"Apa maksudnya anak aku dikasih ke kalian?"
Suara Dara terdengar serak, nyaris pecah. Steak yang baru saja mencair sempurna di lidahnya kini terasa hambar, seolah menjadi potongan daging keras yang tersangkut di tenggorokannya. Jari-jarinya mengepal di atas meja marmer yang dingin, matanya yang gelap menatap tajam ke arah pria di depannya—pria yang sejak awal ingin menghapus keberadaan bayi ini, tetapi sekarang justru menginginkannya.
Jedidah tetap tenang. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi, hanya gerakan tangannya yang teratur saat menyendok risotto ke piringnya yang menunjukkan bahwa dia masih peduli pada makanannya.
"Kalau kamu mau anak itu hidup," suara pria itu terdengar dalam, berlapis ketegasan yang tak terbantahkan, "berikan pada Zarin dan saya. Tapi rahasiakan kalau itu anak kandung kamu. Biarkan mereka tidak tahu apa-apa."
Dara terkekeh hambar. Tawanya kosong, tanpa kebahagiaan, hanya dipenuhi kepahitan yang mengendap di dadanya. "Kenapa?" tanyanya dingin. "Kenapa sekarang tiba-tiba mau anak ini? Bukannya sebelumnya mau digugurin? Kenapa berubah pikiran?"
Jedidah masih tidak terpengaruh. Tatapannya tidak menunjukkan emosi apa pun, hanya sorot mata pria yang terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan tanpa perlu memberi penjelasan.
Dara mengamati pria itu dengan seksama, lalu perlahan senyum sinis terukir di wajahnya. "Ah... Aku gak bodoh loh, Pak. Pasti ada sesuatu yang Mbak Zarin gak bisa, ‘kan? Haha, dia gak bisa hamil?"
Mata hazel itu langsung menatapnya tajam. Rahang Jedidah mengeras, tetapi selain itu dia tetap tenang.
"Jaga ucapan kamu, Dara."
"Jadi bener ‘kan?" Dara tertawa pendek, nyaris seperti gumaman sarkastik. "Bapak mau anak ini supaya bisa mempertahankan pernikahan? Karena Ibu Rahayu pasti meminta bapak menikah lagi."
"Jangan melampaui batas."
"Kenapa memangnya? Ini anak aku, punyaku. Kalau bapak memang mau punya anak, nikah aja lagi."
"Kamu pikir semudah itu?" suara Jedidah turun satu oktaf, semakin dalam, semakin berbahaya. "Saya mencintai Zarin, sangat mencintainya sampai saya rela menunggunya siap menikah dengan saya. Dan kondisinya yang seperti itu tidak membuat saya berhenti mencintainya."
Dara mencibir. "Lalu bapak pikir ini mudah buat aku? Ini anak aku, yang dengan mudahnya disuruh gugurin."
"Karena kalau dia hidup dengan kamu, dia akan sengsara seperti kamu, Dara." Jedidah melanjutkan dengan nada rendah, nyaris terdengar seperti belati yang menusuk ke jantungnya. "Daripada hidup penuh penderitaan, bukankah kamu juga memilih mengakhiri hidup jika tidak ada ibu kamu?"
Seketika tubuh Dara menegang. Matanya memerah, jemarinya gemetar di sisi tubuhnya. Ia tahu, Jedidah bukan hanya asal bicara. Dia tahu. Dia tahu bahwa bertahun-tahun Dara hidup dalam bayang-bayang putus asa. Hidup yang dijalaninya bukanlah kehidupan, hanya sekadar bertahan dalam keterpaksaan.
"Hanya ada dua pilihan yang bisa kamu lakukan," Jedidah melanjutkan, seolah tidak puas dengan serangannya yang baru saja menghancurkan Dara. "Gugurkan kandungan itu atau berikan pada saya."
"Ini anak aku," suaranya bergetar, tapi penuh keteguhan. "Aku juga berhak untuk memutuskan."
"Oh, memutuskan dia tumbuh dalam kemiskinan?" sindirnya. "Sebab saya tidak akan memberikan sepeser pun pada kamu," lanjut pria itu dengan suara dingin yang nyaris membuat udara di ruangan ini membeku. "Saya hanya akan membiayainya jika anak itu tumbuh bersama saya dan Zarin."
Dara tidak bisa menahan lagi. Tangannya langsung meraih gelas air dan—splash!
Air dingin itu menyiram wajah tampan Jedidah, membasahi rambut hitamnya yang selalu tertata rapi. Setetes air jatuh dari dagunya, sementara pria itu masih tetap diam. Namun, mata hazelnya kini menggelap, pupilnya menyempit, penuh ancaman yang menekan.
Tapi Dara tidak peduli.
"Harusnya aku gak ikut ke rumah b******n ini," desisnya, sebelum ia berbalik dan berjalan cepat menuju pintu.
"Dara, kembali ke sini!" suara Jedidah terdengar tegas, tetapi Dara tidak menghiraukannya.
Langkahnya cepat, penuh emosi. Napasnya terasa berat, d**a sesak, dan matanya panas. Ia hanya ingin keluar dari tempat ini secepat mungkin, menjauh dari pria yang sudah menghancurkan setiap harapan kecil yang tersisa dalam dirinya.
Namun, saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu...
Rasa sakit yang tajam menghantam perutnya.
Dara meringis. Kakinya melemas. Dunia di sekitarnya berputar, dan tiba-tiba sesuatu yang hangat mengalir di antara pahanya.
Darah.
Dara menatap ke bawah, melihat noda merah mulai menyebar di kain celananya.
Tidak.
"Tidak... tidak..." gumamnya, panik. Tangannya menggenggam perutnya, mencoba menyangkal apa yang sedang terjadi.
Tubuhnya jatuh, tetapi sebelum ia sempat menyentuh lantai, dua lengan kuat menangkapnya.
"Dara!"
Suara itu bergema di telinganya, tapi semuanya terasa jauh.
Pandangannya kabur. Nafasnya pendek dan tersengal. Dalam kesadarannya yang memudar, ia masih bisa merasakan lengan kokoh itu membopongnya, suaranya yang terdengar tegang, lebih dalam, lebih menekan dari sebelumnya.
Namun, saat gelap mulai merayap, Dara hanya bisa berpikir satu hal.
Anaknya...
Apakah anaknya akan bertahan?
****
Dara terbangun dari tidurnya. Matanya perlahan terbuka, membiarkan cahaya lembut yang menyelinap melalui celah tirai masuk ke dalam kesadarannya. Tubuhnya terasa ringan, tetapi sedikit lemah, seolah habis melewati badai yang nyaris menelannya hidup-hidup.
Saat kesadarannya pulih, Dara menyadari sesuatu. Ini bukan kontrakannya.
Langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal yang berkilauan. Tempat tidur empuk dengan sprei linen yang lembut membungkus tubuhnya. Aroma samar vanilla dan kayu cendana memenuhi udara, memberi ketenangan yang aneh. Tidak ada suara atap bocor, tidak ada kasur kapuk keras yang menusuk punggungnya.
“Nona, Anda sudah bangun,” ucap Lisma, sambil membawa nampan makanan ke dalam kamar. Ia meletakkannya di meja kecil di dekat sofa, membuka tirai perlahan, membiarkan sinar matahari masuk sepenuhnya. Lisma juga membuka pintu kaca yang terhubung dengan balkon.
“Dokter yang merawat Anda sudah pulang, Nona," lanjut Lisma sambil mendekat. "Katanya Anda baik-baik saja. Pendarahan yang terjadi kemarin adalah threatened miscarriage, atau ancaman keguguran, tapi kondisinya masih bisa dikontrol. Rahim Anda sedikit lemah akibat kelelahan dan stres yang berlebihan, menyebabkan pembuluh darah di dinding rahim sedikit pecah dan menimbulkan pendarahan. Namun, janin Anda masih bertahan dengan baik. Anda hanya perlu istirahat total dan makan yang cukup. Dokternya akan kembali ke sini siang nanti untuk pemeriksaan lanjutan.”
Dara diam. Kata-kata itu menggantung di kepalanya.
Janinnya… masih ada.
“Mari saya bantu, Anda harus makan dan minum obat dulu.”
Dara tidak menolak ketika Lisma membantunya duduk di sofa. Kakinya sedikit lemas, tetapi tubuhnya terasa lebih nyaman dibanding semalam. Di hadapannya, sarapan sudah tersaji di atas meja.
Sepiring scrambled eggs dengan keju parmesan dan truffle, roti sourdough panggang dengan butter dan madu, semangkuk kecil oatmeal dengan topping almond dan buah beri segar, serta segelas s**u almond hangat. “Makanannya sudah disesuaikan dengan kondisi Anda, Nona. Saya yang akan mengatur makanan Anda ke depannya.”
Dara mulai menyantap makanannya. “Di mana Jedidah?”
“Tuan ada keperluan.”
“Dia pulang semalam?”
Lisma menggeleng. “Tidak, Tuan menginap di sini, Nona.”
Jadi… dia tetap tinggal? Sementara itu, Lisma mulai memasukkan pakaian ke dalam lemari besar di sisi ruangan.
“Pakaian siapa itu?”
“Untuk Anda, Nona.”
Pelayan itu berkutat membereskan kamar sampai Dara selesai, dan dirinya membereskan sisa sarapan kemudian memberikan obat pada sang majikan. “Saya akan ke bawah sebentar untuk mengambil bahan makanan, Nona. Ada yang Anda butuhkan sebelum saya keluar?”
“Tidak, terima kasih.”
Lisma memberi hormat sebelum meninggalkan kamar, membiarkan Dara sendiri di ruangan yang masih terasa asing baginya. Dia akhirnya bangkit dari sofa dan keluar dari kamar. Dara langsung disambut oleh koridor luas yang dipenuhi cahaya alami dari jendela kaca besar di ujungnya. Dindingnya berlapis panel kayu gelap dengan aksen emas, memberikan kesan elegan yang maskulin, sementara lantainya dilapisi marmer putih dengan urat abu-abu yang berkilauan di bawah cahaya chandelier modern.
Terdapat perpustakaan pribadi, dindingnya dipenuhi rak-rak tinggi berisi buku-buku berkulit tebal, beberapa tampak antik dengan aksen emas di punggungnya. Di tengah ruangan, ada kursi santai berbahan beludru hitam yang tampak nyaman, dengan lampu baca artistik berdiri di sampingnya. Sebuah tangga kecil berbahan kayu eboni dengan pegangan besi berwarna emas memungkinkan seseorang untuk mengambil buku dari rak tertinggi.
Tepat di seberang perpustakaan, matanya menangkap sebuah ruang lounge terbuka yang mengarah ke kolam renang pribadi. Kolam itu terletak di teras balkon luas, dikelilingi lantai kayu premium dengan beberapa kursi santai berlapis linen putih. Airnya jernih, memantulkan cahaya matahari yang masuk dari atap kaca besar yang melindungi sebagian area.
Saat Dara tenggelam dalam keindahan dunia yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, suara ponselnya berdering, memecah lamunannya. Dengan cepat, ia kembali ke kamar, meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Nama Kelly tertera di layar.
"Kel—"
"Lu di mana?! Gue butuh tanda tangan lu di jurnal! Gue mau kumpulin sekarang mumpung si bapak pulang ke Indo! Mana belum lu revisi juga!"
Dara tertegun. Sial. Ia bahkan lupa soal jurnalnya.
"Bentar, gue kesana. Tunggu gue mandi dulu ya," ucapnya cepat sebelum menutup panggilan.
Dara segera beranjak menuju kamar mandi. Namun, begitu melangkah masuk, sakit kepala mendadak menyerangnya. Kepalanya berdenyut hebat, seolah dunia tiba-tiba berputar. Pandangannya buram, tubuhnya melemah, dan sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, siku tangannya menyenggol vas kaca yang terletak di meja marmer kecil di dekat wastafel.
BRUK!
Vas itu jatuh dan pecah berkeping-keping di lantai, beberapa serpihannya beterbangan ke segala arah. Dara refleks mundur, tapi—
"Ahhh!"
Telapak kakinya menginjak salah satu pecahan kaca, meninggalkan luka yang langsung mengeluarkan darah segar. Rasa perih menjalar cepat, membuatnya meringis kesakitan.
"Kamu ini kenapa?"
Dara terkejut. Ia menoleh dan melihat Jedidah berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. Tanpa menunggu jawaban, pria itu melangkah masuk, lalu tanpa banyak basa-basi mengangkat tubuh Dara dalam gendongannya.
"Hei, aku bisa jalan sendiri!" protes Dara, tapi Jedidah tidak menghiraukannya.
Pria itu membawanya ke tepi bathtub dan mendudukannya di sana. "Diam di situ," perintahnya tegas.
Dara hanya bisa diam dan menatapnya, masih terkejut dengan apa yang terjadi. Napasnya masih tersengal, kakinya berdenyut perih, sementara Jedidah mulai membereskan pecahan kaca di lantai dengan tangannya sendiri.
Lalu yang mengejutkan, pria itu berjongkok, ia meraih kaki Dara untuk membersihkan luka di sana dengan kain basah. Dara langsung meringis, menarik napas tajam saat cairan antiseptik menyentuh kulitnya.
"Bukannya pelayan sudah menyampaikan kalau kamu harus istirahat?"
Dara mendesah lelah. "Istirahat bukan berarti nggak mandi."
Ia membiarkan pria itu melanjutkan membersihkan lukanya.
"Aku mau ke kampus," tambah Dara setelah beberapa saat.
"Kamu nggak paham dengan kondisi kamu?"
"Ada tugas yang belum selesai, temen aku udah nunggu."
Jedidah tidak menanggapi, fokus pada membalut kakinya dengan perban yang bersih. Dara menggigit bibir, berpikir cepat, lalu berkata, "Atau... boleh nggak kalau temen aku datang ke sini? Dia udah tahu kok tentang kita."
Tangan Jedidah berhenti bergerak. Matanya yang tajam langsung mengunci Dara dalam tatapan yang sulit diartikan.
"Dia bisa dipercaya," lanjut Dara cepat. "Dia sahabat aku sejak lama, jadi aman. Kalau nggak bisa, aku tetap harus ke kampus."
Hening beberapa detik.
Akhirnya, dengan suara datar, Jedidah menjawab, "Suruh dia ke sini saja."
Pria itu menyelesaikan balutan di kaki Dara dengan rapi, lalu berdiri, berjalan menuju wastafel, dan mengisi bathtub dengan air hangat.
"Mandi dulu. Setelah itu, tetap di kamar. Saya nggak mau lihat kamu bertingkah lagi."
Pria itu keluar dari kamar mandi, membiarkan Dara sendirian.
Dara hanya bisa menatap ke arah pintu yang kini tertutup. Kakinya kini telah dibalut dengan rapi, dan rasa nyerinya perlahan berkurang.
Ia menunduk, mengamati kakinya sendiri.
Seumur hidup, tak ada seorang pun yang pernah menyentuhnya seperti ini. Tak ada seorang pun yang pernah merawatnya seperti ini.
Tak ada... selain ibunya.
Dan Jedidah.
***
“Gilasih, Ra, ganteng banget anjirrr. Ngerti sekarang kenapa lu kesemsem sama laki orang,” suara Kelly menggema di kamar luas itu, penuh antusiasme khas dirinya.
Dara, yang tengah duduk santai di sofa dengan segelas teh hangat di tangannya, hanya terkekeh. "Ganteng, kan?" tanyanya, seolah ingin menambah bahan bakar untuk histeria sahabatnya.
Kelly mendengus, matanya masih berkeliling, menyerap setiap detail kemewahan apartemen ini. "Kaya lagi, apartemennya mewah banget cuyyy. Ini bukan level orang biasa, ini tempatnya orang yang hidup di atas awan."
"Sama aja kali kayak sugar daddy lu," Dara meledek.
Kelly langsung menatapnya tajam. "Mulut lu diem gak?" ancamnya, membuat Dara tertawa lebih keras.
Lisma datang, dengan langkah anggun dan wajah tanpa ekspresi seperti biasa, membawa nampan berisi camilan ringan yang segera diletakkan di meja.
“Camilan anda, Nona.”
“Terima kasih,” jawab Dara santai. Matanya melirik pelayan itu dengan penuh rasa ingin tahu. “Jedidah sudah pulang?”
“Belum, Nona. Tuan sedang meeting di ruang kerjanya. Ada yang bisa saya bantu?”
Dara menggeleng. “Tidak, terima kasih.”
Lisma mengangguk hormat sebelum meninggalkan kamar. Begitu pintu tertutup, Kelly yang sejak tadi menahan diri akhirnya bertepuk tangan dengan heboh. "Gue mau minta pelayan pribadi ah sama sugar daddy gue."
Dara mengedikkan bahu dengan smirk penuh kemenangan. "Iri kan lu?"
"Iri banget, sumpah bikin gue sakit perut. Kaya tuh nggak harus ganteng, yang penting punya duit, tapi kalau dia punya dua-duanya? Itu unfair, anjir.”
Dara tertawa, tapi Kelly mendekat dengan ekspresi licik.
"Ikut ke kamar mandi dulu lah, perut gue mules.”
Dara hanya melambaikan tangan malas saat Kelly menghilang ke kamar mandi. Sambil mengangkat kakinya ke atas sofa, ia membuka aplikasi i********:, bersiap untuk sedikit stalking. Dan saat matanya menangkap sebuah unggahan baru di akun Zarin, sebuah senyum sinis mengembang di wajahnya.
Pantas saja Jedidah ada di sini.
Zarin sedang ada di Malaysia, menghadiri event besar. Seperti biasa, wanita itu lebih sibuk dengan pekerjaannya dibandingkan dengan suaminya sendiri. Wanita itu malah meninggalkan suaminya kesepian.
Dara memiringkan kepala, jarinya menggulir layar, matanya menyelidik setiap unggahan. Dunia sosialita, penuh dengan kepalsuan dan sandiwara.
Tiba-tiba, rasa perih menyengat di kakinya. Dara menunduk, melihat darah yang merembes dari perban di kakinya.
"Sial," umpatnya, berusaha bangkit dengan hati-hati. Luka itu terbuka lagi. Ia harus mengambil kotak obat di ujung ruangan. Namun, baru saja ia berdiri, pintu lebih dulu terbuka.
Dan di sana, berdiri Jedidah.
“Mau ke mana?”
Dara menelan ludah, masih bisa merasakan aura d******i pria itu meskipun ia hanya berdiri di sana dengan jas yang sudah tertata rapi. "Mau ambil kotak obat, kakinya berdarah lagi."
Jedidah mendecak pelan, sebelum tanpa berkata apa-apa lagi, ia sendiri yang mengambilkan kotak obat dari rak. Kemudian, seperti sebelumnya, ia berjongkok di depan Dara, dengan cekatan mengganti kain kasa yang sudah mulai basah oleh darah.
Dara menatapnya dalam diam, perasaan bercampur aduk.
"Nanti siang dokter datang. Minta dia periksa kaki kamu juga."
"Iya."
Tak ada yang perlu dibahas lagi. Dara membiarkan pria itu menyelesaikan tugasnya. Jemarinya yang besar dan terlatih begitu hati-hati saat membalut ulang perbannya.
Sementara itu, matanya melirik sekilas ke arah Jedidah yang kini sudah rapi dengan jas hitamnya. "Mau ke mana?"
"Kerja."
Dara mengangguk pelan. "Nanti pulang ke sini lagi?"
"Mungkin. Kenapa?"
Dara menatap pria itu lebih lama sebelum akhirnya mengucapkan sesuatu yang bahkan membuatnya sendiri terkejut. "Aku setuju anak ini dirawat sama Bapak dan Mbak Zarin."
Hening.
Jedidah mengangkat satu alisnya, ekspresinya tidak terbaca. Namun sebelum sempat menjawab, ponselnya berdering. Ia menghela napas, lalu meraih ponselnya dan melihat nama di layar.
"Saya harus pergi. Kita bicarakan lagi nanti malam."
Tanpa menunggu respons, pria itu keluar dari kamar, meninggalkan Dara yang kini termenung.
Suara pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan Kelly yang berdiri dengan kening berkerut. “Gue denger loh. Lu beneran mau kasih itu anak ke mereka?”
Dara menoleh ke arah sahabatnya, sebelum akhirnya tawa kecil meluncur dari bibirnya.
Tawa licik.
Ia menoleh ke arah jendela besar yang memperlihatkan panorama kota, lalu berbalik menghadap Kelly dengan mata berkilat penuh niat tersembunyi.
"Kalau gue berhasil belokin Jedidah ke gue, anak itu tetap akan bersama gue."
Kelly terdiam, tapi sorot matanya penuh dengan keterkejutan dan ketertarikan.
Dara menyeringai, bibirnya melengkung penuh rencana. Lalu, dengan suara rendah yang penuh tantangan, ia berkata, "Teach me how to be wild."