Merayu Hasrat

1469 Kata
Kali ini, Jedidah benar-benar menghindarinya. Tidak ada lagi kebetulan bertemu di dapur, tidak ada tatapan samar yang dilemparkan saat mereka berpapasan, bahkan kehadirannya di apartemen pun hampir nihil. Pria itu tenggelam dalam kesibukan bersama Zarin, mengikuti jadwal istrinya seperti bayangan yang setia. Dara mengetahuinya dari i********:—setiap unggahan Zarin seperti pisau yang mengiris kesabaran Dara perlahan-lahan. Foto-foto mesra, makan malam romantis, dan kebersamaan mereka di Luar Negara seperti sebuah pertunjukan besar yang sengaja ditampilkan untuk menegaskan bahwa posisi Zarin tetap tak tergantikan. Dan itu, benar-benar membuat darahnya mendidih. Bukan sehari dua hari, tapi hampir dua bulan. Selama itu, Dara dipaksa menelan amarahnya sendiri, sementara perutnya semakin membesar, mengingatkannya pada batas waktu yang kian dekat. Tinggal dua minggu lagi masa magangnya selesai, namun hubungan mereka masih di tempat yang sama—terbentang jurang yang semakin sulit dijangkau. Kemewahan yang diberikan padanya mungkin bisa membuat banyak wanita lain terlena, tetapi bukan Dara. Dia tidak menginginkan berlian, mobil, atau fasilitas tanpa batas. Yang dia inginkan hanya satu—Jedidah. Dan jika pria itu terus bersembunyi, maka Dara-lah yang akan menyeretnya kembali ke dalam permainan. “Kamu gendutan sekarang,” komentar sang Ibu membuat Dara menghentikan Gerakan mengupas buahnya. “Jadi berisi kamu.” “Senang, Bu, kerja dibayar pake dollar. Siapa sih yang nggak jingkrak-jingkrak?” “Gak keliatan seneng juga.” Kini ucapan sang Ibu berhasil membuat Dara menatap wajah Aggia. “Seminggu terakhir ini kamu makin murung. Padahal Ibu sadar, kamu udah murung sebelumnya. Tapi sekarang-sekarang lebih murung lagi. Kenapa, Nak?” “Gak papa, Bu, Cuma kecapean aja banyak kerjaan di magang. Tapi ya namanya juga lagi tugas kuliah, buat pengalaman juga.” Dara berusaha meyakinkan ibunya. “Ini, dimakan dulu buahnya.” “Padahal tadi pagi udah makan buah, dikupasin sama perawatnya.” Seketika Aggia ingat sesuatu. “Nak, gak usah sewa perawat secara pribadi buah Ibu. Sampai dia jaga Ibu 24 jam, pasti kamu bayar dengan mahal ‘kan?” “Topik ini lagi.” Dara tampak malas. “Kan udah dibilangin berapa kali, Bu, semuanya udah sesuai perhitungan aku loh. Jadi udah ya, gak usah khawatir.” Sebab bersama sang Ibu malah membuat Dara semakin down, jadi dia memutuskan untuk berpamitan. Dara melangkah di koriodr lantai VIP tersebut, tangannya mengelus perutnya sendiri yang sudah membuncit. Bagaimana tidak, ini memasuki bulan keempat. Dan Dara belum ada pergerakan apapun. “Dara?” “Eh? Kak Zane?” Dara terkejut melihat keberadaan salah satu karyawan Leviathan Timepieces, di dapartemen yang sama dengannya. “Siapa yang sakit, Kak?” “Gak ada, abis test Kesehatan aja kayak biasa. Eh malah lihat si cantik disini, kenapa? Kamu sakit?” Dara menggeleng. “Abis jenguk.” “Kirain kamu yang sakit. Kalau kamu sakit, hati aku ikutan sakit.” Dara hanya terkekeh mendengarnya. dia tahu betul kalau pria itu tertarik dengannya. Dara bukan wanita yang jelek-jelek amat, malah dia sangat cantik dan banyak sekali pria yang berusaha mendekatinya ketika kuliah. Hanya saja Dara memiliki trust issue kepada laki-laki, penyebabnya tentu saja ayahnya yang meninggalkannya dan membuat ibunya menderita. Dara tolak pria-pria itu, meyakini bahwa mereka hanyalah tertarik di awal saja. Namun untuk Jedidah, Dara merasakan pergolakan yang tidak dia pahami sendiri. Ingin memiliki, diperkuat dengan keadaan. Antara bayi, dan perasaan tidak rela jika pria sebaik Jedidah harus berada di tangan wanita yang salah seperti Zarin. “Pulangnya dianterin yuk?” “Gak usah, Kak, udah ada gocar di depan.” “Gak papa, kakak bayarin. Tapi kamu ikut sama Kakak ya? Mau nyari referensi hadiah buat Pak Johannes.” Johannes adalah kakeknya Jedidah, Dara tahu itu. “Hah? Gimana?” “Beliau kan bentar lagi ulang tahun, biasanya ada pesta kalau beliau di Indonesia. Berhubung sekarang di Belanda, jadi inisiatif mau kirim hadiah, supaya ya seenggaknya keliatan jadi dapartemen yang berguna lah.” Seketika Dara terfikirkan sesuatu. Jedidah dan Zarin pastinya ada disana, Dara tinggal mencari celah bagaimana dirinya bisa pergi ke Belanda juga. **** “Segitunyah?” tanya Kelly sambil tertawa, menertawakan Dara yang kini sedang… merajut. Iya, merajut. Sesuatu yang tidak pernah ada dalam daftar keterampilan Dara sebelumnya. Tapi sekarang, benang wol putih bertekstur lembut itu melilit jemarinya, jarum rajut bergerak dengan gerakan canggung namun tekun. "Emang lu yakin bakalan diundang ke ulang tahun Om Johannes itu?" tanya Kelly lagi, kali ini dengan nada setengah serius, setengah meledek. "Om-Om, dia bukan Om lu yang sugar daddy itu ya!" "Hahahaha!" Kelly tertawa puas, berbaring di atas karpet sambil menonton TV di apartemen mewah Dara. Sementara Dara tetap fokus, tatapannya penuh keteguhan, tidak tergoyahkan oleh suara sahabatnya yang menggoda. "Ra, nanti gak diundang gimana?" "Gue yakin bakalan diundang sih, tinggal kasih tahu kalau cicitnya yang mau bikinin ini," jawab Dara enteng, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang menunjukkan betapa seriusnya dia. Gila, ini Dara yang baru. Dara yang biasanya hanya berusaha bertahan, kini mulai menyusun langkah. Dia belajar merajut dalam waktu singkat, mengorbankan tidurnya hanya untuk memastikan setiap lilitan benang ini sempurna. Semua ini bukan hanya untuk menyenangkan hati seorang pria tua di Belanda—tapi lebih dari itu, ini adalah langkah strategis untuk menembus tembok yang semakin tinggi di antara dia dan Jedidah. Jika dia tidak bisa menggapainya di Jakarta, maka dia akan mengejarnya ke Amsterdam. Jika Jedidah bisa bermain dengan aturan keluarganya, maka Dara akan memastikan dirinya menjadi bagian dari aturan itu. Ini bukan sekadar syal. Ini tiketnya ke dunia Jedidah. "Mau gue kirimin video porno gak? Biar lu liar nanti di atas tubuh Pak Jedidah," tawar Kelly, setengah bercanda, setengah serius. Dara meliriknya malas sambil mengembuskan napas. "Gak ya, anjir. Gue udah bisa tanpa diajarin." Kelly tertawa lepas, menertawakan betapa percaya dirinya sahabatnya ini. Matanya berbinar nakal, seolah sedang membayangkan hal-hal yang hanya bisa ia utarakan jika bukan bersama Dara. "Lu mau ke mana, Ra?" "Minta dibawain makanan. Lu suka 'kan di sini? Banyak makanan buat isi lambung lu." "Iyalah, hahaha! Tapi kok itu dibawa rajutannya?" Kelly melirik benda yang digenggam Dara. "Udah beres," jawab Dara cepat, sengaja membawanya menjauh sebelum Kelly bisa melontarkan komentar lebih banyak. Kelly kembali menonton TV, mencari film yang menarik untuk ditonton malam ini. Disampingnya terlihat kantong belanjaan dari butik ternama, sisa dari sesi shopping mewah yang baru saja dia lakukan bersama sugar daddy-nya. "Ra, lu harus lebih liar. Lu punya semua kesempatan buat bikin Pak Jedidah kecanduan. Jadi manfaatin, jangan cuma jadi cewek manis!" serunya dengan nada penuh wejangan, meski Dara sudah tak mendengarnya lagi. Dara turun ke lantai bawah, lalu melangkah santai ke arah salah satu pelayan. "Panggilkan chef yang bisa memasak hidangan khas Timur Tengah," perintahnya dengan angkuh. Pelayan itu langsung mengangguk, bergerak cepat untuk memenuhi keinginannya. Dulu, memanggil chef pribadi untuk memasak makanan mewah hanya bisa ia bayangkan dalam mimpi. Tapi sekarang? Dara bisa melakukan apa pun. Dari makanan terbaik, tempat tinggal yang paling nyaman, hingga pakaian mahal yang membalut tubuhnya—semua itu adalah fasilitas yang datang bersamaan dengan statusnya saat ini. Namun, tetap saja, ada satu hal yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Jedidah. Sebelum makan malam bersama sahabatnya, Dara berbalik dan melangkah menuju kamarnya. Dia ingin menghindari Kelly sejenak, tidak ingin sahabatnya itu mengganggunya untuk hal-hal yang tidak penting. Sesampainya di kamar, Dara duduk di tepi tempat tidur, meraih ponselnya, lalu membuka galeri. Jarinya dengan hati-hati memilih video yang direkam perawat tadi siang—pergerakan kecil di dalam rahimnya yang terekam jelas dalam pemeriksaan USG. Dara mengetik pesan. ME: Ibu, bayinya sehat, sudah mulai bergerak. Dokter Zurech bilang ini awal yang bagus. Dia mengirimkannya. Lalu menunggu. Detik berlalu, menit berganti, tapi pesan itu hanya dibaca. Tidak ada balasan. Dara mengembuskan napas, rahangnya mengatup rapat. Dia membenci perasaan diabaikan, dan lebih dari itu, dia benci tidak mendapatkan reaksi yang dia harapkan. Maka, tanpa berpikir panjang, dia kembali mengetik pesan lain. Dia mengunggah foto rajutan syal yang telah ia buat dengan susah payah selama beberapa hari terakhir, lalu mengirimkannya. ME: Saya membuat ini, Bu, untuk Pak Johannes. Cicitnya yang tiba-tiba membuat saya ingin merajut sesuatu. Udara di Belanda sedang dingin, apakah boleh saya mengirimkannya ke sana? Pesan terkirim. Dara menatap layar, menunggu. Jantungnya sedikit berdebar. Jika Ibu Rahayu menolak, maka rencananya bisa berantakan. Tapi jika sebaliknya… Drrrttt. Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk. Dara tersenyum tipis sebelum mengangkatnya. "Hallo, Bu?" Suara Ibu Rahayu terdengar di seberang, tetap tenang dan berwibawa seperti biasa. "Bagus sekali. Kamu menjaga cucu saya dengan baik." "Tentu saja, Bu," Dara menjawab dengan suara lembut, penuh kepatuhan. "Saya berusaha sebaik mungkin menjaga bayi kecil ini." Ada jeda sebentar sebelum suara itu kembali terdengar. "Baguslah. Dan tentang hadiah itu—kamu saja yang ke sini. Nanti saya minta seseorang menjemputmu ke Belanda." Dara menutup matanya sesaat, menahan luapan emosinya. Dia berhasil. Sekarang, dia punya akses langsung. Langkah pertama menuju permainan sesungguhnya telah dimulai. Dara menatap pantulan dirinya di cermin, lalu tersenyum penuh kemenangan. Amsterdam, aku datang. Dan kali ini, Jedidah akan menjadi milikku, seutuhnya. *** baca catatan dibawah:
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN