar mundur, ia sengaja mengendus di dekat leher Jedidah, lalu meniupnya pelan. “Aku cuma mau ngecek aja.” Jedidah memejamkan matanya sesaat, rahangnya mengatup kuat. “Bapak menderita?” Dara berbisik, tangannya kini turun, jemarinya yang halus menyentuh perut Jedidah yang berotot, jari-jarinya meluncur turun, menggoda. “Mau aku bantu nggak? Ini keras banget pas aku duduki loh.” Tangannya sedikit menekan, pinggulnya bergerak tipis. Dara menggigit bibirnya, “Ayok, aku bantu bebasin ya…” suaranya penuh godaan, manis, menggoda, tapi tetap terdengar seolah ia benar-benar tidak berniat bermain api. Tatapan Jedidah kini benar-benar berkabut. Nafasnya semakin berat. Tubuhnya tegang. Matanya bergerak liar menelusuri wajah Dara, gaun tidurnya yang sudah turun dari bahu, memperlihatkan kulitnya yang lembut bercahaya di bawah redupnya lampu kamar. Dara bisa melihatnya… Pria itu sudah di ambang batas. Dan saat Dara akhirnya mendekat dan mencium bibirnya, Jedidah kehilangan kendali. Dengan satu gerakan cepat, ia membalikkan posisi Dara hingga kini gadis itu terperangkap di bawah tubuhnya. Ciuman itu berubah buas. Jedidah tidak lagi menahan diri. Bibirnya melumat dengan panas, penuh kelaparan, seakan ingin menghabisi Dara seutuhnya. Tangannya yang besar kini menguasai tubuh Dara, menggerayangi, menjelajahi setiap lekuk yang bisa ia capai. Dara mengerang tertahan, tetapi ia tidak menolak. Sebaliknya, tubuhnya semakin melekat, menikmati bagaimana api di antara mereka semakin membara. Dan malam itu, Jedidah memakan umpannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN